Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 : Dalang di Balik Racun
Samantha mulai menyadari, ada yang berubah dari caranya dunia memandang. Dulu, setiap langkahnya disambut hormat, kini seolah semua mata hanya ingin mencabiknya dalam diam. Senyum yang dulu tulus kini menyimpan ejekan. Ucapan selamat yang pernah menghujani mejanya kini digantikan oleh bisik-bisik menusuk yang menggema dari sudut-sudut ruang kerja.
Namun, hari itu berbeda. Serangan tak lagi datang dari balik layar. Ia muncul di tengah cahaya, tanpa malu dan tanpa takut.
Ruang rapat utama sedang ramai. Nathaniel duduk di ujung meja, bersikap tenang seperti biasa, dikelilingi para kepala divisi dan senior editor. Samantha duduk di sebelah kanan pria itu, menjelaskan kampanye editorial baru yang telah ia susun dengan cermat selama berminggu-minggu. Setiap data yang ia paparkan, setiap kalimat yang ia susun, mencerminkan kerja keras yang tak terlihat mata.
Namun tak lama setelah Samantha selesai menjelaskan, suara nyaring menyela dengan nada sinis.
"Hebat sekali idenya, Samantha," ujar Clara, duduk tegak sambil menyilangkan tangan. "Tapi saya rasa kita semua bertanya-tanya... seberapa banyak dari konsep itu yang benar-benar berasal dari kepala Anda sendiri?"
Beberapa orang tertawa kecil. Yang lainnya pura-pura membaca catatan mereka.
Samantha menoleh perlahan, menatap Clara tanpa emosi. Tapi sebelum ia sempat membuka suara, seorang editor lain menambahkan,
"Yah, kalau dekat dengan pemilik perusahaan, mungkin semua jadi terasa lebih mudah, ya? Bahkan ide biasa pun bisa tampak luar biasa."
Semua orang tahu kepada siapa kalimat itu diarahkan. Dan Nathaniel mengetahuinya lebih dulu dari siapa pun.
Diam yang mencekam jatuh di ruangan itu. Samantha tetap tenang di kursinya, tidak terguncang, tidak meledak. Tapi ia tahu—ini bukan lagi perang dingin. Ini perang terbuka.
Nathaniel akhirnya berbicara. Suaranya tenang, tapi nadanya mengiris seperti bilah baja.
“Kalau kalian punya kritik terhadap ide, silakan ajukan secara profesional. Tapi jika yang kalian bicarakan adalah kehidupan pribadi saya atau siapa pun di ruangan ini, maka kalian sebaiknya keluar dari ruang rapat dan jangan kembali sebelum belajar cara bersikap.”
Seketika, suasana membeku. Clara menggigit bibirnya, sedangkan yang lain hanya menunduk.
Samantha mengangkat dagunya sedikit. Bukan karena merasa menang, tapi karena ia tahu... pertempuran seperti ini baru permulaan.
Ia tak butuh Nathaniel untuk membelanya. Tapi selama ia masih harus memainkan perannya, Samantha akan menjadikan setiap hinaan sebagai bahan bakar untuk sesuatu yang jauh lebih besar, kejatuhan mereka semua yang mencoba menjatuhkannya.
Dan mungkin... juga kejatuhan Nathaniel itu sendiri.
...****************...
Clara sedang berdiri di depan mesin kopi, mengenakan blus mahal yang terlalu mencolok untuk sekadar hari kerja. Tangannya sibuk mengaduk krimer, sementara matanya sibuk mencuri pandang ke ruangan Nathaniel yang kini tertutup. Ia bahkan tidak menyadari langkah pelan Samantha mendekatinya, sampai suara dingin terdengar tepat di belakang telinganya.
"Aku tahu kamu menginginkannya, Clara," ujar Samantha datar.
Clara tersentak, lalu cepat-cepat menyusun wajah menjadi tenang. "Apa maksudmu?"
Samantha melipat tangannya di dada, bersandar ringan di meja kopi, lalu menatapnya lurus. "Kau pikir dengan menyebarkan cerita kotor, kau akan membuatku jatuh? Atau berharap dia akan melirikmu karena kamu tampak lebih... murni?"
Clara tertawa kecil, tapi ada getir di ujung tawanya. "Oh Sam, jangan bersikap seolah kamu tidak tahu posisi kamu. Semua orang membicarakanmu. Semua orang bisa lihat caramu menatapnya, caramu...."
"Aku tidak peduli apa yang mereka lihat," potong Samantha tajam, nadanya merendah namun mematikan. "Tapi aku memperingatkanmu, Clara. Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri jika terus seperti ini."
Clara mendengus, tapi suaranya bergetar. "Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Kau pikir kau akan jadi satu-satunya?"
"Aku tidak butuh cintanya," ujar Samantha, kini mendekat, menatap mata wanita itu dengan keheningan yang menakutkan. "Aku hanya perlu membuatnya percaya bahwa dia memilikiku. Dan jika kau ingin tahu apa yang akan kudapat dari semua ini, lebih baik kau duduk dan menonton. Karena permainan ini jauh lebih besar daripada egomu yang terluka."
Clara terdiam, untuk pertama kalinya kehilangan kata. Samantha tidak berteriak. Ia tidak menghina. Tapi ada kekuatan mengerikan dalam ketenangannya.
"Jangan sentuh aku lagi di rapat. Jangan coba-coba ganggu pekerjaanku. Dan satu hal lagi..." Samantha mengambil cangkir kopi Clara yang baru selesai diaduk, meneguknya perlahan, lalu meletakkannya kembali. "Belajar kalah dengan anggun."
Lalu ia pergi, meninggalkan Clara berdiri sendiri, dengan kopi yang tak lagi hangat dan rasa pahit yang tak bisa ia sembunyikan.
...****************...
Clara tidak langsung bereaksi. Ia hanya berdiri membeku di depan mesin kopi yang kini terasa seperti altar kekalahannya. Tapi matanya, yang semula nyalang karena marah, perlahan berubah, ada kilatan dingin dan perhitungan di sana.
Samantha pikir dirinya telah menang. Tapi Clara bukan tipe yang menyerah hanya karena satu tamparan verbal. Ia tahu, jika ingin menjatuhkan Samantha, dia tidak bisa melakukannya secara terang-terangan. Tidak lagi. Samantha terlalu licin, terlalu pintar, terlalu disukai Nathaniel… dan itu membuat Clara muak.
Malam itu, saat semua pegawai sudah pulang dan kantor hanya dihuni cahaya lampu temaram dan suara printer yang mengerang pelan di kejauhan, Clara masih duduk di ruang kerjanya. Ia membuka laptopnya, menyisir file demi file dengan telaten. Ia bukan siapa-siapa, tapi ia punya cukup akses untuk melihat alur email, jadwal rapat, memo internal.
Lalu, ia menemukan sesuatu. Sebuah memo digital dari Nathaniel ke Samantha, terlihat biasa di permukaan, namun dengan catatan-catatan pribadi yang nyaris tak profesional jika dibaca oleh mata yang tepat. Clara menyimpan salinannya.
Beberapa hari kemudian, diam-diam ia menemui seseorang dari divisi hukum, pura-pura berseloroh sambil menunjukkan cuplikan pesan yang ia "temukan secara tak sengaja". Dengan nada berpura-pura peduli, ia mengatakan, "Kupikir ini bisa jadi bumerang bagi perusahaan. Siapa tahu jika ada yang melihat dan menuduh pelanggaran kode etik."
Ia tidak ingin Samantha dipecat. Tidak langsung. Ia hanya ingin reputasinya perlahan digerus dari dalam. Ia ingin Nathaniel dipaksa mempertanyakan, apakah wanita yang selama ini ia lindungi, justru bisa menjadi ancaman bagi stabilitas perusahaan?
Dan lebih dari itu, Clara ingin melihat bagaimana Samantha berjuang sendirian, saat satu per satu orang mulai berbalik. Ketika bisik-bisik kecil tumbuh menjadi rumor yang menjalar.
Senyum Clara muncul tipis di bawah lampu monitor. Ia tidak terburu-buru. Karena racun yang paling mematikan adalah yang bekerja perlahan.
...****************...
Beberapa hari setelah konfrontasinya dengan Clara, Samantha mulai merasakan sesuatu yang tak biasa. Suasana kantor, yang sebelumnya penuh sapaan ringan dan senyuman sopan dari rekan kerja, kini terasa berbeda. Ada jeda saat dia melintas di koridor, ada pandangan yang cepat-cepat dialihkan, ada keheningan yang mendadak jatuh setiap kali dia membuka pintu ruang istirahat.
Awalnya ia mengabaikan. Tapi saat sebuah presentasi yang ia rancang dengan sempurna ditanggapi dengan komentar sinis oleh salah satu kolega junior, yang biasanya selalu memujinya, Samantha tahu, ini bukan kebetulan.
Dan ketika seorang staf HR menatapnya dengan alis terangkat setelah melihat sesuatu di layar komputernya, Samantha merasa yakin, seseorang sedang mencoba menjatuhkannya. Secara sistematis. Secara diam-diam.
Malam itu, ia duduk di ruangannya lebih lama dari biasanya. Ruang kantor lantai atas sudah sepi, hanya gemuruh AC dan denting keyboard yang menemani pikirannya. Samantha membuka kembali email-email internalnya, dokumen yang sudah ia simpan, memo dari Nathaniel. Ia tahu tak semuanya bersih. Ia tahu Clara cerdas, dan cukup licik untuk menggunakan potongan kecil sebagai bahan bakar rumor yang membakar lambat.
Samantha tidak panik. Tidak seperti dulu.
Ia mulai menyusun rencana. Dalam diam. Dalam ketenangan yang tajam.
Ia memanggil Miles, rekan lamanya dari luar perusahaan, seseorang yang ia percayai dalam misi lebih besar untuk mengungkap wajah gelap Nathaniel. Namun kali ini, ia memberinya tugas baru, telusuri Clara. Apa motifnya? Siapa yang mendukungnya? Apakah hanya kecemburuan buta, atau ada koneksi lebih dalam dengan para pemegang saham minoritas yang mulai terganggu oleh kedekatan Samantha dan sang CEO?
"Bangun jaringan informasi," ujar Samantha pada Miles melalui telepon, suaranya rendah tapi dingin. "Dan jika perlu, berikan Clara rasa manis dari mainannya sendiri."
Samantha pun mulai bermain lebih rapi. Ia menyebarkan kebaikan kecil di antara staf, membantu tim lain yang kesulitan, memberi pujian pada junior yang layak, bersikap terbuka pada pertanyaan-pertanyaan profesional. Ia membuat semua orang mulai mempertanyakan kembali gosip yang beredar, apakah benar wanita itu memanfaatkan posisi, atau… hanya korban dari permainan iri hati?
Di balik senyum hangat dan sorotan matanya yang tenang, Samantha mulai membangun panggung.
Dan pada saat yang tepat, ia akan menarik tirai. Memperlihatkan siapa sebenarnya si dalang di balik racun