Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu?
SATU MINGGU KEMUDIAN
Cuti bulan madu mereka telah berakhir. Pagi ini, Damian dan Aletha harus kembali ke rutinitas sebagai CEO dan asisten pribadi di perusahaan milik keluarga Damian. Meskipun sudah menikah, tetapi jika di kantor mereka tetap harus menjaga profesionalisme sebagai atasan dan bawahan.
Aletha duduk di tepi tempat tidur, masih mengenakan piyama dan menguap malas. Sementara itu, Damian sudah rapi dengan kemeja biru tua dan jas hitam, berdiri di depan cermin sambil merapikan dasinya.
"Kamu belum siap juga?" tanyanya dengan nada tajam, melirik ke arah Aletha yang masih santai seakan tak akan pergi ke mana pun.
Aletha hanya mengangkat bahu. "Santai aja, Dam. Kita masih punya waktu."
"Tinggal 30 menit lagi, Aletha. Kita harus berangkat sekarang kalau nggak mau terjebak macet."
Aletha menghela napas, lalu akhirnya bangkit dengan malas. "Oke, oke, aku siap dalam lima belas menit."
"Sepuluh," sahut Damian cepat.
Aletha mendengus tapi tetap masuk ke kamar mandi. Dalam lima menit ia sudah kembali dengan memakai handuk yang melilit tubuhnya yang ramping.
Damian terbelalak, jantungnya berdebar-debar melihat istrinya seperti itu tanpa malu-malu.
"Al, kamu jangan santai-santai kayak gitu, waktunya tinggal sedikit. Cepetan pakai baju dan bersiap!" tegur Damian dengan perasaan yang tak karuan.
Aletha dengan santai menjawab, "Iya, iya, bawel banget! Gak bisa lihat orang santai dikit!"
"Bukannya gak boleh santai, tapi waktu kita udah mepet."
"Oke, aku bakal siap dalam waktu singkat, Pak Bos!"
Aletha gegas masuk ke ruang ganti, sementara Damian geleng-geleng kepala. Kelakuan Aletha semakin hari semakin menguji kesabaran dan keimanannya.
Beberapa menit kemudian, Aletha sudah keluar dengan mengenakan blazer hitam yang dipadukan dengan kemeja putih dan rok pensil warna hitam. Penampilannya itu menunjukkan betapa sempurnanya bentuk tubuh wanita muda berusia 24 tahun itu.
Aletha berdiri di depan cermin, menyisir rambut dan hanya menguncir rambut seadanya, membuat Damian menghela napas panjang.
"Kamu bisa lebih rapi sedikit?" tanyanya, matanya mengamati kancing blazer Aletha yang tidak terkancing dengan benar.
"Jangan salahkan aku kalau penampilan aku gak rapi. Kamu yang bikin aku berdandan cepat kayak gini," jawab Aletha sambil memakai pelembap wajah dan bedak.
"Kok aku? Itu salah kamu, harusnya kamu dari tadi jangan malas-malasan. Kalau kamu siap-siap sejak tadi, pasti sekarang kita udah pergi."
"Tetap aja kamu yang salah. Kamu kan bos aku, harusnya kamu bisa lebih santai dan kasih aku waktu lebih lama buat bersiap," Aletha tetap tak mau salah.
Damian cukup jengkel, tapi enggan berdebat dengan Aletha yang tak pernah kalah dalam adu mulut dengannya yang lebih pendiam.
Daripada terus berkomentar, Damian lebih memilih untuk mendekat Aletha dan merapikan blazernya itu dengan gerakan cepat. Damian tidak bicara sepatah katapun sementara Aletha menata kembali rambutnya agar terlihat rapi.
"Udah," ucap Damian setelah selesai membenarkan penampilan istrinya. Damian menarik tangan Aletha menjauh dari cermin.
"E-eh... wait," Aletha menahan tangannya.
"Apa lagi?" tanya Damian dengan nada kesal.
"Aku belum pakai lipstik! Bibir aku pucat kalau gak pakai lipstik," jawab Aletha yang langsung menyambar lipstiknya.
Damian menghela napas panjang, sungguh Aletha adalah ujian terbesar baginya setelah menikahinya.
Setelah memakai lipstik, Aletha menatap Damian. "Gimana? Apa aku udah cantik?" tanyanya dengan senyum manis.
Damian balas menatapnya dan menjawab dengan malas, "Udah, cantik. Ayo pergi!"
Damian menarik tangan Aletha lagi, mereka keluar dari kamar bersama-sama dengan Aletha yang terus menggerutu karena Damian agak kasar padanya. Tetapi Damian tidak peduli, terlalu membuang banyak waktu jika mempedulikan Aletha.
___________________
Di perjalanan menuju kantor, Damian tetap fokus menyetir, sementara Aletha menyandarkan kepalanya ke kaca mobil dengan mata terpejam.
"Jangan tidur," ujar Damian tanpa menoleh.
Aletha mengintip satu mata. "Kenapa?"
"Kita akan langsung masuk ke meeting pagi ini. Kamu harus siap."
"Aku kan cuma asisten, cukup duduk di belakang dan mencatat," sahut Aletha dengan nada menggoda.
Damian mendesah. "Dan tugasmu adalah memastikan aku mendapatkan semua dokumen yang kubutuhkan."
"Tenang aja, Bos. Semua sudah beres," jawab Aletha santai.
"Terserah. Yang pasti jangan tidur, nanti muka kamu jelek lagi."
"Hish! Seenaknya! Mentang-mentang kamu ganteng!"
"Memang aku ganteng kok," Damian membanggakan diri.
"Ganteng tapi suka sejenis, buat apa?"
"Ya gak apa-apa, toh setiap orang punya hak buat suka siapa aja."
"Yayayaya..." Aletha mencibir suaminya.
Perjalanan mereka tampak lebih mulus dari biasanya, mereka bebas macet pagi ini.
Sesampainya di kantor, suasana tetap seperti biasa meskipun banyak karyawan dan mengucapkan selamat pada keduanya atas pernikahan mereka.
Meskipun semua orang tahu mereka sudah menikah, tapi mereka tahu jika Damian dan Aletha tetaplah bos dan bawahannya di kantor, sehingga mereka tak berani terlalu banyak bercanda.
Keduanya langsung memasuki lift menuju lantai 6 di mana ruangan Damian berada. Setelah sampai, mereka langsung berpisah dan masuk ke ruangan masing-masing untuk siap bekerja.
Begitu Aletha duduk di ruangannya, ponselnya bergetar.
Pesan dari Damian:
"Bawa kopi ke ruanganku. Hitam, tanpa gula. Dan cepat."
Aletha tersenyum kecil. "Perfeksionis banget sih, suamiku ini."
Dengan cepat ia mengambil kopi dari pantry dan membawanya ke ruangan Damian. Saat masuk, Damian sedang duduk di balik meja kerjanya, membaca dokumen dengan serius.
"Kopinya, Bos," kata Aletha santai, meletakkan cangkir di meja.
Damian mengambilnya tanpa menoleh. "Terima kasih."
Aletha menyilangkan tangan di dada. "Oh ya, tantangan kita gimana? Kamu berhasil mengurangi rokok atau nggak?"
Damian akhirnya menatapnya, matanya menyipit. "Kenapa? Kamu berharap aku kalah?"
"Jelas! Aku udah ngebayangin liburan gratis yang bakal kamu traktir."
Damian menyeringai tipis. "Jangan senang dulu. Aku masih bertahan."
Aletha tersenyum puas. "Kita lihat aja nanti, Pak CEO. Aku akan bikin kamu berhenti merokok dengan cara apapun."
Damian hanya menggelengkan kepala, sementara Aletha berbalik pergi dengan senyum jahil.
"Silakan saja kalau bisa, Aletha. Berjuanglah, agar aku tahu sepeduli apa kamu padaku."
*****
SATU JAM KEMUDIAN – RUANG RAPAT
Aletha duduk di samping Damian dengan tablet di tangannya, siap mencatat poin-poin penting pada rapat hari ini. Ruangan sudah penuh dengan para petinggi perusahaan, semuanya menunggu Damian membuka rapat.
Seperti biasa, Damian tampak rapi dan profesional. Matanya tajam menatap layar presentasi, lalu mengangguk kecil sebelum mulai berbicara.
"Kita akan membahas strategi pemasaran untuk kuartal berikutnya. Saya ingin laporan rinci tentang perkembangan proyek terakhir dan progres setiap divisi."
Salah satu manajer pemasaran, Andra, segera memulai laporannya. Aletha mendengarkan dengan saksama, tapi ada momen di mana pikirannya melayang. Ia melirik Damian yang fokus, sesekali mengetuk ujung pulpennya ke meja dengan ritme teratur—tanda kalau ia sedang berpikir keras.
"Pak Damian, kami sudah menyiapkan beberapa strategi digital untuk meningkatkan engagement," ujar Andra sambil menampilkan grafik di layar.
Damian mengangguk sedikit. "Bagus. Tapi bagaimana dengan anggaran? Apakah sudah dihitung potensi return on investment dari kampanye ini?"
Andra sedikit terdiam, lalu melirik ke arah Aletha. "Bagian keuangan belum memberikan data finalnya, Pak."
Damian menghela napas pelan. "Saya minta semua angka sudah lengkap sebelum presentasi. Lain kali, pastikan semua divisi sudah sinkron sebelum rapat."
Andra mengangguk cepat. "Baik, Pak."
Aletha mencatat sesuatu di tabletnya dan tanpa bicara, ia menyentuh lengan Damian sebentar untuk menarik perhatiannya. Begitu Damian meliriknya, Aletha menunjukkan layar tabletnya yang berisi laporan keuangan yang sudah ia siapkan sebelumnya.
Damian membaca sekilas, lalu menoleh ke Aletha dengan tatapan penuh arti sebelum kembali berbicara. "Aletha sudah menyiapkan datanya. Silakan lihat di layar."
Andra dan timnya tampak sedikit terkejut, tapi mereka segera memperhatikan data yang ditampilkan. Aletha hanya tersenyum kecil.
Rapat berjalan lancar hingga akhir. Setelah semua selesai, Damian menutup laptopnya dan beranjak berdiri. "Baik. Saya ingin laporan lengkap dikirimkan ke meja saya sore ini."
Para petinggi perusahaan segera mengangguk dan mulai berkemas meninggalkan ruangan. Aletha juga beranjak berdiri, tapi sebelum ia sempat keluar, Damian menahannya dengan memanggil namanya pelan.
"Bagus kerja samanya," ucap Damian, suaranya lebih santai dibanding saat di rapat.
Aletha menyeringai. "Tentu dong. Kalau nggak ada aku, kamu pasti makin stres."
Damian menghela napas, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. "Berhenti membanggakan diri, Aletha."
"Tapi itu fakta, Pak CEO," jawab Aletha mendekatkan wajahnya pada Damian.
Tangan Aletha tiba-tiba melingkar di leher Damian dan wajah keduanya sangat dekat. Tatapan mata Aletha menggoda, Damian justru fokus pada bibirnya yang ranum.
"Kenapa? Kamu tergoda sama aku?" goda Aletha.
Damian tersenyum kecil. "Gadis kecil."
"Kecil-kecil cabe rawit, kan?" kata Aletha sambil mengedipkan sebelah mata sebelum melepaskan tangannya dari Damian dan melangkah keluar lebih dulu.
Damian menatap punggungnya yang menjauh, "Sampai kapan aku akan tahan godaan?"
___________________
Setelah keluar dari ruang rapat, Aletha berjalan menuju ruangannya dengan langkah ringan. Senyum kecil masih terukir di bibirnya, puas karena berhasil sedikit menggoda Damian yang baginya masih sulit di luluhkan.
Tapi baru saja ia duduk, ponselnya kembali bergetar.
Pesan dari Damian:
"Ke ruangan saya. Sekarang."
Aletha menghela napas. "Ada apa lagi sih? Dia kangen aku kayaknya," ucap Aletha sedikit malas karena lelah.
"Udahlah, mending aku samperin daripada nanti dia ngamuk," katanya. Sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju ruangan bos sekaligus suaminya itu.
Begitu masuk, Damian sudah duduk di sofa dengan ekspresi serius, tetapi tatapannya tetap lembut.
"Kenapa manggil aku lagi, Bos ku, CEO-ku, suamiku, Damian-ku?" tanya Aletha sambil menutup pintu di belakangnya.
Damian mengisyaratkan agar Aletha duduk di sofa di ruangannya. "Aku ingin kamu periksa ini," katanya sambil menyodorkan beberapa dokumen. "Pastikan tidak ada kesalahan sebelum kita serahkan ke tim keuangan."
Aletha mengangkat alis. "Serius banget, Pak Bos. Aku baru aja duduk di ruanganku loh. Kamu jahat deh, aku gak boleh istirahat," Aletha merengek manja dengan bibir mengerucut.
Damian hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Aku butuh hasilnya sebelum jam makan siang. Kalau kamu protes terus, nanti gaji kamu aku potong."
Aletha akhirnya duduk di sofa, mengambil dokumen itu dengan malas. "Oke, oke, aku lihat sekarang. Gak usah deh ancam-ancam soal gaji, gak etis, huh!"
Aletha membaca dokumen yang diberikan Damian, meskipun agak jengkel tapi ia tetap fokus. Damian terus menatapnya dari samping, memperhatikan wajah Aletha yang cantik dan manis.
Sambil membaca, Aletha merasa Damian sedang memperhatikannya. "Kenapa ngelihatin aku begitu?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari kertas-kertas di tangannya.
Damian menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. "Aku hanya berpikir, kamu cukup cepat menangkap arah pembicaraan tadi di rapat. Kamu memang sangat profesional dalam dunia kerja."
Aletha menyeringai. "Tentu aja. Aku ini aset berharga perusahaan. Makanya, kamu harus naikin gajiku, jangan pelit!"
Damian menggelengkan kepala, tetapi ada senyum kecil di sudut bibirnya. "Setelah ini, kita makan siang di luar. Mau?"
Aletha langsung menatapnya dengan mata berbinar. "Serius? Bukan catering kantor?"
Damian mengangguk. "Aku tahu kamu bosan makan di sini. Kamu boleh makan apapun yang kamu mau, aku traktir."
Aletha menutup dokumen yang sudah ia periksa, lalu tersenyum puas. "Oke, aku selesaikan ini dulu, lalu kita pergi."
Damian hanya menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan. Ia tidak mengatakannya, tapi ia menikmati momen-momen kecil seperti ini—hanya berdua dengan Aletha, meski dalam balutan kesibukan pekerjaan.
_______________
Aletha dan Damian akhirnya sampai di sebuah restoran yang letaknya tak begitu jauh dari kantor. Mereka duduk berhadapan dan mulai memasang makanan yang mereka inginkan.
Aletha memesan tiga jenis menu dengan harga yang mahal dan memang makanan favoritnya ketika masuk ke restoran itu setelah gajian.
Aletha memang bukan anak orang miskin, namun ia cukup mandiri. Aletha selalu mengandalkan uang gajinya setiap kali ingin memakan makanan yang mahal. Bukan tanpa sebab, namun Aletha merasa memakai uangnya sendiri lebih memuaskan.
"Kamu yakin mau makan sebanyak itu?" tanya Damian setelah mereka memesan.
"Yakin. Aku biasa makan itu kalau udah gajian," jawab Aletha.
"Anehnya..." Damian menatap tubuh Aletha dan berkomentar, "badan kamu kecil meskipun suka makan banyak. Apa kamu cacingan?"
Aletha langsung melotot. "DAMIAN... Lihat aja, pulang nanti aku hajar kamu habis-habisan untuk penghinaan ini. Huh!"
Damian hanya tersenyum. "Lakukan aja, kalau kamu bisa."
"Bisa dong! Aku bisa melumpuhkan kamu dengan sekali pukul," katanya sambil mengacungkan kepalan tangan di hadapan Damian.
"Hmmm... Gadis kecil, mana bisa melumpuhkan aku," Damian meremehkan.
Aletha semakin kesal, tapi Damian menikmati kekesalan istrinya yang membuat wajah Aletha bertambah lucu.
"Dami," suara itu tiba-tiba terdengar oleh mereka hingga keduanya menoleh.
Damian dan Aletha terkejut melihat Bella kini berdiri di sisi Julian.
"Bel," ucap Damian.
Bella tersenyum. "Lama gak ketemu, Dam, Aletha. Aku dengar kalian sudah menikah ya? Selamat ya."
Damian hanya mengangguk, namun Aletha menyahut dengan ramah, "Makasih banyak, Bella."
"Sama-sama. Kalian kelihatan serasi," ucap Bella. Meskipun memuji, namun terlihat senyuman Bella itu tak tulus.
Aletha tersenyum canggung, ia menatap Damian yang hanya diam tanpa menatap Bella.
Tiba-tiba, tangan Bella mengelus bahu Damian, membuat Aletha terbelalak.
"Dami, boleh kita bertemu lain kali?" tanya Bella.
"Untuk apa?" tanya Damian dengan nada dingin.
"Ada hal yang ingin aku bicarakan."
Tangan Bella semakin lama mengelus bahu Damian, sentuhan lembutnya itu membuat Damian hampir terbuai.
Aletha yang merasa tak seharusnya melihat itu dan merasa tak seharusnya ada di sana, berdiri dan berkata, "Dam, aku balik ke kantor ya. Aku lupa, tadi aku belum mengerjakan beberapa tugas."
Tanpa menunggu reaksi Damian, Aletha langsung melangkah pergi dengan langkah yang cepat. Damian hanya bisa menatap kepergiannya dengan perasaan bersalah.
BERSAMBUNG...
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
selesaikan dulu masa lalumu dam
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu