Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2:Stefanus sianak beasiswa
Burung-burung berkicau di pepohonan sekitar Universitas Harapan Bangsa, seolah menyambut awal hari yang baru. Di salah satu kelas besar di gedung ekonomi, mahasiswa sudah mulai memenuhi bangku-bangku kuliah.
Di barisan depan, duduk seorang pemuda dengan ransel sederhana dan kemeja lusuh namun rapi. Stefanus, mahasiswa berprestasi yang dikenal sebagai anak beasiswa. Meski hidupnya pas-pasan, semangatnya untuk belajar tak pernah padam.
Dosen masuk dan segera memulai kuliah. Hari ini membahas topik tentang ekonomi makro sesuatu yang bagi sebagian mahasiswa terdengar membosankan. Namun bagi Stefanus, setiap kata dari dosen adalah ilmu berharga. Ia mencatat dengan tekun, matanya fokus pada papan tulis, sementara beberapa mahasiswa di belakang sudah mulai mengantuk atau asyik dengan ponsel mereka.
“Seperti biasa,” gumam salah satu temannya pelan, “Stefanus pasti jadi mahasiswa paling rajin di sini.”
Memang sudah menjadi rahasia umum. Meski berasal dari keluarga miskin, Stefanus selalu mendapat nilai terbaik di hampir semua mata kuliah. Teman-teman sekelasnya mengaguminya, bahkan beberapa diam-diam iri. Namun Stefanus tidak pernah sombong. Ia selalu rendah hati, selalu siap membantu siapa pun yang kesulitan memahami materi.
Setelah kuliah selesai, beberapa mahasiswa mendekatinya.
“Stefanus, nanti bisa bantu jelasin soal tugas ini nggak?” tanya seorang mahasiswa.
“Tentu,” jawab Stefanus ramah. “Kita bisa belajar bareng di perpustakaan nanti sore.”
Sikapnya yang baik dan rajin membuatnya disukai banyak orang. Namun, di balik senyumnya yang tulus, Stefanus menyimpan beban hidup yang tidak diketahui banyak orang.
Sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu, ia tinggal bersama Pamannya, seorang pria sederhana yang bekerja sebagai sopir angkutan kota. Hidup mereka serba pas-pasan, tapi sang paman selalu mendukung Stefanus untuk terus sekolah.
“Yang penting kamu sekolah yang benar, Nus,” kata pamannya suatu malam. “Biarpun Om nggak punya banyak harta, Om cuma mau lihat kamu berhasil.”
Kata-kata itu selalu teringat dalam benak Stefanus. Itulah sebabnya ia belajar keras, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan.
Namun, hidup tidak selalu tentang nilai atau prestasi. Beberapa hari terakhir, ada sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang yang membuat hati Stefanus berdebar-debar. Stefany.
Pertemuan singkat di bawah pohon flamboyan, senyum di koridor kampus… semua itu membuat Stefanus sulit tidur. Ia tahu Stefany berbeda dengannya. Putri seorang pengusaha kaya, hidup dalam kemewahan yang bahkan tak berani ia bayangkan. Tapi entah kenapa, Stefanus merasa ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang tak bisa ia abaikan.
Sore itu, sesuai janji sebelumnya, Stefanus menuju perpustakaan untuk membantu teman-temannya mengerjakan tugas. Di luar gedung, tanpa sengaja ia melihat Stefany keluar dari mobil mewah yang menjemputnya. Seorang pria berjas hitam sepertinya sopir pribadi membukakan pintu untuknya.
Stefanus hanya bisa memperhatikan dari kejauhan. Jarak dunia mereka begitu nyata saat itu. Ia mahasiswa miskin yang tinggal di rumah kecil bersama pamannya, sementara Stefany hidup di rumah besar dengan penjagaan ketat.
Namun, takdir seolah punya rencana lain. Saat Stefany masuk ke gedung kampus, mata mereka bertemu. Stefany tersenyum kecil, lalu melambaikan tangan.
“Stefanus!” panggilnya pelan.
Stefanus terkejut tapi segera menghampiri. “Hai, kamu mau ke perpustakaan?”
Stefany mengangguk. “Iya. Kamu juga?”
“Iya, mau bantu teman-teman ngerjain tugas,” jawab Stefanus.
Akhirnya mereka berjalan bersama menuju perpustakaan. Beberapa mahasiswa lain memperhatikan mereka dengan tatapan penasaran. Desas-desus tentang kedekatan Stefanus dan Stefany mulai beredar di kampus.
Di dalam perpustakaan, mereka duduk di meja yang sama. Sesekali mata mereka bertemu, dan Stefany tersenyum. Bagi Stefanus, itu sudah cukup untuk membuat hatinya berdebar kencang.
Namun, di luar gedung perpustakaan, seorang pria berjas hitam bernama Boris sedang memotret mereka diam-diam. Foto-foto itu segera ia kirimkan ke Pak Arman bersama pesan singkat:
> “Bos, pemuda ini namanya Stefanus. Anak beasiswa. Sepertinya Nona Stefany mulai dekat dengannya.”
Di kantor megahnya, Pak Arman membaca laporan itu dengan wajah dingin. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat.
“Anak miskin itu… berani-beraninya dekat dengan putriku,” gumamnya pelan, suaranya penuh amarah.
Badai besar sedang menunggu Stefanus. Dan ia belum menyadarinya.
Suasana di perpustakaan sore itu begitu tenang. Hanya suara kertas yang dibalik dan langkah pelan pengunjung yang terdengar. Stefanus duduk di sisi meja, sementara Stefany di seberangnya. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, menyorot rambut panjang Stefany hingga tampak berkilau.
Stefanus berusaha fokus pada buku di hadapannya, tetapi jujur saja, pikirannya melayang. Ia bisa merasakan degup jantungnya sendiri setiap kali Stefany memandang ke arahnya.
“Stefanus,” suara lembut Stefany memecah keheningan.
“Hmm?” Stefanus menoleh cepat, sedikit gugup.
“Kamu… sering ke perpustakaan?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
Stefanus mengangguk. “Iya. Biasanya buat belajar atau bantu teman-teman ngerjain tugas. Kalau kamu?”
Stefany memainkan ujung pulpen di tangannya. “Aku juga suka ke sini. Lebih tenang. Kadang di rumah terlalu ramai.”
Stefanus hanya bisa mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia tahu dunia Stefany pasti berbeda jauh dari dirinya. Tapi mendengar bahwa gadis itu juga merasa butuh tempat tenang, entah mengapa membuatnya merasa mereka punya sedikit kesamaan.
Beberapa kali pandangan mereka bertemu lagi, dan Stefanus merasa ada sesuatu di balik mata indah Stefany. Sesuatu yang sulit ia jelaskan, tapi cukup untuk membuat dadanya sesak.
Setelah hampir satu jam mengerjakan tugas bersama, teman-teman mereka satu per satu pamit pulang. Hingga akhirnya, hanya Stefanus dan Stefany yang tersisa di meja itu.
“Aku kayaknya harus pulang,” ujar Stefany sambil merapikan bukunya. “Sopirku pasti sudah nunggu di depan.”
Stefanus mengangguk. “Iya, aku juga mau balik. Pamanku pasti khawatir kalau aku pulang terlalu malam.”
Mereka berjalan keluar bersama. Di pelataran kampus, mobil mewah Stefany sudah menunggu. Seorang pria berjas hitam membukakan pintu untuknya.
Stefany sempat menoleh ke arah Stefanus. “Makasih ya, sudah nemenin belajar.”
Stefanus tersenyum kecil. “Sama-sama. Hati-hati di jalan.”
Saat mobil itu melaju pergi, Stefanus berdiri mematung. Ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya. Ia sadar, perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan.
Namun di sisi lain, di sebuah rumah megah penuh penjaga, Pak Arman duduk di ruang kerjanya dengan wajah muram. Di tangannya, ia memegang beberapa foto Stefany dan Stefanus di perpustakaan.
“Anak miskin ini mulai mendekati Stefany,” gumamnya pelan.
Di hadapan Pak Arman berdiri dua orang anak buahnya, Anto dan Beni. “Bos, mau bagaimana? Anak itu cuma mahasiswa biasa. Gampang kalau mau diberesin,” kata Beni dengan suara dingin.
Pak Arman mengetuk meja pelan, pikirannya penuh perhitungan. Ia tahu Stefany adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki sejak istrinya meninggal.
“Jangan bertindak gegabah dulu,” kata Pak Arman akhirnya. “Kita awasi saja. Cari tahu siapa dia, di mana tinggalnya, semua tentang dia.”
Boris dan Beni mengangguk patuh.
Malam itu, di rumah sederhana di pinggiran kota, Stefanus makan malam bersama pamannya. Hidangan mereka sederhana: nasi, sayur bening, dan ikan asin.
“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya sang paman sambil tersenyum hangat.
“Baik, Om,” jawab Stefanus. “Aku juga bantu teman-teman ngerjain tugas.”
Pamannya mengangguk bangga. “Bagus. Ingat, Nus, ilmu itu harta yang nggak bisa dicuri orang. Kamu harus sekolah yang benar.”
Stefanus mengangguk, tapi diam-diam pikirannya melayang pada Stefany. Wajah cantik gadis itu terus muncul di benaknya.Pamannya menatap Stefanus dengan senyum penuh arti. “Kalau saling menghargai, kenapa tidak? Yang penting hatinya baik, bukan hartanya.”
Jawaban itu membuat Stefanus sedikit lega, meski ia tahu kenyataan tidak akan semudah itu.
Di kamar mewahnya malam itu, Stefany duduk di depan meja rias. Ia menatap bayangan dirinya di cermin, lalu tersenyum kecil.
“Stefanus,” gumamnya pelan. Entah kenapa, nama itu terasa begitu hangat di hatinya.
Ia tidak tahu, di luar sana ayahnya sedang merencanakan sesuatu yang perlahan-lahan akan mengubah hidup mereka selamanya