NovelToon NovelToon
Adharma

Adharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Horror Thriller-Horror / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.

Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.

Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.

Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perburuan Di Mulai

Darma duduk di bangku kayu di sebuah taman kecil yang sepi, menghisap rokok dalam-dalam. Hari masih pagi, dan matahari baru saja naik dari ufuk timur. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi tidak lebih dingin dari rasa yang menggerogoti hatinya.

Di sekelilingnya, beberapa orang berjalan dengan wajah serius, sebagian menatap layar ponsel mereka. Ia bisa mendengar bisikan mereka, walau suaranya samar.

"Lihat berita tadi malam? Si Adharma itu ternyata dalang semua pembantaian yang terjadi belakangan ini!"

"Gila, dia bahkan ngebunuh Pak Jaya sampe bunuh diri! Orang itu harus segera ditangkap!"

"Polisi sudah mengeluarkan surat perintah penangkapan. Dia sekarang buronan nomor satu di kota ini."

Darma menekan puntung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya. Ia menarik napas dalam, menenangkan pikirannya.

Permainan licik ini sudah dimulai.

Kapolres dan Wali Kota telah mengubahnya dari seorang pria yang mencari keadilan menjadi seorang kriminal di mata publik.

Di layar televisi besar di tengah kota, wajahnya muncul dengan filter hitam-putih yang kasar. "BURONAN KELAS A: ADHARMA – TERORIS KOTA SENTRAL RAYA"

Darma tersenyum kecil.

Mereka ingin memburunya?

Baik.

Dia akan memberi mereka alasan untuk benar-benar takut.

Di dalam kantor kepolisian Kota Sentral Raya, Kapolres Sutarman duduk di kursinya dengan wajah serius. Di hadapannya, ada beberapa petugas yang menunggu instruksi.

"Laporan terakhir?" tanyanya dingin.

"Sesuai perintah, kami telah menyebarkan berita di media bahwa Adharma adalah dalang di balik semua kejadian kriminal besar belakangan ini," jawab seorang petugas. "Mulai dari pembantaian di pelabuhan, penyiksaan Pak Jaya, dan beberapa pembunuhan lain yang mungkin berkaitan dengannya."

Kapolres mengangguk puas. "Bagus. Masyarakat sudah mulai termakan informasi itu?"

"Ya, Pak. Banyak yang mulai takut dan meminta polisi segera menangkapnya. Beberapa bahkan ingin membentuk kelompok warga untuk membantu pencariannya."

Sutarman tersenyum. "Sempurna. Wali Kota ingin Adharma tidak hanya diburu polisi, tetapi juga diburu oleh warga. Dia harus kehabisan tempat untuk bersembunyi."

Seorang perwira lain angkat bicara. "Pak, bagaimana kalau dia tetap berhasil menghindari kita?"

Kapolres menyandarkan tubuhnya, matanya tajam. "Kalau dia tidak muncul, kita buat seolah-olah dia terus beraksi. Lakukan operasi-operasi kecil, bunuh beberapa orang yang tidak penting, dan buat seolah-olah itu ulah Adharma."

Para polisi di ruangan itu saling berpandangan, tetapi mereka tahu ini bukan pertama kalinya mereka melakukan hal kotor seperti ini.

"Mulai sekarang, Adharma bukan hanya musuh kita," lanjut Kapolres. "Dia musuh seluruh Kota Sentral Raya."

Doni duduk di kamarnya, kepalanya tertunduk dalam. Berita yang baru saja ia tonton masih terus berputar di kepalanya.

Darma kini menjadi buronan.

Tapi bukan karena kejahatan yang benar-benar ia lakukan, melainkan karena permainan licik orang-orang di atas.

Doni tahu Darma bukan malaikat. Ia telah membunuh, ia telah menyiksa. Tapi yang lebih kejam lagi adalah mereka yang duduk di kursi kekuasaan, mengendalikan segalanya tanpa menyentuh darah sedikit pun.

Doni meremas tangannya.

Ia harus menemukan Darma sebelum polisi atau preman bayaran itu menemukannya lebih dulu.

Ia tidak bisa membiarkan sahabatnya bertarung sendirian.

Di kantornya yang mewah, Wali Kota Damar Kusuma menikmati anggur merahnya sambil menatap ke luar jendela. Kota Sentral Raya tampak hidup seperti biasa, tetapi di balik semua itu, kini ada ketakutan yang beredar di antara warga.

Ketakutan akan sosok bernama Adharma.

Ia tersenyum kecil.

"Sekarang, mari kita lihat sejauh mana kau bisa bertahan, wahai sang algojo keadilan," gumamnya.

Lalu ia menoleh ke asistennya. "Sebarkan pesan kepada semua preman dan kelompok kriminal di kota ini. Siapa pun yang bisa menangkap atau membunuh Adharma, akan mendapatkan uang dalam jumlah besar."

Asisten itu mengangguk, segera bergegas melaksanakan perintah.

Wali Kota menyesap anggurnya lagi.

Buruannya telah dimulai.

Darma berjalan pelan di trotoar, mengenakan hoodie hitam dengan tudung yang menutupi sebagian besar wajahnya. Tangannya dimasukkan ke dalam saku, menyembunyikan kegelisahan yang perlahan merambat di dadanya.

Di setiap sudut jalan, tiang listrik, dinding bangunan, dan bahkan halte bus—semuanya kini dipenuhi poster "BURONAN KELAS A: ADHARMA".

Dalam poster itu, gambarnya jelas: seorang pria dengan topeng tengkorak, pakaian tactical, dan dua cerulit yang bersilang di punggungnya.

"HADIAH 500 JUTA UNTUK INFORMASI LOKASINYA!"

Tulisan merah menyala membuat semua mata tertuju pada poster itu.

Darma melirik sekilas ke sekelilingnya. Banyak orang berdiri di depan poster itu, membicarakannya dengan suara berbisik.

"Gila! Lima ratus juta? Itu uang banyak banget!"

"Iya, tapi orang ini bukan sembarangan! Dia membantai orang di Gedung Menara Permata tanpa ampun!"

"Tapi kalau ada yang berhasil menangkapnya, dia bakal kaya mendadak!"

Darma tetap berjalan, menundukkan wajahnya sedikit.

Kota ini benar-benar sudah dibutakan oleh uang dan kekuasaan.

Kini dia bukan hanya diburu oleh polisi, tetapi juga oleh para pemburu uang yang rela mengkhianati siapa saja demi hadiah yang ditawarkan.

Darma masuk ke sebuah warung kopi kecil di gang sempit. Tempat ini sepi, hanya ada pemilik warung—seorang pria tua dengan rambut putih—dan satu pelanggan yang sibuk menatap ponselnya.

Darma duduk di sudut ruangan, memesan kopi hitam.

Saat ia menunggu, matanya menatap layar televisi kecil di dinding.

Saluran berita masih membahas tentang dirinya.

"Adharma, buronan kelas A yang bertanggung jawab atas berbagai aksi kriminal sadis di Kota Sentral Raya, kini menjadi ancaman terbesar bagi keamanan kota. Polisi telah mengerahkan seluruh tim investigasi untuk memburunya. Warga diimbau untuk segera melapor jika melihat sosok pria bertopeng tengkorak ini..."

Layar menampilkan rekaman polisi yang berkumpul di kantor Kapolres. Mereka tampak sibuk, menyiapkan strategi untuk menangkapnya.

Darma menarik napas panjang, lalu menyesap kopinya.

Sekarang, mereka serius memburunya.

Tapi mereka lupa satu hal...

Ia tidak akan melarikan diri.

Justru, dialah yang akan memburu mereka.

Darma meletakkan cangkir kopinya, lalu berdiri.

Saat ia berjalan keluar dari warung, pemilik warung—pria tua itu—berbisik pelan kepadanya.

"Hati-hati di luar sana, Nak. Kota ini sudah penuh dengan mata-mata."

Darma menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan.

Ia tahu.

Dan ia siap untuk itu.

BAB: PERTEMUAN YANG PENUH LUKA

Darma melangkah pelan di trotoar, kepalanya tertunduk, tangan di dalam saku jaketnya. Kota Sentral Raya seakan menelannya dalam hiruk-pikuk malam. Poster buronannya ada di mana-mana, tapi ia tak peduli.

Saat melewati sebuah gang kecil, matanya menangkap sosok wanita berdiri di bawah lampu jalan. Tubuhnya sedikit menggigil, tangannya merapat di jaketnya.

Darma ingin berlalu saja, tapi langkahnya terhenti saat mendengar suara yang begitu familiar.

“Darma?”

Jantungnya berdetak kencang. Ia mengenali suara itu.

Pelan, ia menoleh.

Rini.

Sahabat Sinta.

Seseorang yang dulu sering datang ke rumah, bercanda dengan Sinta, menggendong Dwi, membawa buah tangan setiap berkunjung.

Darma terpaku, sementara Rini masih menatapnya dengan ekspresi penuh kebingungan.

“Astaga… aku merasa seperti mengenalmu…” suara Rini pelan, hampir seperti gumaman.

Darma tetap diam.

Rini mengamati sosok di depannya, lalu menghela napas. “Kalau kau butuh tempat untuk beristirahat, rumahku dekat dari sini.”

Darma ragu sejenak.

Seharusnya ia menolak.

Namun, ada sesuatu dalam suara Rini—sesuatu yang mengingatkannya pada Sinta.

Akhirnya, ia mengangguk.

---

Rumah Rini kecil dan sederhana, tetapi terasa nyaman. Aroma teh hangat dan kayu memenuhi udara.

Darma duduk di ruang tamu, mengamati foto-foto di dinding. Ada satu foto Rini bersama seorang pria berseragam polisi.

Suaminya.

Seorang polisi jujur yang terbunuh karena menentang korupsi di kepolisian.

Rini masuk ke dapur, lalu kembali dengan dua cangkir teh.

“Kau bisa melepas tudungmu. Aku tidak akan bertanya apa pun kalau kau belum siap.”

Darma terdiam lama, sebelum akhirnya melepas tudung jaketnya.

Mata Rini langsung membesar.

Wajahnya seketika pucat.

“Darma…?”

Suara itu lirih, bergetar.

Darma hanya menatapnya kosong.

“Kau masih hidup…?”

Rini menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca.

“Sinta bilang kau sangat mencintai keluargamu… Aku tidak bisa membayangkan…” suaranya patah di tengah kalimat.

Darma mengepalkan tangannya.

“Mereka membunuh mereka, Rini.”

Air mata Rini akhirnya jatuh.

Darma menatap kosong ke depan.

“Aku melihat semuanya. Aku melihat mereka dieksekusi satu per satu.”

Suaranya terdengar berat, dipenuhi luka yang tak terobati.

“Aku tidak bisa berbuat apa-apa.”

Rini mulai menangis lebih keras. Ia menutupi wajahnya dengan tangan.

“Sinta… dia… dia adalah sahabatku, Darma… Aku… aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal…”

Darma menggenggam liontin di lehernya—liontin yang dulu ia beli untuk Sinta.

“Aku seharusnya mati bersama mereka.”

PLAK!

Tamparan pelan mendarat di pipinya.

Darma mengangkat wajahnya, terkejut.

Rini menatapnya dengan mata basah, tangannya masih bergetar setelah menamparnya.

“Jangan katakan itu… Jangan pernah katakan itu!” suara Rini meninggi, tetapi sarat dengan kesedihan.

Darma hanya menunduk. Bahunya bergetar.

Rini mendekat, lalu menariknya ke dalam pelukan.

“Aku juga kehilangan mereka, Darma… Kau bukan satu-satunya yang menderita…”

Darma menahan napas. Matanya mulai memanas.

Dan akhirnya, pertahanannya runtuh.

Isak tangisnya pecah.

Bahunya terguncang, tangannya mencengkeram punggung Rini.

Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia menangis dalam dekapan seseorang.

Bukan karena amarah.

Bukan karena dendam.

Tapi karena kehilangan.

---

Setelah beberapa lama, tangisnya mulai mereda.

Saat itulah sebuah suara kecil terdengar dari pintu kamar.

“Ibu…?”

Darma mengangkat kepalanya dan melihat seorang anak laki-laki berdiri di ambang pintu.

Mungkin sekitar tujuh tahun, dengan rambut berantakan dan mata besar yang masih mengantuk.

“Siapa ini?” tanyanya polos.

Rini cepat-cepat mengusap matanya, lalu tersenyum lembut.

“Ini… teman ibu.”

Anak itu berjalan mendekat, matanya menatap Darma dengan rasa ingin tahu.

“Namaku Bima.”

Darma tidak tahu harus berkata apa.

Anak itu mengulurkan tangannya.

“Kamu siapa, Om?”

Darma menatap tangan kecil itu.

Tangannya sendiri masih gemetar.

Dengan ragu, ia menjabat tangan Bima.

“Aku… Darma.”

Bima tersenyum polos. “Kamu teman ibu?”

Darma menoleh ke Rini. Wanita itu hanya tersenyum kecil, matanya masih menyimpan kesedihan.

“Iya, Nak,” jawabnya pelan. “Dia teman ibu.”

Bima mengangguk puas.

“Kalau begitu, Om boleh tidur di sini malam ini. Tapi Om harus janji…”

Darma mengerutkan kening. “Janji apa?”

Bima menatapnya dengan mata jernih.

“Janji kalau besok Om bakal sarapan bareng kita.”

Darma terdiam.

Sebuah rasa hangat yang aneh menjalar di dadanya.

Perasaan yang hampir ia lupakan.

Kehangatan sebuah keluarga.

Akhirnya, ia mengangguk.

“Aku janji.”

Bima tersenyum, lalu berlari kecil kembali ke kamarnya.

Darma menatap pintu kamar yang tertutup, lalu menoleh ke Rini.

Wanita itu menghela napas.

“Tidurlah di sini malam ini. Kau butuh istirahat.”

Darma tidak menjawab.

Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan.

Setidaknya untuk malam ini.

1
NBU NOVEL
jadi baper ya wkwkwkk
Xratala
keluarga Cemara ini mah /Smirk/
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
total 3 replies
Xratala
waduh ngena banget /Chuckle/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!