Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belut Listrik di Ladang
21.1. Belut Listrik di Ladang
Setelah berhari-hari berjuang di ladang di bawah terik matahari, warga desa mulai merasa putus asa. Tanah yang biasanya subur kini kering kerontang, dan suhu semakin menyengat. Mereka mengeluh, "Kapan hujan datang?" sambil berharap akan keajaiban.
Di tengah kebisingan keluhan, Budi, salah satu pemuda desa, memutuskan untuk menyelidiki kolam kecil yang terbentuk di tepi ladang. Dia penasaran, “Mungkin ada ikan di sini!” Ketika dia mendekat, tiba-tiba dia melihat sesuatu bergerak cepat di dalam air keruh itu.
“Wow, ada belut!” serunya, bersemangat. Tapi saat ia berusaha menangkapnya, belut itu melompat dan menyengat Budi dengan kejutan listrik. “Aduh! Apa ini?!” teriak Budi, melompat mundur sambil memegang tangannya yang kesakitan.
Teman-temannya yang berada tidak jauh dari situ melihat kejadian itu dan mulai tertawa. Rina, yang terkenal selalu bisa menghibur, berkomentar, “Sepertinya Budi lebih cocok dengan belut listrik daripada ladang!”
“Ya, ya! Sekarang aku jadi ‘manusia listrik’!” jawab Budi, berusaha bercanda meski masih merasakan geli di tangannya.
Ustaz Hasan yang mendengar keributan itu menghampiri mereka. “Budi, hati-hati! Belut listrik itu bisa berbahaya. Kita tidak perlu menambah masalah di saat seperti ini,” nasihatnya dengan nada serius namun masih tersimpan senyum.
Budi, yang merasa sedikit malu, berusaha bangkit kembali. “Baiklah, aku tidak akan mengganggu belut itu lagi. Mungkin dia hanya ingin menjaga kolam ini tetap bersih,” ujarnya sambil tertawa, membuat yang lain ikut tertawa.
Ketika suasana mulai cair, Budi berinisiatif. “Bagaimana kalau kita belajar cara memanfaatkan belut listrik ini? Mungkin bisa jadi solusi untuk masalah listrik kita di masa depan!” kata Budi dengan semangat.
Rina, yang tidak ingin ketinggalan, menjawab, “Atau kita bisa menggunakannya untuk pertunjukan sirkus! ‘Budi dan Belut Listrik’!” semua orang tertawa terbahak-bahak membayangkan Budi beraksi.
Meskipun tantangan kemarau masih menghadang, tawa dan kebersamaan di ladang mengubah suasana hati mereka. Warga desa belajar untuk tetap optimis, bahkan dalam situasi yang sulit. Momen konyol itu menjadi pengingat bahwa dalam setiap kesulitan, ada harapan dan keceriaan yang bisa ditemukan bersama.
21.2. Durian Impian di Tengah Kemarau
Setelah berhari-hari berjuang di ladang, kelaparan mulai merayapi para warga desa. Suasana semakin panas dan tanah retak, membuat makanan semakin sulit didapat. Di tengah kegundahan itu, Budi merindukan sesuatu yang sangat spesial: durian.
“Seandainya kita punya durian,” keluh Budi sambil membayangkan aroma manis dan tekstur lembut buah raja tersebut. “Hmm, enaknya bisa santap durian di bawah pohon!”
Rina, yang mendengar keluhannya, langsung merespons, “Ah, durian! Kenapa tidak kita cari saja? Mungkin di kebun orang lain masih ada!”
“Yah, tapi kita harus minta izin dulu,” jawab Budi, berpikir sejenak. “Tapi kita bisa tetap mencarinya.”
Dengan semangat, mereka berkumpul dan mulai menjelajahi desa, berharap menemukan durian yang terjatuh dari pohon. Di sepanjang jalan, mereka bertanya kepada warga lain, tetapi semua hanya menggelengkan kepala.
“Duriannya sudah habis semua, Budi!” kata seorang nenek dengan nada sedih. “Kemarau ini merusak segalanya!”
Namun, harapan tidak padam. Budi bertekad untuk terus mencari. Mereka pun akhirnya sampai di kebun Pak Yanto, seorang petani yang dikenal suka durian. “Pak Yanto, ada durian tidak?” tanya Budi penuh harap.
Pak Yanto tertawa. “Durian? Hanya mimpi di siang bolong. Semuanya sudah dipanen sebelum kemarau datang!”
Frustrasi, mereka duduk di bawah pohon besar, merencanakan langkah selanjutnya. Tiba-tiba, Rina berteriak, “Eh, lihat! Itu durian di atas pohon sana!” Semua mata menatap ke arah pohon yang tinggi, di mana buah durian tampak menggoda.
“Bagaimana cara kita mengambilnya?” tanya Budi. “Pohon itu terlalu tinggi!”
“Biar aku coba!” jawab Rina, bersemangat. Dia mulai memanjat, tapi ketika sudah di atas, dia terhenti. “Aduh, ini sangat tinggi! Dan aku tidak bisa melihat dengan jelas!”
Budi dan yang lainnya mulai khawatir. “Rina, hati-hati! Jangan jatuh!” seru mereka dengan cemas.
“Tenang saja! Aku pasti bisa!” Rina berusaha menjangkau durian, tapi tiba-tiba, dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Beruntung, dia jatuh di tumpukan daun kering yang empuk. “Wah, itu tidak terasa!” teriaknya sambil tertawa.
Mereka semua tertawa melihat kejadian lucu itu, dan Rina pun bergabung. “Durian itu tetap di atas! Kita perlu alat!” kata Rina.
Budi pun mendapatkan ide. “Bagaimana kalau kita menggunakan batang kayu untuk menggoyangkan pohon? Mungkin duriannya akan jatuh!”
Dengan semangat baru, mereka mencari batang kayu dan mulai menggoyangkan pohon dengan hati-hati. Namun, usaha itu sia-sia, durian tetap berada di tempatnya.
Lama-kelamaan, saat matahari mulai terbenam, mereka memutuskan untuk berhenti. Budi menggenggam perutnya yang keroncongan. “Sepertinya kita harus menerima kenyataan, durian tidak akan menjadi milik kita hari ini.”
Rina menepuk bahunya. “Setidaknya kita punya satu sama lain dan tawa. Kita bisa merencanakan makan durian nanti ketika hujan datang!”
Dengan hati yang lebih ringan, mereka pun berjalan pulang, tertawa sambil merencanakan petualangan mereka selanjutnya untuk mencari durian. Meskipun tidak mendapatkan durian kali ini, mereka menyadari bahwa kebersamaan dan tawa adalah hal terpenting yang mereka miliki di tengah kesulitan.
21.3 Jalan-Jalan Dzikir di Tengah Panas
Setelah perjalanan yang melelahkan dan kegagalan menemukan durian, Budi dan Rina memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar ladang sambil menghibur diri. Dalam suasana yang panas, mereka mulai berdzikir, mengingat Allah untuk mendapatkan ketenangan di tengah kesulitan.
“Subhanallah, alhamdulillah, Allahu akbar,” ucap Budi sambil melangkah. Suara dzikir mereka seolah membawa hawa segar meski matahari bersinar terik.
“Dizikirkan seperti ini bisa mengusir rasa lelah, ya?” Rina menanggapi sambil tersenyum. “Sambil berharap hujan datang untuk menyegarkan semuanya.”
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di ladang yang mulai retak. Di sisi jalan, beberapa warga lain terlihat juga melakukan hal yang sama. “Lihat, Budi! Mereka juga berdzikir!” seru Rina, menunjuk ke arah sekelompok orang yang terlihat khusyuk.
“Benar! Semoga doa kita sampai ke langit dan Allah memberikan kita berkah,” jawab Budi.
Seiring langkah mereka, suara dzikir menggema di antara ladang yang sepi. “Rina, aku merasa lebih baik sekarang,” ucap Budi. “Rasa haus dan lapar ini terasa lebih ringan.”
Rina mengangguk setuju. “Sungguh, dzikir itu bisa jadi penghibur. Ayo kita lanjutkan!”
Ketika mereka melanjutkan langkah, tiba-tiba Rina melihat sesuatu yang bergerak di tanah. “Budi, lihat itu!” serunya sambil menunjuk. “Apa itu?”
Mereka mendekat dan ternyata itu adalah seekor belut listrik yang terjebak di sela-sela tanah retak. “Wah, belut! Ini bisa jadi makanan kita!” kata Rina dengan antusias.
“Tapi, kita perlu hati-hati. Belut ini bisa melukai kita,” Budi mengingatkan. “Kita harus mencari cara untuk menangkapnya tanpa membahayakan diri sendiri.”
Rina tersenyum nakal. “Bagaimana kalau kita berdzikir sambil mendekatinya? Mungkin belutnya takut dengan suara dzikir kita!”
Mereka pun mulai berdzikir lebih keras, berharap suara mereka bisa membuat belut itu terkejut dan tidak melawan. Saat Budi dan Rina merangkak mendekat, belut itu tampak bingung.
“Allah, bantu kami!” seru Budi, sambil berusaha menjangkau belut dengan hati-hati. Tiba-tiba, belut itu melompat dan menyetrum Budi!
“Ahhh!” teriak Budi, melompat mundur dengan kaget. Rina pun tak bisa menahan tawa melihat ekspresi Budi yang terkejut. “Budi, kamu seperti ikan yang tersengat listrik!”
“Jangan tawa! Itu bukan lucu!” Budi menjawab sambil tersenyum, meski masih merasa sedikit kesakitan.
Akhirnya, setelah beberapa usaha dan banyak tawa, mereka berhasil menangkap belut itu. Dengan semangat baru, mereka pun pulang dengan hasil tangkapan yang bisa jadi makanan. Sambil terus berdzikir, mereka merasakan kebersamaan dan keceriaan yang menambah semangat mereka untuk menghadapi tantangan di depan.
21.4. Jalan-Jalan Dzikir di Tengah Panas - Lanjutan
Setelah berhasil menangkap belut listrik, Budi dan Rina bergegas pulang dengan penuh semangat. “Kita bisa masak belut ini untuk makan malam! Pastinya enak!” Rina berkata sambil membayangkan hidangan yang lezat.
“Mudah-mudahan kita bisa memasaknya dengan cara yang aman,” Budi menambahkan, sambil membawa belut itu dengan hati-hati. Mereka kembali melewati ladang yang mengering, mengingat betapa panasnya hari itu.
Di tengah perjalanan, mereka berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah naungan pohon mangga yang rimbun. “Rasa haus ini semakin menyiksa,” keluh Rina. “Kapan ya hujan akan datang lagi?”
“Entahlah. Kita hanya bisa berharap dan berdoa,” Budi menjawab. Mereka duduk bersandar pada pohon sambil mengeluarkan botol air yang tersisa. “Setidaknya kita bisa berbagi air ini.”
Rina mengangguk. “Syukuri apa yang kita miliki. Mari kita dzikir lagi, siapa tahu dapat rezeki.”
Mereka pun kembali melantunkan dzikir dengan penuh rasa syukur. Suara mereka berpadu dengan alam, membuat momen itu terasa damai meskipun matahari tetap menyengat.
Setelah beberapa saat, mereka melanjutkan perjalanan. “Lihat, ada warga lain yang juga mencari makanan!” Rina menunjuk sekelompok orang yang tampak berusaha mencari hasil bumi.
“Ya, mari kita tawarkan belut ini. Mungkin mereka butuh juga,” Budi menyarankan. Ketika mereka mendekati kelompok itu, mereka melihat para petani yang tampak lelah dan putus asa.
“Assalamualaikum!” Rina menyapa. “Kami membawa belut. Apakah ada di antara kalian yang bisa membantu memasaknya?”
Seorang pria tua dengan wajah penuh keriput menatap belut itu. “Alhamdulillah! Ini bisa jadi makanan yang berharga. Mari kita masak bersama!” katanya dengan senyum.
Mereka segera membentuk kelompok dan mencari kayu bakar. Di bawah sinar matahari yang terik, mereka bekerja sama memasak belut di atas api. Sementara menunggu, mereka kembali berdzikir dan bercerita tentang harapan mereka akan hujan.
“Dulu, saat hujan, ladang ini subur dan penuh kehidupan,” kata Budi, mengenang masa-masa sebelumnya. “Semoga Allah segera menurunkan rahmat-Nya.”
Saat aroma belut mulai tercium, semua orang berkumpul di sekitar api, saling berbagi cerita dan tawa. “Sepertinya kita akan memiliki pesta kecil!” Rina bersorak.
Ketika belut akhirnya matang, mereka semua mencicipi hidangan hasil kerja sama. “Wow, enak sekali!” teriak Rina sambil melahap potongan belut. Suasana riang gembira mengalahkan rasa lapar yang sudah mereka tahan lama.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba angin kencang berhembus, dan awan gelap mulai berkumpul di langit. “Apakah itu tanda hujan?” Budi bertanya, merasa harap-harap cemas.
“Semoga saja!” Rina menjawab. “Kita perlu berdoa lebih banyak!”
Di saat yang sama, para petani dan warga lain turut mengangkat tangan, berdoa bersama untuk meminta hujan. Mereka merasakan kebersamaan yang menguatkan, mengingat bahwa meskipun dalam kesulitan, mereka tidak sendirian.
Ketika mereka selesai berdoa, suara guntur menggelegar di kejauhan. Semua orang menatap langit, dan beberapa detik kemudian, tetesan pertama hujan mulai jatuh. Mereka bersorak gembira.
“Ini dia! Hujan yang kita tunggu-tunggu!” Budi berteriak sambil melompat. Mereka semua berlari keluar, menari di bawah hujan, merasakan setiap tetes air yang menyejukkan tubuh mereka.
“Alhamdulillah! Allah mendengar doa kita!” Rina berteriak bahagia. Dalam kebahagiaan itu, mereka merayakan momen indah dengan penuh syukur, merasa bahwa meskipun tantangan terus menghampiri, harapan selalu ada.
Hari itu menjadi kenangan berharga, mengingatkan mereka akan kekuatan iman, kebersamaan, dan rasa syukur yang tak pernah pudar, bahkan di tengah kesulitan.
21.5 Musim Kemarau yang Tak Berujung
Setelah melewati masa-masa sulit, mereka kini harus menghadapi musim kemarau yang berkepanjangan. Tanah yang dulunya subur kini retak-retak, dan semua orang merindukan tetesan air hujan yang tak kunjung datang.
Budi dan Rina, seperti banyak warga lainnya, mengunjungi ladang mereka dengan harapan menemukan secercah kehidupan. Namun, yang mereka temukan hanyalah pemandangan mengerikan: tanaman layu, tanah retak, dan debu yang berterbangan.
“Ini sudah terlalu lama. Kenapa hujan tidak juga turun?” keluh Budi sambil memegang tanah kering yang hancur di tangannya.
“Entah, mungkin Allah sedang menguji kita,” Rina menjawab sambil menatap langit biru yang cerah. “Kita harus tetap berusaha.”
Mereka mulai mencari cara untuk mengatasi kekeringan. Warga berkumpul untuk mendiskusikan solusi. “Bagaimana kalau kita gali sumur untuk mencari air?” usul seorang petani tua.
“Itu ide bagus! Tapi kita perlu alat. Semua peralatan kita sudah tidak bisa digunakan,” sahut Budi.
“Tenang, kita bisa menggunakan alat-alat sederhana yang ada. Kita harus optimis!” Rina menambahkan, berusaha menyemangati teman-temannya.
Dalam suasana penuh harapan, mereka mulai menggali tanah, menggunakan cangkul dan alat seadanya. Namun, setelah beberapa jam berusaha, mereka hanya menemukan tanah kering tanpa jejak air. Kekecewaan pun mulai merayap.
“Lihat, tidak ada air! Kita harus bagaimana?” seorang warga bertanya, wajahnya tampak putus asa.
Budi mengangkat tangan, “Kita tidak boleh menyerah. Mari kita dzikir dan berdoa. Semoga Allah memberi kita jalan.”
Di tengah ketegangan, tiba-tiba terdengar suara dari arah ladang. “Ayo, lihat! Ada pohon yang tumbuh di ujung sana!” Rina berteriak. Semua orang berlari ke arah pohon tersebut.
Ketika mereka sampai, mereka melihat pohon durian yang tumbuh subur meskipun di tengah kemarau. “Durian! Kita bisa panen!” teriak Budi, semangatnya kembali membara.
“Tapi bagaimana cara memetiknya? Kita tidak punya alat!” Rina menyahut, bingung.
“Kalau begitu, kita harus memanjat!” seru seorang pemuda dengan penuh semangat. Semua orang tertawa, membayangkan betapa sulitnya memanjat pohon durian yang tinggi.
Dengan semangat, mereka mulai memanjat pohon itu satu per satu. Namun, saat salah satu pemuda mencoba memanjat, dia tergelincir dan hampir jatuh, membuat semua orang terbahak. “Hati-hati, jangan sampai jatuh! Durian bisa jadi senjata!” Rina bercanda.
Setelah beberapa usaha yang lucu dan melelahkan, mereka akhirnya berhasil memetik beberapa durian. Wajah-wajah mereka bersinar dengan kebahagiaan, setidaknya ada sesuatu yang bisa dinikmati di tengah kemarau ini.
“Mari kita buat pesta durian!” Budi mengusulkan, dan semua orang setuju dengan sorakan gembira. Mereka berkumpul, membuka durian, dan menikmati dagingnya yang manis.
“Walaupun musim kemarau, kita masih bisa bersyukur,” Rina berkata sambil menikmati durian. “Semoga ini menjadi tanda harapan bagi kita semua.”
Sambil tertawa dan bercanda, mereka melupakan sejenak kesedihan yang menyelimuti. Dalam kegelapan musim kemarau, ada cahaya harapan yang bersinar dari kebersamaan mereka.