NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:822
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17.Kalah Di Gerbang Bandara

Deru mesin memenuhi kabin sedan hitam, tapi di dalamnya hanya ada diam yang rapuh. Jakarta berpendar di kejauhan—lampu kota seperti serpihan kunang‑kunang yang tersesat. Aku—Aurora Putri Dirgantara—duduk di kursi penumpang, koper kecil terbaring di jok belakang, masih menyimpan paspor palsu atas nama Nur Amara. Tristan menyetir dengan satu tangan di kemudi, tangan lain bebas namun tak berani menyentuhku. AC menebarkan udara dingin, tapi panas sore tadi belum benar‑benar pergi; ia menempel di kulit, memelihara debar yang belum sempat reda.

Tak ada kata. Hanya tik‑tak lampu sein saat mobil berpindah jalur. Aku menatap jalanan gelap, pikiran masih terhuyung antara rasa kalah dan lega. Lelah sekali rasanya berdamai dengan napas sendiri.

Tristan memecah keheningan lebih dulu. “Masih marah?”

“Marah adalah tontonan langka,” aku berbisik. “Lebih tepatnya… hampa.”

Ia mengangguk perlahan, seolah mengerti bahasa kosong. Radio masih mati. Beberapa detik kemudian, ia memutar tombol. Lagu pop Indonesia era 2000‑an mengalir—nada yang terlalu cerah untuk malam setegang ini. Aku meliriknya tajam.

“Kenapa lagu ini?”

“Karena lucu mendengar lirik cinta berbunga setelah kita debat tentang penjara,” ia tersenyum tipis. “Humor kadang obat lebih ampuh daripada minta maaf.”

Aku menghela napas. Tapi diam‑diam, bibirku mungil tergerak—mencibir, bukan tersenyum. Namun detik berikutnya Tristan bersiul mengikuti lirik payah itu, nadanya fals; bunyinya bikin keningku berkerut… lalu tawa melesak keluar sebelum sempat ku pagari. Tawa singkat, nyaris serak.

“Tuh kan, berhasil,” gumamnya lega.

Aku menegang lagi, menoleh ke kaca samping, pura‑pura tertarik pada lampu toko ban di tepi jalan.

Kilometer berlalu. Di gerbang tol Pondok Aren, Tristan menepi menuju rest‑area kecil yang baru saja tutup. Hanya ada warung kopi yang lampunya temaram. Ia mematikan mesin.

“Ngapain berhenti?”

“Kita butuh kopi,” jawabnya. “Kalau pulang dengan kepala panas, kita akan saling bakar.”

Ia turun, meninggalkan pintu terbuka agar lampu kabin menerangi. Aku ragu, tapi menyusul. Udara luar lembap, menyisakan jejak hujan semalam. Penjual kopi—ibu paruh baya bermata sayu—tersenyum ramah.

“Dua kopi hitam?” tanya Tristan padaku.

“Jangan manis,” balasku. “Gula hanya menutup pahit.”

Penjual tertawa. “Betul, Nak. Kadang pahit justru bikin sadar.”

Kami duduk di bangku kayu yang dingin. Lampu warung berkedip, menyalakan bayang kami di dinding seng. Aku meniup kopi, membiarkan aromanya menenangkan rongga dada.

Tristan memecah sunyi. “Di bandara tadi… setelah aku bilang siap menunggu—kenapa kau mundur?”

Aku menatap uap kopi. “Karena aku percaya penantianmu. Dan itu menakutkan.”

Ia tidak menyanggah. “Aku takut juga—ketika kau menaruh koper di aspal. Takut itu berarti kau akan kabur lagi esok. Tapi anehnya, rasa syukur lebih besar: setidaknya aku diberi kesempatan menunggu.”

Kopi ku minum sedikit, pahit pekat menoreh lidah. “Apa kau benar‑benar rela kalau suatu hari aku pergi, dengan nama Aurora, bukan Nur Amara?”

“Aku takut kehilanganmu,” akunya jujur. “Tapi membiarkanmu menjadi nama sendiri—itu satu‑satunya cara memperbaiki kesalahanku.”

Aku menimbang kalimat itu. Suara jangkrik samar dari rerumputan, mobil lewat sekali‑dua kali, cahaya lampu sorot menembus tepian warung.

“Aku bosan jadi aktor di kehidupan orang lain. Sejak panti, aku, Kalea, selalu bermain peran. Jadi pencuri ilusi. Kau menyangkutkanku di cermin video malam itu… dan aku pecah.”

Mataku berair, tapi aku biarkan. Tristan menjauhkan cangkir, telapak tangannya terulur, berhenti setengah meja—minta izin. Aku menunduk, lalu menaruh jariku di dekatnya. Ia tidak meraih; ia hanya merasakan kehangatan enam sentimeter jauhnya. Lucu betapa jarak sependek itu terasa lebih intim daripada pelukan paksa.

“Bolehkah aku bertanya satu? Jujur.”

Aku mengangguk.

“Di taksi, sebelum aku datang, apa sempat terlintas membayangkan hidup baru di sana?”

“Ya.”

“Dan?”

“Dan aku melihat hidrangea biru di balkon Kuala Lumpur—tapi warnanya tak berubah, masih biru sedih. Lalu aku ingat, tanahnya tetap sama kalau hatinya belum pindah.”

Tristan menutup mata, menghela napas. “Aku ingin tanam hidrangea pagi esok. Di halaman belakang. Kau boleh pilih warnanya sendiri.”

Tawaku pecah—bercampur isak. “Warna bunga ditentukan kadar tanah, Profesor Dirgantara.”

“Lalu ajari aku.”

Aku mengangkat bahu. “Butuh sabar. Butuh pupuk luka, siraman tawa.”

“Siraman tawa,” ia mengulang, meneguk kopinya. “Kita mulai dengan sirup tawa tadi. Lagu pop jadul.”

Aku menggeleng sambil tersenyum. Lalu sunyi lagi, tapi kali ini sunyi lunak. Aku menempelkan jari ke cangkir panas. Saat kulihat jam di dinding warung—02.15—aku sadar: aku kehabisan alasan melarikan diri malam ini.

“Pulangkan aku,” bisikku.

Tristan berdiri, membayar kopi, mengucap terima kasih. Ibu penjual mengangguk, matanya seperti mengerti sesuatu yang belum sempat kami katakan.

Dalam mobil, ia menyalakan radio—gitar akustik rendah mengiringi. Jari kami di konsol tengah nyaris bersentuhan. Tapi kami biarkan hover di atas velour, seakan menunggu tanah mengukur pH‑nya sendiri.

Lampu kota mendekat. Menteng dengan kanopi pohon tua dan lampu taman lembut menanti. Koper masih utuh di jok belakang, tapi beratnya tidak lagi menjerat pergelangan hatiku. Paspor palsu di saku hoodie kini hanya selembar kertas mahal—tak punya kuasa kecuali jika kuberi.

Gerbang rumah terbuka. Sopir malam membungkuk sopan. Tristan turun, membuka pintu untukku—bukan sebagai penjaga, tapi rekan perang yang pulang lebam, membawa tawa setengah matang.

Aku tidak langsung masuk. Berdiri di teras, menatap langit Jakarta. Bintang samar terlihat. Kupikir, mungkin besok pagi, kalau matahari kembali menyengat, aku akan menanam hydrangea. Menyentuh tanah dengan tangan sendiri. Mencampur luka dan tawa jadi pupuk.

Tristan berdiri tiga langkah di belakang, menunggu isyarat. Aku menoleh, senyum tipis.

“Kita belum berdamai,” kataku.

“Kita belum menyerah,” jawabnya.

Aku melangkah masuk. Rumah ini masih sama—dinding marmer, lampu gantung, lorong panjang yang merekam langkah. Tapi malam ini, langkahku tidak terdengar seperti rantai. Lebih mirip nada rendah, preludio lagu panjang yang entah berakhir di nada mayor atau minor.

Dan begitu ku pejamkan mata di kamar, aku bermimpi bukan tentang panti, bukan tentang jebakan, tetapi tentang taman belakang penuh hydrangea warna tak pasti; bunga menunggu kita menentukan tanah. Aku terbangun dengan keyakinan baru.

.

.

.

Bersambung.

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!