NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pernikahan Kedua Ibu

Undangan itu datang seperti tamu tak diharapkan.

Amplop krem dengan nama Ibu tercetak rapi di sudut kanan atas tergeletak di meja ruang tamu. Tidak ada hiasan berlebihan. Tidak ada pita mencolok. Sederhana, nyaris seperti surat biasa. Tapi isinya membuat udara rumah ini mendadak terasa lebih sempit.

Aku yang pertama kali menemukannya.

Tanganku gemetar saat membuka lipatannya. Tertulis jelas: nama Ibu dan nama seorang pria yang belum pernah benar-benar kami kenal sebagai bagian dari hidup kami. Tanggalnya… tiga minggu lagi.

Tiga minggu.

Napas seolah tersangkut di tenggorokanku.

Ibu keluar dari kamar tepat ketika aku masih terpaku menatap undangan itu. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, tapi ada sesuatu yang lain di sana—sesuatu yang campur aduk antara tegang, harap, dan takut.

“Kamu sudah lihat?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk.

Tidak ada kata yang langsung keluar dari mulutku. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang, tahu harus melompat atau mundur, tapi kakiku tidak mau bergerak.

“Ibu tidak akan memaksa kalian datang,” katanya cepat, seolah takut aku menuduhnya. “Ibu hanya… ingin kalian tahu dari ibu sendiri.”

Aku menarik kursi dan duduk perlahan. “Mas Dimas tahu?”

“Belum,” jawabnya. “Laras juga belum. Raka… Ibu belum punya keberanian.”

Aku menghela napas panjang. “Ibu memilih hari kerja?”

Ibu tersenyum kecil yang hambar. “Supaya tidak banyak yang datang. Ibu tidak ingin ini jadi pesta.”

Aku mengangguk. Entah kenapa, kalimat itu justru membuat dadaku semakin nyeri.

Pernikahan kedua seorang ibu setelah tiga puluh tahun menikah bukanlah pesta. Ia adalah keputusan sunyi yang lahir dari kesepian yang terlalu lama dipendam.

Reaksi pertama datang dari Dimas.

Aku sendiri yang mengabarkannya malam itu di bengkel, saat ia baru saja selesai menutup rolling door dan membersihkan tangannya dari sisa oli.

“Ibu mau menikah tiga minggu lagi,” kataku langsung.

Ia membeku.... Lama.... Terlalu lama...!!!

Lalu ia tertawa kecil jenis tawa yang tidak mengandung bahagia sama sekali. “Cepat sekali.”

Aku tidak membantah. Karena memang itu yang terasa.

“Ayah belum genap setahun meninggalkan rumah ini,” lanjutnya. “Dan sekarang Ibu sudah menetapkan hari.”

“Dimas…” aku mencoba menyentuh lengannya.

Ia menarik tangannya pelan. “Aku tidak melarang. Aku hanya minta satu hal jangan paksa aku kelihatan baik-baik saja.”

Aku mengangguk. “Aku tidak akan memaksamu.”

“Tapi Ibu memaksa dirinya sendiri,” katanya pahit. Kata-kata itu menempel di batinku.

Laras menangis saat mendengarnya.

Tangis yang tidak meledak, tapi merembes pelan seperti air dari dinding retak.

“Kak… aku bahkan belum selesai mengubur bayiku di dalam hati,” katanya sambil memeluk bantal. “Sekarang aku harus menyaksikan Ibu mengenakan kebaya lagi?”

Aku memeluknya erat.

“Ibu tidak mencoba menggantikan kesedihanmu,” bisikku.

“Aku tahu,” jawabnya terisak. “Itu justru yang membuatku semakin sedih.”

Aku tidak menemukan kalimat yang cukup kuat untuk menenangkan Laras.

Karena terkadang, yang terluka tidak butuh dinasihati. Mereka hanya ingin ditemani dalam rapuhnya.

Raka adalah yang paling sulit. Ia tidak marah. Tidak menangis. Ia diam... Diam yang berbahaya.

Sejak tahu rencana pernikahan itu, ia jarang pulang tepat waktu. Pulang larut, mengurung diri di kamar, dan menolak makan bersama.

Malam itu aku mengetuk pintunya.

“Raka, boleh Kakak masuk?”

Tidak ada jawaban.

Aku membuka pintu perlahan.

Ia duduk di lantai, memunggungiku, memandangi foto lama kami sekeluarga di ponselnya foto yang sama seperti yang kini tersimpan di kotak kamar Ibu.

“Kak,” katanya akhirnya, suaranya nyaris tidak terdengar. “Kalau Ibu menikah… aku masih boleh panggil ayah Pak Rahman Ayah, kan?”

Pertanyaan itu mencabik dadaku.

“Tentu,” jawabku cepat. “Tidak ada yang bisa menggantikan Ayah di hatimu.”

“Terus nanti aku harus panggil siapa pria itu?” tanyanya lagi.

Aku terdiam.... Raka akhirnya menangis. Untuk pertama kalinya sejak Ayah pergi dari rumah ini.

Tangis yang ditahan terlalu lama akhirnya runtuh di bahuku.

Bandung terasa ganjil menjelang hari itu. Jalanan tetap padat. Warung kopi tetap ramai. Hujan tetap rajin turun sore hari.

Tapi di rumah kami, waktu berjalan dengan cara yang berbeda.

Ibu mulai sibuk dengan persiapan kecil yang ia sembunyikan. Menjahit kebaya sederhana. Menyimpan perhiasan lama yang sempat ia lepaskan setelah Ayah pergi. Mengatur segala sesuatunya diam-diam, seolah takut suaranya sendiri bisa membatalkan keputusannya.

Tidak ada riasan mencolok. Tidak ada undangan besar. Tidak ada gedung.

Hanya akad sederhana di rumah calon suaminya.

Aku melihatnya berkali-kali menatap cermin, lalu mengusap wajahnya sendiri, ragu.

“Kamu cantik tanpa harus terlihat bahagia,” kataku suatu sore.

Ibu tersenyum lemah. “Ibu hanya ingin terlihat kuat di hari itu.”

Ardi menjadi satu-satunya tempat aku bernafas tanpa harus menjelaskan apa pun. Malam-malam kami sunyi, tapi tidak sepi.

Ia tidak pernah memaksaku bercerita, tapi selalu ada saat aku mulai kehilangan kendali.

“Kalau kamu capek menahan, kamu boleh lepas di sini,” katanya suatu malam.

Aku menangis dalam pelukannya tanpa suara.

“Aku takut kehilangan Ibu untuk kedua kalinya,” bisikku.

“Kamu tidak kehilangan,” jawab Ardi tenang. “Kamu hanya sedang belajar berbagi posisi di hatinya.”

Kalimat itu tidak menghapus sakit, tapi setidaknya membuatnya bisa kuterima sedikit demi sedikit.

Tujuh hari sebelum akad. Ibu mengumpulkan kami di ruang tengah.

“Apa pun keputusan kalian,” katanya lirih, “Ibu terima. Ibu tidak akan memaksa kehadiran siapa pun.”

Hening.... Dimas menatap lantai. Laras menggenggam tanganku.

Raka memainkan ujung kausnya dengan gelisah.

Aku menatap wajah Ibu lama. Wajah seorang perempuan yang telah menyerahkan masa mudanya pada satu pernikahan, lalu kehilangan segalanya dalam diam.

“Ibu…,” kataku akhirnya. “Aku akan datang.” Semua mata menoleh padaku.

Bukan karena aku paling siap. Tapi karena aku tahu… akan lebih menyakitkan jika tidak ada satu pun anaknya yang menjadi saksi hari itu.

Dan di saat itu juga aku menyadari: Pernikahan kedua Ibu bukan hanya tentang cinta baru. Tapi tentang keberanian seorang perempuan untuk berdiri lagi setelah hancur terlalu lama.

Pagi itu Bandung terasa lebih dingin dari biasanya.

Kabut tipis menggantung di ujung atap rumah calon suami Ibu, bergerak pelan bersama hembusan angin. Langit tidak gelap, tapi juga tidak benar-benar cerah seolah ragu memilih suasana, sama seperti perasaan kami.

Aku datang lebih dulu. Ardi mengantarku sampai depan gang, lalu berhenti. “Aku tunggu di sini saja,” katanya. “Ini ruangmu.”

Aku mengangguk. “Terima kasih sudah mengerti.” Ia tersenyum kecil. “Selalu.”

Langkah kakiku terasa berat saat memasuki halaman rumah itu. Beberapa kursi plastik tersusun rapi. Tidak banyak tamu. Hanya kerabat dekat dari pihak laki-laki dan dua orang tetangga Ibu yang dulu sering menyapanya di pasar.

Tidak ada musik. Tidak ada dekor megah. Hanya kain putih di dinding dan bunga sederhana di sudut ruangan.

Aku melihat Ibu dari kejauhan.

Ia duduk di kamar kecil di bagian belakang rumah berkebaya krem, rambutnya disanggul sederhana. Wajahnya pucat, tapi matanya menyimpan keteguhan yang selama ini sulit kulihat.

Aku masuk perlahan. “Ibu,” panggilku.

Ia menoleh. Senyum yang terbit di wajahnya langsung seperti anak kecil yang akhirnya melihat pegangan tangan saat takut menyeberang.

“Kamu datang…” Aku memeluknya. Tubuhnya gemetar hebat.

“Ibu takut, ya?” bisikku.

Ibu mengangguk. “Takut kalian membenciku.”

Aku memejamkan mata. “Kami tidak membenci Ibu. Kami hanya belum sepenuhnya siap melepaskan.”

Air mata Ibu jatuh mengenai bahuku.

Dimas datang sepuluh menit sebelum akad. Ia berdiri di depan pintu tanpa masuk, tubuhnya tegang, seperti seseorang yang berdiri di tepi jurang tapi masih ragu meloncat.

Aku menghampirinya. “Ibu di dalam,” kataku.

“Aku tidak tahu harus memakai wajah apa,” jawabnya lirih. “Aku takut kalau aku masuk… aku justru membuat Ibu lebih terluka.”

“Kamu anaknya,” kataku pelan. “Apa pun wajahmu, Ibu tetap ingin melihatnya.”

Dimas terdiam lama. Lalu ia melangkah masuk.

Aku melihatnya berdiri kaku di sudut ruangan. Ibu menoleh, dan mata mereka bertemu. Tidak ada pelukan. Tidak ada sapa panjang. Hanya anggukan kecil yang sarat makna.

Tapi bagi Ibu, itu cukup.

Laras datang bersama suaminya dengan wajah yang masih sembab.

Aku tahu, ia memaksakan langkahnya hari itu.

Tangannya terus bergerak meremas ujung kebayanya sendiri. Matanya menatap lantai hampir sepanjang waktu.

Saat melihat Ibu, ia tidak langsung tersenyum. Tapi ia mendekat, menunduk, lalu mencium tangan Ibu dengan gemetar.

“Ibu bahagia, ya,” katanya pelan.

Ibu mengusap pipinya. “Ibu berusaha.”

Laras menangis pelan. Aku memeluknya dari belakang.

Raka adalah yang terakhir. Ia datang sendiri. Tidak mengenakan kemeja. Tidak pula sepatu pantofel. Hanya kaus putih bersih dan jaket tipis yang kebesaran.

Ia berdiri lama di ambang pintu sebelum masuk.

Matanya mencari Ibu dan menemukannya dalam balutan kebaya pengantin yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.

Wajah Raka berubah. Bukan marah. Bukan sedih. Melainkan kehilangan yang sempurna.

Ibu bangkit dan menghampirinya. “Kamu datang…” suara Ibu bergetar.

Raka mengangguk kecil. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Ma.”

Ibu memeluknya. Raka kaku sesaat, lalu akhirnya membalas. Tangis Raka pecah dalam pelukan itu. Aku menutup wajahku sendiri.

Akad berlangsung singkat. Suara ijab kabul terucap pelan tapi jelas. Tidak ada gemuruh tamu. Tidak ada tepuk tangan bergemuruh. Hanya satu tarikan napas panjang setelah kata “sah” meluncur dari bibir penghulu.

Dan di detik itu juga… status Ibu benar-benar berubah. Bukan lagi istri Pak Rahman. Tapi juga belum sepenuhnya melepas luka sebagai ibu kami.

Air mata jatuh dari pipiku tanpa bisa kutahan. Aku tersenyum kecil saat Ibu menoleh ke arah kami. Ia seperti ingin berkata: “Aku masih di sini.”

Setelah semua usai, rumah itu terasa hening. Tidak ada makan besar. Tidak ada pesta. Tidak ada tawa yang keras.

Hanya obrolan singkat, senyum canggung, dan langkah-langkah pelan meninggalkan rumah itu satu per satu.

Dimas pergi lebih dulu. Tanpa berkata apa pun. Laras menyusul dengan langkah tertatih. Raka pamit paling akhir. Ia berhenti di depan Ibu.

“Boleh aku tetap pulang ke rumah yang lama?” tanyanya pelan.

Ibu terdiam.

“Boleh,” jawabnya akhirnya. “Selama itu yang membuatmu masih merasa punya rumah.”

Raka mengangguk kecil. Lalu pergi. Aku menjadi yang terakhir.

“Ibu tidak kehilangan kami,” kataku pelan. “Hanya kini kami berdiri sedikit lebih berjauhan.”

Ibu tersenyum, tapi matanya basah. “Dan itu menyakitkan.”

Aku memeluknya. Lama.

Di perjalanan pulang, Ardi menyetir dalam diam. Aku menatap jalan yang basah oleh gerimis sore.

“Sudah selesai,” katanya akhirnya.

“Sudah,” jawabku. “Tapi rasanya seperti sesuatu baru saja dimulai… dengan cara yang menyakitkan.”

Ardi mengangguk. “Perubahan memang jarang datang dengan permisi.”

Aku menggenggam tangannya di atas tuas persneling. Untuk pertama kalinya aku benar-benar memahami: Kadang, yang runtuh bukanlah rumah. Melainkan cara kita memandang rumah itu sendiri.

Dan sejak hari itu, rumah kami tak lagi berbentuk satu bangunan. Ia terpecah menjadi jarak, kenangan, dan rindu yang harus kami pelajari satu per satu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!