Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Operasi Kebocoran Rahasia dan Kesalahan Sandi
Masa cuti Kalea dan Byantara baru memasuki hari kelima, tetapi intensitas drama dan tawa di rumah keluarga Aswangga sudah mencapai puncaknya. Ramdan, kekasih Kalea, yang memanfaatkan waktu luangnya sepulang dinas, kini ia sudah mulai berani menghabiskan malam di rumah pak Aswangga, tentu saja setelah melewati interogasi dan izin ketat dari bu Aswangga dan setelah Byantara kelelahan mengusilinya.
Suatu pagi yang tenang, rumah itu mendadak heboh karena insiden kecil yang memalukan. Keluarga sedang berkumpul di meja makan.
Pak Aswangga memanggil Byantara dan Kalea dengan wajah menahan tawa, sambil menunjukkan sebuah kertas. “Kalian ini benar-benar tidak bisa meninggalkan kebiasaan gila kalian, ya?”
“Maksud papa?” tanya Byantara dengan penuh keheranan
“Siapa yang tadi malam lupa mengunci pintu kamar mandi?” tanya pak Aswangga.
Byantara dan Kalea saling pandang, langsung saling tuduh. Mereka tidur di tempat terpisah.
“Siap, saya mengunci dengan putaran ganda, pa. Ini pasti Letda Aswangga! Dia terlalu kelelahan setelah urusan lumpur Taktakan!” tuduh Byantara.
“Sembarangan! Aku ini perwira pasukan khusus! Jadi tidak mungkin aku pernah melupakan sesuatu, apalagi mengunci pintu! Paling-paling Abang sendiri yang lupa karena otaknya sudah penuh dengan strategi tempur yang gagal diterapkan di rumah!” balas Kalea.
Ibu Aswangga tersenyum geli. “Yang membuat papa bertanya itu bukan pintunya. Tapi kuncinya. Siapa yang menempel kertas ini di pintu kamar mandi?”
Ibu Aswangga menunjukkan selembar kertas yang ditempel rapi di daun pintu kamar mandi. Di kertas itu tertulis.
PERHATIAN!
Pintu Kunci KODE MERAH. Dilarang Masuk tanpa Otentikasi Sidik Jari dan Pangkat Kapten ke Atas.
Byantara dan Kalea terdiam, kaget melihat bukti tertulis itu.
“Itu... itu pasti Abang yang pasang!” tuduh Kalea, menunjuk Byantara. “Dia kan selalu merasa pangkatnya paling tinggi di rumah ini dan mengira kamar mandi adalah ruang rahasia!”
“Enggak mungkin! Itu tulisan seorang pasipers! Lihat! Rapi sekali, seperti laporan Pasipers! Itu sandi Komando untuk area steril! Saya hanya menggunakan sandi Infanteri yang lebih lugas dan tidak konyol!” bela Byantara.
Ramdan, yang baru datang untuk sarapan, langsung tertawa terbahak-bahak hingga tersedak. Ia menyeka air mata. “Siap, pak! Saya pikir itu sandi rahasia untuk mencegah kebocoran informasi penting, jadi saya menunggu otorisasi Kapten atau Letda untuk izin buang air!”
Pak Aswangga menghela napas. “Kalian tau Ramdan dengan serius menunggu selama tiga jam. Dia tidak berani masuk kamar mandi selama itu! Dia bilang, dia menghormati aturan pengamanan tertutup!”
“Bang! Kamu serius menunggu selama itu?!” seru Kalea tak percaya.
“Siap! Saya kan harus patuh pada aturan pengamanan tertutup! Saya tidak mau menjadi penyebab Operasi Kebocoran Rahasia Markas Aswangga!” jawab Ramdan, masih tertawa.
Byantara, yang sudah pulih dari rasa malunya, langsung mengambil alih komando. “Ramdan! Itu adalah kecerobohan taktis! Sandi seharusnya tidak diumumkan di tempat umum! Sekarang, sebagai hukuman karena kamu gagal dalam intelijen sandi dan membocorkan rahasia ini ke papa dan mama, kamu harus cuci piring!”
“Kenapa dia yang dihukum, Bang? Dia kan korban sandi bodohmu!” protes Kalea.
“Diam, Letda Aswangga! Dia yang salah menafsirkan Sandi Pintu! Dia gagal dalam memahami ancaman!” balas Byantara.
Humor tidak berhenti di meja makan. Siang harinya, pak Aswangga mengajak Byantara dan Kalea memperbaiki atap rumah yang bocor di musim hujan. Ramdan, tentu saja, ikut membantu.
Byantara, dengan alat-alat tukang di tangan, mulai memberikan instruksi. “Perhatian! Ramdan, kamu amankan tangga! Kalea, kamu serahkan paku! Abang, yang akan eksekusi perbaikan. Ini adalah area tempur vertikal!”
“Kenapa harus Abang? Aku kan lebih ringan, lebih mudah bergerak di atas atap,” protes Kalea.
“Tidak bisa! Atap adalah area tempur vertikal! Komando atas harus memimpin. Ini etika dan keselamatan kerja!” tegas Byantara.
Kalea menyerah. Ia berdiri di bawah, bertugas sebagai logistik penyaluran paku dan genteng.
“Paku! Cepat, Letda Aswangga! Pindahkan dari logistik ke area eksekusi!” perintah Byantara dari atas atap.
Kalea mengambil paku dari kotak, lalu menaruhnya di dalam helm baja milik Byantara. “Siap, Kapten! Logistik sudah disalurkan ke payload!”
Byantara dengan gerakan cepat mengambil helmnya. Ia baru menyadarinya setelah helm itu berada di kepalanya.
“Aduh! Kalea! Kenapa paku di helm saya! Ini namanya pelanggaran standar operasional prosedur alat pelindung diri yang sangat fatal!” teriak Byantara, sambil kesakitan mengusap kepalanya.
“Siap, Bang! Itu namanya efisiensi. Helm itu kan untuk membawa payload dan melindungi kepala dari benturan paku,” balas Kalea, ia tertawa terbahak-bahak melihat abangnya yang panik.
Ramdan, yang memegang tangga, tertawa sampai tangga itu bergoyang. “Bang! Hati hati tangganya goyang! Mohon turun perlahan sebelum terjadi kecelakaan taktis!”
“Diam, kamu Ramdan! Kamu juga! Ini semua karena pengaruh Letda yang anti-prosedur itu!” bentak Byantara, ia turun dari atap, wajahnya merah padam.
Byantara mendekati Kalea. “Baik. Sekarang, Letda Aswangga. Karena kamu melanggar prosedur dan membuat seorang Kapten cedera, kamu ganti abang! Naik ke atap! Ramdan, bantu dia!”
Kalea naik ke atap. Saat dia mulai membetulkan genteng, Byantara mengambil alih komando di bawah.
“Perhatian, Letda! Genteng di koordinat Alpha-Tujuh harus digeser ke Bravo-Sembilan! Gerakan harus senyap dan tidak boleh ada suara berisik yang mengundang perhatian tetangga!” perintah Byantara, suaranya dibuat-buat seolah sedang memimpin operasi penting.
Kalea mendengus. “Siap, Kapten. Perintah diterima. Tapi kalau saya jatuh, saya pastikan Anda akan menghabiskan sisa cuti di Taktakan sambil membersihkan toilet Batalyon! Itu hukuman yang harus kamu jalankan setelah mencederai pasipers taktakan!”
Ibu dan pak Aswangga hanya bisa melihat adegan itu dari teras. Mereka saling pandang.
“Rasanya seperti punya Komandan Batalyon dan Komandan Kompi di rumah, ya, ma,” ujar pak Aswangga, tertawa.
“Iya, Pa. Altav serasa hanya Prada yang tidak bisa membantah mereka. Untung saja mama adalah Panglima Tertinggi,” balas Ibu Aswangga. “Kalau tidak, rumah ini pasti sudah dijadikan shelter taktis permanen.”
Di tengah tawa itu, Ramdan menatap Kalea di atas atap. Ia kagum dan takjub melihat bagaimana Kalea dengan mudahnya mengendalikan seorang Kapten Byantara, dan mengubah setiap situasi menjadi humor. Perasaan cintanya semakin dalam, ia menyadari bahwa ia mencintai tidak hanya pada seorang perwira Kopassus yang tangguh, tetapi juga Kalea yang konyol, hangat, dan penuh kasih di tengah keluarganya.