NovelToon NovelToon
Naugthy My Prince

Naugthy My Prince

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Bad Boy / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.

Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.

Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.

bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masalalu prince

Margaret sedang berbaring di kamarnya menatap platform kamar nya, tiba-tiba pintu rumah nya di ketuk. Margaret bangun dan keluar dari kamar nya membuka pintu dan disana berdiri Prince dengan mata merah nya menatap Margart.

"Yang.... hikkss maaf" ujar pemuda itu sesegukan.

Margaret membuka pintu lebar dan membiarkan Prince masuk, Prince melangkah masuk dan langsung memeluk erat tubuh Margaret. Margaret menutup pintu dan membalas pelukan Prince.

"sudah tidak apa-apa, udah gue maafin kak"

Prince masih memeluk Margaret erat, seolah takut jika ia melepaskannya, gadis itu akan kembali hilang. Tubuh Margaret yang lebih kurus dari sebelumnya terasa rapuh di pelukannya, dan itu menghantam hati Prince lebih dalam daripada tamparan mana pun.

“Yang... gue keterlaluan...”

Suara Prince pecah. Ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan arah.

Margaret mengusap pelan punggungnya. Tangannya gemetar, tapi ia tetap mencoba terlihat kuat. “Gue udah bilang nggak apa-apa, kan?”

Prince melepaskan pelukannya perlahan, menatap wajah Margaret. Mata itu sembab, pipinya basah oleh air mata yang belum kering. Tapi di dalam tatapan itu, ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan—ketakutan. Ketakutan kehilangan.

“Gue kira gue kuat, Yang... tapi waktu lo ilang di sekolah gue ngerasa kayak... dunia gue runtuh.”

Margaret tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, lebih seperti hembusan lelah. “Lo dramatis banget.”

Mereka duduk di sisi ranjang Margaret. Kamar itu remang-remang, hanya diterangi lampu tidur di sudut ruangan. Margaret menarik selimut ke pahanya, merasa tubuhnya mulai menggigil. Tapi dia menyembunyikannya. Seperti biasa.

“Lo sakit parah, ya? Lo sakit apa yang? kenapa gak kasi tau gue?” tanya Prince pelan.

Margaret tidak menjawab langsung. Ia menunduk, menatap tangannya yang mulai pucat.

“Ada yang bilang... gue keras kepala. Ada juga yang bilang... gue nyerah.”

“Menurut lo?” tanya Prince.

“Menurut gue... gue cuma capek.” Margaret menatap ke arah jendela. Hujan gerimis masih turun tipis. “Tiap kali gue mulai semangat, penyakit ini narik gue lagi. Kayak... tali yang nahan gue dari lari.”

Prince menggenggam tangan Margaret. “Kalau lo lari, tarik gue juga. Biar kita sama-sama.”

Margaret menoleh cepat. “Kak... lo jangan ngomong kayak gitu.”

“Kenapa?”

“Karena lo belum tahu rasanya hidup lo dikasih batas waktu.”

Prince menggertakkan giginya. “Terus gue harus gimana? Diam dan liatin lo perlahan-lahan pergi?! Gue nggak bisa, Yang!”

Margaret menarik napas dalam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tahan.

Dan malam itu, di dalam keheningan kamar yang kecil, dua jiwa yang terluka saling memberi ruang untuk sembuh. Mungkin belum utuh, tapi cukup untuk bertahan sehari lagi.

"Lo tau Yang kenapa Gue sempat benci sama orang tua Gue " ujar Prince menatap kosong kedepan, Margaret menatap nya.

"Gue pernah di lecehkan Yang, saat itu gue baru umur 7 tahun, Papa dan Mama sibuk dengan kerjaan nya dan Gue di urus oleh pengasuh Gue, orang yang ngelecehin gue Yang" ujar Prince menatap kosong kedepan, Margaret terkejut mendengar itu.

Margaret terdiam. Nafasnya tercekat. Ia menatap wajah Prince yang tak bergeming, menatap lurus ke depan, seolah melihat masa kecilnya kembali.

“Waktu itu... gue gak ngerti. Gue cuma anak kecil, Yang. Gue pikir itu normal. Gue pikir itu bentuk sayang.”

Suara Prince pelan, nyaris seperti bisikan yang dipaksa keluar dari dada yang sesak.

Margaret menggenggam tangan Prince. Tangannya dingin, sedikit berkeringat. Namun Prince tidak menoleh, matanya tetap kosong, suaranya mulai bergetar.

“Dia bilang gue harus diem. Kalau gue cerita, gue bakal dimarahin. Jadi gue gak pernah cerita....”

Margaret mengusap pelan punggung tangan Prince. Tak ada kata-kata yang bisa menutup luka sebesar itu, tapi kehadiran... kadang cukup untuk membuat seseorang tidak merasa sendirian.

“Dan pas gue mulai ngerti semuanya, pas gue tahu apa yang sebenarnya terjadi... gue mulai benci semuanya. Orang tua gue, rumah gue... bahkan diri gue sendiri.”

Air mata mengalir dari mata Prince, diam-diam. Ia tidak mengusapnya. Tidak ada tenaga untuk pura-pura kuat.

“Gue mulai ngerasa jijik sama diri sendiri, Yang. Ngerasa kotor. Rusak. Dan... itu gak pernah sembuh, sampai sekarang.”

Margaret memeluk Prince dari samping. Tidak bicara. Tidak memaksa. Hanya memeluk—seolah tubuhnya sendiri ingin jadi penampung bagi semua luka yang tak pernah diberi ruang untuk sembuh.

“Makanya gue jadi gampang marah, gampang cemburu, gampang takut lo ninggalin gue... karena semua orang yang gue percaya dulu, ninggalin gue dalam diam.”

Margaret akhirnya bicara, suaranya rendah namun tegas.

“Kak... lo gak rusak. Lo gak kotor. Lo bukan yang salah.”

Prince menggeleng pelan, menunduk. “Tapi kenapa sampai sekarang gue gak bisa maafin diri gue sendiri?”

“Karena lo gak pernah dikasih ruang buat sembuh. Gak pernah ada yang bilang ke lo bahwa semua itu bukan salah lo.”

Margaret mengusap rambut Prince yang sedikit berantakan. “Hari ini, lo udah mulai sembuh. Lo cerita. Lo buka luka itu. Dan gue dengerin.”

Prince akhirnya menoleh, menatap Margaret dengan mata merah yang basah. “Lo gak jijik sama gue?”

Margaret menggeleng mantap. “Gak akan pernah.”

Sunyi menyelimuti kamar. Tapi itu bukan sunyi yang sepi, melainkan sunyi yang hangat. Sunyi yang penuh penerimaan.

Margaret menatap Prince lama. “Lo tahu... lo kuat banget. Karena lo masih bisa sayang sama orang lain, padahal lo sendiri belum disayang dengan benar.”

Prince mengatupkan bibirnya. Pelan-pelan, tubuhnya bergetar. Tapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena luka yang akhirnya diberi izin untuk bernapas.

“Lo tetap Prince yang sama buat gue,” lanjut Margaret. “Yang nyebelin, over posesif, tapi juga yang paling tulus.”

Prince tersenyum kecil, untuk pertama kalinya setelah lama. “Lo yakin gak nyesel kenal sama gue?”

Margaret mencubit pipinya pelan. “Yakin. Tapi nyesel gak bisa ketemu lo lebih awal. Mungkin... gue bisa bantu lo dari dulu.”

Prince menatap Margaret, lalu menunduk. “Sekarang lo udah bantu.”

Dan malam itu, dua luka—yang satu fisik, yang satu batin—beristirahat di ruang yang sama. Bukan untuk menutupi luka-luka itu, tapi untuk mengobatinya... bersama-sama.

1
Faulinsa
apakah Arkan malaikat pencabut nyawa? duh..
penulismalam4: Duh,bahaya ni
total 1 replies
Faulinsa
Arkan tu kayak cenayang gitu kah Thor? kok tahu masa depan??
Shintaa Purnomo
lumayan bagus, tetap semangat karna menulis dan merangkai sebuah cerita itu sulit
penulismalam4: iya, makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!