"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Memperbaiki Hubungan
"Ugh..." Suara erangan tertahan terdengar dari bibir Cassie.
Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui sela-sela tirai apartemen Bram. Suasana hening, hanya terdengar detak jam dinding dan napas teratur dua insan yang baru saja saling menyatu dalam kehangatan semalam.
Cassie membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa lelah, tapi hatinya hangat. Ia menoleh ke samping dan mendapati Bram sudah terjaga, menatapnya dengan senyum kecil di sudut bibirnya. Dia mengingat setiap detail yang mereka lakukan.
Semua yang dilakukan berbeda dari hal yang pernah dilakukan Bram sebelumnya. Pria itu tidak menyentuh Cassie pada bulan pertama mereka menikah. Cassie harus berusaha keras untuk mendapatkan hati Bram, sekarang semua yang terjadi terasa tidak nyata baginya.
“Pagi,” ucap Bram pelan.
Cassie menggeliat kecil, lalu menarik selimut menutupi tubuhnya. “Pagi...”
Hening sejenak. Suasana mendadak terasa canggung. Cassie tidak tahu harus bicara apa. Apakah yang mereka lakukan semalam adalah sebuah keputusan yang benar?
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Bram merasa Cassie memikirkan sesuatu yang sangat serius.
"Aku hanya tidak menyangka bila kamu mencintaiku. Semua orang mengatakan kalau kamu membenciku dan mencintai Raina," jawab Cassie dengan polos.
Kenangan Bram merebak, pada saat mereka melakukannya pertama kali. Cassie berbuat sesuatu yang membuatnya penuh amarah ketika pertama kali melakukannya.
Bram menatap Cassie dalam diam, matanya menyala oleh amarah yang tertahan. Nafasnya berat, tubuhnya menegang, dan ketegangan di antara mereka memuncak di dalam ruangan yang sunyi. Ia menarik Cassie ke pelukannya, bukan dengan kelembutan seperti biasa, tapi dengan dorongan emosi yang tak lagi ia sangkal.
"Bukankah aku sudah mengatakan kalau kamu tidak boleh menyudutkan Raina. Dia itu adalah teman masa kecilku. Kamu tidak boleh melakukannya lagi," tukas Bram.
Cassie menantang Bram. "Hal itu tidak akan aku lakukan kalau kamu sudah melakukan kewajibanmu. Aku menuntutmu melakukannya, Bram!"
Amarah Bram memuncak ketika Cassie menantangnya, salah satu hal yang tidak dia sukai dari Cassie adalah sifat perempuan itu yang memaksakan kehendaknya.
“Ini yang kamu mau, kan?” desisnya di telinga Cassie, suaranya rendah dan tajam. Tangannya menggenggam erat pinggang Cassie, seolah ingin memastikan bahwa perempuan itu tidak akan pergi darinya lagi. Cassie terkejut, menatap Bram dengan bingung, tapi tidak menolak. Ada luka di matanya, tapi juga kerinduan.
Bram mencium Cassie—keras, menuntut, penuh kemarahan dan rasa memiliki. Tidak ada kelembutan, hanya luapan emosi yang meledak dalam gerakannya. Namun, di balik sikap kasarnya, ada kelegaan luar biasa dari Cassie ketika Bram pertama kali menyentuhnya.
"Bram, aku... Ah..." gumam Cassie sudah tidak memiliki tenaga membendung perbuatan Bram yang kasar.
"Kau harus terus menerima semuanya, Cassie. Ini semua adalah hukuman untukmu," tukas Bram terus menghujam dalam, walau melihat Cassie menitikkan air mata.
"Tolong lupakan masa lalu kita, Cassie. Kumohon. Aku akan menggantinya dengan kenangan yang indah. Maafkan aku, Sayang," gumam Bram.
"Aku mencoba untuk percaya, Bram," tukas Cassie. Ada sedikit perasaan khawatir bila Bram kembali seperti dulu. Tentu saja, keberadaan Raina tidak bisa dia abaikan begitu saja.
Namun, dia tidak pernah menyesal memberikan kesempatan pada Bram. Wanita itu berharap pilihannya untuk bersama dengan Bram tepat. Walau untuk mengenang masa lalu, Cassie masih takut dan trauma.
Bram seolah menyadari keraguan Cassie. Dia mendekat perlahan, menyentuh pipi Cassie dan membisikkan, “Percayalah padaku. Kita mulai semua dari nol."
Cassie menggeleng cepat. “Bukan itu... hanya saja... agak aneh aja.”
Bram tertawa pelan. “Aneh kenapa? Kita kan masih suami istri."
Bahasa tubuh Bram berkata lain. Dia mendekati Cassie dan mengecup bibir wanita itu singkat.
Cassie tidak menjawab, hanya mendecak pelan. Bram mendekatkan tubuhnya, meraih Cassie dan memeluknya dari belakang. “Mumpung masih pagi...” bisiknya menggoda, membuat Cassie berbalik dan menatapnya dengan heran.
“Bram... jangan sekarang... aku—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, Bram sudah kembali mencuri ciumannya. Lembut, lalu semakin dalam. Cassie membalas dengan napas memburu, meski kemudian ia mendorong dada Bram pelan.
“Bram... aku lapar,” ujarnya dengan nada manja, membuat Bram tertawa geli.
“Ya udah, mandi dulu sana. Nanti aku siapin sarapan.”
Setelah mandi bersama, yang tidak benar-benar hanya sekadar mandi. Cassie duduk di meja makan dengan senyum malu-malu. Bram, mengenakan kaus dan celana pendek, sibuk menyiapkan roti panggang dan telur orak-arik.
“Aku suka lihat kamu begini,” gumam Cassie.
Bram menoleh dan tersenyum, “Maksudnya jadi suami siaga?”
Cassie mengangguk. “Tapi kita belum benar-benar bicara soal hubungan ini. Aku masih belum yakin."
Bram meletakkan piring di hadapannya lalu duduk berseberangan. “Aku tahu. Cassie, aku serius mau memperbaiki semuanya. Kita mulai dari awal. Pelan-pelan, asal kamu mau kasih aku kesempatan.”
Cassie menunduk. “Aku juga mau mencoba, Bram. Tapi kita harus membicarakannya dengan keluar...
Bel apartemen berbunyi tiba-tiba, memotong percakapan mereka. Bram berdiri, membuka pintu, dan wajahnya langsung berubah tegang.
Di ambang pintu, berdiri Gunawan, Papa Cassie. Dengan wajah merah padam, rahang mengeras, dan tatapan penuh amarah.
“Papa...” Cassie berdiri tergesa, terkejut melihat kedatangan ayahnya.
“Kamu ikut Papa sekarang juga!” tegas Gunawan sambil menarik tangan Cassie.
Bram segera bergerak, “Pa, tunggu dulu—”
“Diam kamu! Aku sudah cukup sabar melihat kamu dekat-dekat lagi dengan anakku!” hardik Gunawan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan.
Cassie mencoba menjelaskan, “Ayah, tolong dengarkan dulu..."
“Tidak ada penjelasan! Kamu tinggal di apartemen laki-laki ini dan menginap semalaman? Apa kamu sudah hilang akal?!”
Cassie tercekat. Bram mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi. Dia harus tetap bersikap baik di depan Gunawan.
“Papa, aku mohon, dengarkan kami dulu,” pinta Cassie sambil menahan tangis.
Namun, Gunawan tak memberi kesempatan. Ia menyeret Cassie keluar dari apartemen Bram, meninggalkan Bram yang hanya bisa memandang dengan tatapan nanar.
Di balik pintu yang tertutup, Bram berdiri membisu. Tapi tekadnya tidak padam.
“Tunggu aku, Cassie,” gumamnya pelan.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca. ❣️
Dan juga keluarga Adrian kenapa tdk menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi Rania yg licik?? dan membiarkan Bram menyelesaikannya sendiri?? 🤔😇😇
Untuk mendapatkan hati & kepercayaannya lagi sangat sulitkan?? banyak hal yg harus kau perjuangan kan?
Apalagi kamu harus menghadapi Rania perempuan licik yg berhati ular, yang selama ini selalu kau banggakan dalam menyakiti hati cassie isteri sahmu,??
Semoga saja kau bisa mendapatkan bukti kelicikan Rania ??
dan juga kamu bisa menggapai hati Cassie 😢🤔😇😇
🙏👍❤🌹🤭
😭🙏🌹❤👍