Niat hati menolong seorang wanita yang nyaris diperkosa, Rain justru diperlakukan layaknya sampah. Sebab setelah difitnah oleh para pelaku, Echa selaku wanita yang nyaris diperkosa juga membenarkan, bahwa justru Rain pelakunya.
Karena kenyataan tersebut juga, warga yang telanjur datang ke lokasi, langsung mengeroyok Rain. Rain yang nyaris meregang nyawa sengaja dibuang ke sungai berarus deras. Mereka yakin, dengan begitu Rain akan benar-benar mati. Hingga mereka tak perlu bertanggung jawab, apalagi berurusan dengan polisi.
Padahal, harusnya satu minggu lagi Rain menikah dengan Hasna. Malahan saat Rain mengalami kejadian tragis saja, keduanya baru saja meninjau lokasi resepsi pernikahan. Hanya saja, menghilangnya Rain tak membuat Hasna curiga. Terlebih selain tipikal periang, Rain yang berasal dari keluarga kaya raya juga terbiasa jail. Meski di hari pernikahan mereka, Hasna berakhir pingsan karena Rain tetap tak kunjung datang. Namun di tempat berbeda, Rain yang terluka parah akhirnya sadar. Rain dirawat di rumah seorang dukun dan ternyata merupakan orang tua angkat Echa. Masalahnya, Echa yang hamil di luar pernikahan mengaku dihamili Rain.
Satu-satunya yang ingin Rain lakukan hanyalah balas dendam. Rain sungguh langsung memulainya, dan menjadikan Echa sebagai target pertama sekaligus utama. Meski karena keputusan itu juga, sederet fakta mencengangkan membuat hidup Rain layaknya menaiki roller coaster.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 : Belum Terbiasa
Hasna membuka pintu kamar mandi dengan rasa lelah yang tak bisa ia halau. Hubungan suami istri yang ia lakukan dengan Rain untuk pertama kalinya, membuatnya kelelahan.
Hasna tidak mengerti, kenapa hubungan yang membuatnya kehilangan keper.awanan, juga membuatnya kehilangan banyak tenaga. Hasna seolah baru saja menjalani lomba lari berkilo-kilo meter. Tubuh Hasna termasuk kedua kakinya, seolah tidak memiliki tulang lagi.
“S–sayang, ... aku sudah panasin makan siang buat kita. Kamu, mau makan di mana?” tanya Rain yang kebetulan baru datang.
“Si Mas Rain kelihatan baik-baik saja,” pikir Hasna sambil memijat pelan kepalanya yang masih terbungkus handuk.
Keadaan Hasna yang sekadar bernapas saja terlihat susah, membuat Rain khawatir. Rain yang kepalanya masih setengah basah, berangsur mendekati sang istri. “Kamu, baik-baik saja?”
“Rasanya capek banget!” rengek Hasna benar-benar manja.
“Ya sudah, ayo aku gendong. Kita makan dulu karena kamu pasti kelelahan,” ucap Rain.
“Iya, ini habis kerja rodi,” ucap Hasna sambil mengalungkan kedua tangannya ke tengkuk Rain. Namun, sang suami malah menertawakannya. Rain sama sekali terlihat tidak berdosa. Padahal jelas-jelas karena suaminya itu juga, Hasna kelelahan seperti tak bertenaga layaknya sekarang.
Setelah Hasna sampai menci.um pipi Rain sangat gemas, Rain sengaja mengerucutkan bibirnya. Hasna yang paham maksud suaminya, segera mengec.up bibir suami. Yang mana setelah itu, Rain juga balas mengecup gemas pipi Hasna.
“Oke. Kita makan di taman samping dapur, ya. Sambil kasih makan ikan.
“Omong-omong, kebun caesim sama kangkung di belakang dapur apa kabar? Kalau sudah bisa dimasak, pengin tumis buat sekali makan,” ucap Hasna.
“Katanya capek?” balas Rain sambil menatap khawatir Hasna.
Seperti janjinya, Rain sungguh mengemban Hasna. Melewati anak tangga menjadi hal yang sangat membuat Hasna khawatir. Hasna takut Rain menjatuhkannya. Agenda yang harusnya manis justru berakhir meringis.
“Sayang, turun. Aku mau turun saja,” pinta Hasna.
“Enggak apa-apa. Aku beneran kuat,” yakin Rain yang kemudian meminta untuk ditemani ke dokter.
“Oh iya ... kamu harus cek—” Mendadak, Hasna tak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia berangsur membingkai wajah sang suami menggunakan kedua tangannya. “Kenapa enggak cek ke mbak Binar saja?”
“O—oh, iya ... ya? S—serius, ... enggak kepikiran!” Rain jadi gelagapan. Ia terlalu takut, sang istri tahu bahwa di masa lalu, hatinya pernah bercabang kepada Binar.
“Kok, ... ekspresi kamu jadi beda? Mencurigakan begitu?” ucap Hasna.
“Innalilahi, ... Sayang ....” Rain langsung tak bisa berkata-kata.
“Kamu tahu, kan? Wanita apalagi istri, feelingnya lebih tajam daripada intel?” ucap Hasna yang kemudian buru-buru turun. Hasna berdalih tak sabar menengok kebun buatannya.
Namun berbeda dari biasanya, kali ini Hasna tampak tidak leluasa melangkah apalagi berlari.
“Jangan lapor ke papa kamu, kalau aku sudah bikin kamu jadi susah jalan,” ucap Rain sengaja menggoda sang istri. Ia tahu alasan istrinya layaknya sekarang dan itu karenanya. Karena istrinya telah memberikan kesuciannya kepada Rain.
Di depan sana, Hasna langsung cekikikan. Hasna membuka pintu dapur. Kedua matanya mengawasi petak tanah di depan teras dan tak lain kebun.
“Kangkungnya masih di bawah umur, Sayang. Nanti kita kena pas.al perlindungan anak!” seru Rain sembari memboyong dua mangkuk sup iga menggunakan nampan.
Terdengar Hasna yang tertawa di luar sana. Sementara ketika Rain sampai di sana, sang istri tengah memberi ikan-ikan di kolam, makan.
“S—sayang, aku ingin memelihara kucing, tapi aku enggak suka bulu sama e.enya,” ucap Hasna antusias. Ia menunggu Rain di sebelah meja bundar berbahan kayu yang ada di sana.
“Itu sama saja, sama kamu sayang aku, tapi kamu enggak bisa menerima kekurangan aku,” ucap Rain.
“Sayang, kok kamu bilang gitu?” sergah Hasna merasa tersinggung. Ia jadi ingat mengenai kejadian kemarin malam. Saat ia memarahi Rain habis-habisan, untuk lebih membatasi hubungan. Agar tidak membuat wanita lain atau pasangannya baper. Agar Rain juga terbiasa menjaga perasaan sekaligus hati pasangan. Semua itu harus Rain lakukan karena kini, Rain sudah menikah.
“Oh iya ... maap, maap. Aku lupa,” ucap Rain langsung ketakutan.
“Dibiasakan, enggak ada ruginya jadi lebih baik. Hih, pokoknya wajib sabar,” ucap Hasna yang kemudian pamit untuk mengambil nasi putih.
“Bisa-bisanya aku lupa!” lirih Rain memarahi dirinya sendiri.
“Di bawah tutup saji masih banyak makanan,” sergah Rain menyusul Hasna.
“Oh, ... oke. Ayo bawa semuanya saja. Aku mau makan banyak karena rasanya memang kelaparan parah,” ucap Hasna.
“Nanti agak sore, kamu mau ikut jemput papa mama kamu ke rumah mas Adam?” tanya Rain.
“Mau enggak ikut, takut Mas kebablasan dekat berlebihan sama saudara perempuan,” ucap Hasna tak bersemangat.
“Innalilahi, Sayang ...,” ucap Rain sesaat setelah ia menghela napas.
“Gini yah, Sayang. Mungkin sekarang kamu merasa, sejak nikah aku jadi cerewet bahkan galak. Namun, aku melakukan ini karena aku sayang kamu. Aku berhak mengarahkan kamu. Karena dipandang pun kurang nyaman kalau kamu tetap enggak membatasi hubungan kamu,” ucap Hasna serius tapi mencoba lebih bersikap santai. Ia tak sampai marah-marah lagi.
“Oke, ... oke. Nanti aku belajar!” ucap Rain bersemangat.
Hasna langsung tersenyum girang. Ia berangsur memindah setiap hidangan di nampan Rain, ke meja makan mereka.
“Aku belum terbiasa buat biasa saja. Duh, jadi deg-degan. Jangan-jangan, nanti aku asal becanda sayang-sayangan sama yang lain. Mateng-mateng aku, kalau sampai kebablasan!” batin Rain yang memang deg-degan. Padahal di sebelahnya, Hasna sudah langsung memberikan suapan pertama, kepadanya.