Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Alessandro, dengan langkah gontai, bersiap berpamitan. Namun, sebelum ia bisa melangkah pergi, Gio muncul, tubuhnya tegap, aura dingin mengepul di sekelilingnya. Tatapannya, tajam seperti elang, langsung tertuju pada Milea.
"Gio, apa Dominic putramu?" tanya Alessandro, suaranya bercampur rasa ingin tahu dan rasa curiga.
Pertanyaan itu bagai percikan api yang menyambar bara. Mata Gio menyala, tatapannya menusuk Milea, penuh kekesalan dan amarah yang terpendam. Rahangnya mengeras, seakan siap menerkam.
"Apa kau mempertemukan Dominic dengannya?" Suara Gio rendah, berat, bergetar menahan amarah yang membuncah.
Milea hanya mampu mengangguk, kepalanya tertunduk dalam. Ia tahu, tindakannya kali ini telah memicu kemarahan Gio yang dahsyat. Kesunyian mencekam, hanya diiringi desiran angin lembut yang menerpa dedaunan.
Alessandro, tak tahan melihat adiknya tertekan, melangkah maju, suaranya meninggi, "Berhenti menatap adikku seperti itu!" Nada suaranya tegas, sedikit membentak, melindungi Milea dari tatapan tajam Gio.
"Dia kekasihku!" Jawab Gio, suaranya keras, menantang. Tatapannya tetap terpaku Alessandro, penuh dengan api cemburu yang membakar.
"Cukup!" Suara Milea memecah ketegangan. Ia berdiri di antara kedua pria itu, tubuhnya seolah menjadi benteng, menghalangi potensi pertengkaran yang siap meletus. Ia berusaha menenangkan suasana yang semakin memanas.
Tiba-tiba, suara riang Dominic memecah keheningan. "Papa!" Bocah kecil itu berlari dari dalam mansion, langsung memeluk kaki Gio. Sentuhan hangat Dominic seakan sedikit meredam amarah Gio yang membara.
"Aku mengizinkanmu menemui Milea, tapi jangan usik kehidupanku, apalagi Dominic!" Gio masih menatap Alessandro dengan tajam, namun suaranya sedikit melunak, diselingi kelembutan saat ia memangku Dominic.
Perintahnya tegas, namun ada getaran emosi yang tersembunyi di balik kata-katanya.
"Milea, cepat masuk!" Gio memerintah, lalu berlalu, langkahnya tegap, memangku Dominic. Milea masih tertinggal di taman, menatap kepergian Gio.
Alessandro menghampiri Milea, suaranya lembut namun sarat kekhawatiran, "Apa kau yakin akan bertahan dengan orang seperti Gio? Dia bisa kasar kapan saja, Milea!"
Milea menatap Alessandro, matanya berkaca-kaca. "Aku mencintainya, Kak. Dan aku yakin, Gio tidak akan menyakitiku." Suaranya penuh keyakinan, namun ada sedikit getaran keraguan yang tersirat.
Alessandro mengacak rambutnya frustrasi. Keputusan Milea membuatnya merasa cemas. "Baiklah," katanya akhirnya, "Aku akan pergi. Aku akan menemui mu lain kali." Ia mengecup singkat kening Milea, lalu berlalu, meninggalkan Milea sendiri di taman
Milea masih terpaku di tempatnya, menatap kepergian kakaknya, hatinya dipenuhi keraguan dan cinta yang rumit.
Setelah memastikan kepergian Alessandro, langkah Milea terasa berat. Jantungnya berdebar-debar, irama detaknya bergema di telinganya, mengiringi langkahnya yang ragu-ragu menuju mansion.
Bayangan amarah Gio masih menghantuinya. Ia takut, sangat takut.
Di kamarnya, Gio sudah duduk tegap di sofa, siluetnya terukir jelas di bawah cahaya remang lampu.
Sebotol wiski setengah kosong tergeletak di atas meja kecil di sampingnya, menandakan kesabarannya yang mulai menipis. Tatapannya tajam, menusuk, seakan ingin membedah isi hati Milea.
"Apa saja yang kau katakan pada Alessandro tentang Dominic?" Suara Gio rendah, berat, namun setiap kata sarat penekanan. Ia menyeruput wiski, geraknya pelan, namun penuh arti.
Milea menelan ludah, suaranya gemetar, "A...aku hanya mengatakan, Dominic adalah anakmu. Lalu, Kak Alessandro tidak menanyakan lebih lanjut. Dia lebih banyak membahas tentang hubungan kita."
Mata Gio tak lepas dari Milea, mencari-cari kebohongan di balik kata-katanya. "Kau tidak membohongi aku?"
"Tidak, Gio. Aku mengatakan yang sebenarnya," jawab Milea, suaranya masih sedikit gemetar.
Ia ingin menceritakan alasan kepergian Alessandro dari Berlin. Namun, suasana yang tegang ini membuatnya urung. Ia memilih untuk menyimpan rahasia itu untuk sementara.
Gio meletakkan gelas wiskinya, langkahnya sunyi namun pasti mendekati Milea. Jarak di antara mereka semakin menipis, napas Gio terasa hangat di kulit Milea. "Jangan pernah berbohong padaku, Milea," bisiknya, suaranya seperti beludru, mengusik kulit Milea.
Kata-kata itu diikuti oleh sentuhan lembut Gio di bibir Milea. Ciuman yang awalnya lembut, perlahan berubah menjadi lebih dalam, lidah mereka beradu dalam tarian sensual. Milea memejamkan mata, terhanyut dalam pusaran gairah yang membuncah.
Gio membawa Milea ke ranjang, tangannya terampil melepaskan pakaian Milea, sentuhannya lembut namun penuh gairah. Setiap inci kulit Milea dihujani kecupan, membuat tubuhnya bergetar. Gairah mereka semakin membara.
Gio mengeluarkan keperkasaan yang terpendam, menyatukan tubuh mereka dalam sebuah ikatan yang penuh gairah.
Hentakan Gio awalnya lembut, namun perlahan berubah menjadi lebih brutal, mengalir seperti lava panas yang membakar. Dua puluh menit berlalu, hentakan itu semakin kuat, semakin dalam, mengarahkan mereka menuju puncak kenikmatan. Puncak yang terasa begitu dahsyat dan tak terlupakan.
"Mau lagi?" bisik Gio, suaranya berat, nafasnya masih memburu setelah melepaskan cairan beningnya di dalam rahim Milea. Tubuh mereka masih terjalin, panas sisa gairah masih terasa membara.
Milea menggeleng pelan, suaranya lembut, "Nanti malam saja, ya. Aku sudah cukup lelah." Ia mengakui, Gio memang ahli dalam memuaskan hasratnya.
Kemahiran Gio dalam membangkitkan dan membimbingnya ke puncak kenikmatan tak pernah mengecewakan.
"Baiklah," jawab Gio, mengecup kening Milea dengan lembut.
Ia ikut berbaring di sampingnya, memeluk Milea dengan erat, tubuhnya terasa lelah namun hatinya dipenuhi kepuasan. Keduanya terdiam, hanya suara nafas mereka yang terdengar di keheningan kamar.
Lama kemudian, suara Milea memecah kesunyian, "Gio, aku takut."
Gio membuka matanya, tatapannya lembut namun penuh perhatian. "Takut kenapa?"
Milea ragu-ragu, suaranya hampir tak terdengar, "Aku takut... hamil."
Gio terdiam sejenak, kemudian ia membuka laci di nakas, mengambil sebuah pil kecil dan segelas air. "Aku sudah membawa pil kontrasepsi. Minumlah."
Milea menerimanya, menelan pil itu dengan susah payah. Namun, sebuah rasa aneh muncul di hatinya.
Ada kesedihan yang mendalam, rasa sakit yang tak terjelaskan. Ia tak mengerti mengapa hatinya terasa begitu sesak saat menerima pil itu, padahal ia tahu, itu adalah tindakan pencegahan yang wajar. Rasa sakit itu datang tanpa sebab yang jelas, menggerogoti hatinya yang tengah tenang.
Semoga bab-bab berikutnya gak mengecewakan ya.. Semangat👍
.. mampir juga thor ke ceritaku kasih saran dan kritik nya terimakasih 😊
Semangat terus kak 💪
di tunggu back nya 🥰