Malam temaram, cahaya siluet datang menyambar. Detak jantung berlarian ke segala arah. Menimpali ubin yang kaku di tanah.
Di sana, seorang anak kecil berdiri seperti ingin buang air. Tapi saat wajah mendekat, Sesosok hitam berhamburan, melayang-layang menatap seorang wanita berbaju zirah, mengayunkan pedang yang mengkilat. Namun ia menebas kekosongan.
Apakah dimensi yang ia huni adalah dunia lain? nantikan terus kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asyiah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjauh
BUMMMMM....
Tanah penuh retak-retak, retakannya membulat.
SLUPPPPP
Kerajaan menghilang. Hanya ada retakan tanah yang bulat dan dalam. Seperti dikeruk oleh mesin.
...****************...
TAP... TAP.... TAP ....
Bunyi kaki-kaki pelayan yang memandu tandu. Mereka mengeratkan pegangan, meski keringat sudah mengucur. Baju basah dan penglihatan mulai buram.
TAPPP... TAP...
Sretttt....
Tabib Zhu mengeluarkan kepalanya, timbul di antara jendela tandu.
"Kita istirahat saja, aku tak ingin kalian kenapa-kenapa! "
"Tak usah, Tabib. Sekarang sudah semakin malam, kami tidak ingin ada sesuatu yang membahayakan datang. " Salah satu pelayan menjawab dengan nada penuh kekhawatiran.
"Apa kalian masih kuat? sekarang kita sedang memasuki hutan. Masih lama untuk sampai menuju rumahku. "
"Seberapa jauh? "
"Setelah melewati pengunungan yang terjal, kita akan sampai di bawah pegunungan itu. " Tunjuk Tabib.
"Hmmmmm.... " Beberapa pelayan bergumam.
Kemudian dua pelayan lagi bertanya, "Tabib, apakah ada tempat singgah untuk kita beristirahat sebentar setelah melewati hutan ini? "
Terlihat sedikit gemetar, dengan lutut yang sudah mulai menggigil, penghilangan yang memburam dan kedua tangan yang sudah lecet memegang erat tandu.
"Ada. Setelah melewati hutan yang jaraknya masih 5 km. Kita akan menemukan pondok, lumayan untuk kalian beristirahat sebentar. " Ucap Tabib.
"Baik, Tabib. " Jawab empat pelayan dengan penuh kegirangan.
Mereka mengerahkan seluruh kekuatan. Membawa ketiga orang yang berada dalam tandu.
"Hmm... Sepertinya Putri Lucy jauh lebih tenang. Aku merasa kasihan padanya. "
Terlihat Kick sedang meringkuk menatap lutut yang terluka. Menangis dalam diam. Terlihat di sorot matanya.
"Aku juga merasa kasihan padamu! " Tabib melirik sekilas dan mengedarkan pandangan ke arah Putri Lucy.
"Tak perlu mengasihaniku. Aku laki-laki sejati. Tidak akan berhenti, aku harus kuat. Walaupun, Ayah.... " Nafas nya tercekat.
Tabib Zhu memeluk tubuh kecil penuh keringat itu. Di dalam tandu yang hanya muat dua orang, sekarang harus berisi tiga orang sekaligus. Rasanya pengap. Hanya sepasang jendela saja yang bisa membebaskan udara.
"Ayah...... " Tangisannya semakin meningkat. Rasa ngilu sakit di tubuhnya sangat terasa, tapi kehilangan sang ayah lebih pedih daripada rasa sakit di lutut dan di gigi nya.
Perlahan, Kick tertidur. Tabib Zhu menyandarkan tubuh Kick pada sebuah bantal.
Sementara Lucy, dia sudah lama tertidur, dalam tangisan panjang dan histerisnya. Hingga terbawa ke dalam mimpi-mimpinya.
...****************...
Langit semakin gelap. Tapi mereka tetap melangkah maju.
Akhirnya mereka melewati hutan yang panjang. Terlihatlah dari kejauhan ada pondok reyot.
"Berhentilah! Kita akan beristirahat di sini. " Perintah Tabib Zhu.
Tabib ingin turun, tapi melihat kedua anak kecil ini. Dia merasakan tanggung jawab yang besar.
"Aku menjadi orangtua untuk kedua anak ini. Sungguh besar tanggung jawabku. Yang satunya anak yang punya kekuatan yang sama denganku. Satu lagi, anak laki-laki yang keras kepala, hampir sama juga dengan sifatku! " Gumam Tabib.
Perlahan dia turun dari tandu, tidak ingin membangunkan kedua anak itu.
"Istirahat lah di sini."
"Ini minumlah. Kalian pasti sangat haus. " Tabib Zhu memberikan sebotol kendi berukuran labu.
GLEKKKK... GLEKKKKK...
Mereka minum dengan cepat. Rasa haus membakar indera mereka. Secepat kilat menghapus haus dengan air yang sangat dingin.
Dingin semakin menyelimuti, kabut menghampiri. Tabib Zhu hampir tidak tidur. Dia terus merapalkan mantra-mantra agar diberikan dewa perlindungan. Setidaknya harus sampai ke rumahnya terlebih dahulu.
Tabib Zhu menatap rembulan. Sekarang sudah tengah bulan, bulannya terbelah, hanya setengah.
"Aku jadi yakin.... " Suara Tabib hampir tak terdengar dengan dia sendiri.
"Setelah ini, aku harus merawat anak-anak emas ini. Raja dan Ratu memberikan wasiat yang sangat terasa berat di pundak ini. " Tabib Zhu menepuk-nepuk pundaknya, seolah beban yang sangat berat ada di sana.
"Apakah aku sanggup? Oh, Dewa.... Hukuman apa yang Engkau beri... Aku tak yakin akan sanggup ...." Tabib mengasihani dirinya sendiri.
Hidup sebatang kara mengajarkan dia bahwa bersosialisasi hanya akan merusak pahala yang sudah dia timbun selama ini. Akan terkikis dengan dosa.
Tandu bergoyang-goyang. Jalanan tampak terjal.
"Ya, beginilah jalan pegunungan. Nikmati saja! " Ucapnya pelan.
Tabib Zhu duduk dengan ketenangan. Meski sesekali terbatuk. Kabut masih mengepung. Seperti daging asap yang dipanggang.
Tabib Zhu tak bisa merasakan kekuatannya. Meski dia sangat menyayangkan kekuatannya, tapi juga ada syukur yang tak terhingga. Dia terbebas dari kekuatannya itu.
Jalanan semakin tidak teratur. Beberapa kali jalanan terdapat baru sebesar kerikil. Ada juga yang sebesar bongkahan kristal dan tentu ada batu yang sebesar bola kasti.
Pelayan semakin hati-hati. Sedikit saja meleset, mereka semua akan masuk ke jurang.
Jalanan di pegunungan tidak bisa diprediksi. Sedikit melepas kendali, maka jurang menanti. Batu-batu menunggu untuk diinjak. Beberapa akar juga terlihat menjuntai, ada akar pohon yang apabila tanpa waspada melihat ke jalanan, bisa terantuk dan terhuyung bahkan masuk ke jurang.
KRIKKK... KRIKKK... KRIKKK
KRIKKK... KRIKKK... KRIKKK
Jangkrik saling sahut. Mereka menanti hujan. Meski sudah satu bulan penuh ini tak ada hujan. Tanah menjadi lebih gersang.
Sekawanan jangkrik berteduh di bawah dedaunan rumput liar, beberapa lagi di bawah pohon di bawah dedaunan dan ranting. Saling bercerita, bernyanyi, bersama melewati malam berharap keajaiban akan terjadi.
Sementara Lucy, ada beberapa keringat yang muncul di dahinya. Akhirnya dia terbangun.
"Ayah.... Ibu....!!! " Jerit nya.
"Aku ingin ayah dan ibu berada di sampingku! " Lucy memeluk Tabib Zhu.
Tabib Zhu menatap dengan rasa iba. Seperti kasian melihat anak sendiri. Padahal kenyataannya, tabib tak memiliki anak.
Kick terbangun, dia pun melamun menatap bulan yang hanya tersisa setengah. Sejak tadi dia tak mengeluarkan suara.
"Diamlah. Semua akan baik-baik saja. Ayah dan Ibu mu pasti bangga karena kau sudah sekuat ini. Sudah... Sudah, jangan menangis lagi. Anak manis tak mungkin menangis! " Tabib Zhu berusaha menenangkan Lucy.
"Kita masih lama sampai, istirahat lah. Kita akan tinggal di rumahku. " Ucap Tabib Zhu.
"Aku ingin pulang. " Rengek Lucy.
"Lucy, jadilah anak yang menurut kali ini. Kau mau ayah dan ibu mu bersedih melihat kau seperti ini? "
"Hmmmm.... Tidakk! "
"Jadi diam lah. Jalanan di sini semakin terjal. " Tabib Zhu membuka jendela. Menatap hamparan pohon pinus.
Lucy mengikuti langkah Tabib. Dia melihat pemandangan malam yang begitu membuatnya sedikit terusik, takut dan ingin marah namun tak bisa.
Lucy menghapus air matanya. Bagaimana pun nasihat dari ayah dan ibunya masih terngiang, tapi rasa marah karena kematian kedua orangtuanya membuatnya tak bisa menerima keadaan ini.
Lucy menatap bulan. Tampak setengah, seperti hatinya saat ini, yang tak memiliki tujuan untuk menjalani kehidupan.
Saat keraguan menguasai hati, hanya ada celah untuk selalu beralasan. Ketika tak ada kepercayaan, maka yang hadir adalah kehati-hatian.
...----------------...