Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Babak Baru Di Bandung
Eri akhirnya tiba di rumah Bude Hera. Kedatangannya disambut dengan sukacita oleh seluruh keluarga Bude Hera.
"Wah, sudah besar sekarang kamu, Er!" seru Pakde Herman sambil tersenyum lebar.
"Iya, tambah ganteng lagi!" timpal Bude Hera, matanya berbinar melihat keponakannya.
Indra, anak Bude Hera, yang begitu antusias menyambut kedatangan Eri, tak mau ketinggalan, "Kabar Tante Henny bagaimana? Sehat, kan?"
"Alhamdulillah, Mama sehat walafiat dan Mama titip salam hangat buat keluarga di sini!" jawab Eri tak kalah semangat.
"O, iya... Ayo, ayo masuk! Astaga, sampai lupa tidak menyuruh kalian masuk!" Pakde Herman baru menyadari, segera mempersilakan Pak Dahlan dan Eri untuk masuk ke dalam rumah.
"Iya, Pak, terima kasih banyak!" balas Pak Dahlan dengan sopan.
Mereka semua akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah yang terasa begitu hangat dan nyaman.
"Nah, inilah rumah Pakde dan Bude, Er. Semoga nanti kamu betah tinggal di sini ya. Mungkin rumah Pakde dan Bude ini tidak semewah rumah kamu di Jakarta!" ujar Pakde Herman dengan nada merendah.
"Ah, sama saja, Pakde. Justru di sini malah lebih tenang dan nyaman, tidak seperti Jakarta yang selalu ramai dan bising seperti kota yang tidak pernah tidur!" balas Eri sambil tertawa ringan. Dalam hatinya, ia sudah merasa nyaman dengan suasana pedesaan yang tenang ini.
Memang, sesuai rencana, selama menempuh kuliah di Bandung, Eri akan tinggal di rumah Bude Hera. Orang tuanya ingin Eri merasakan suasana yang berbeda dan lebih fokus pada studinya.
"Pak Dahlan, sebaiknya menginap di sini barang semalam ya. Kalau langsung balik ke Jakarta, saya khawatir nanti ngantuk di jalan, capek juga kan, malah berbahaya!" saran Pak Herman dengan nada prihatin.
"Betul, Pak! Pak Dahlan nginep dulu barang semalam biar tenaganya pulih dulu!" Indra ikut menimpali, menunjukkan perhatiannya.
"Ya, lihat nanti saja bagaimana!" jawab Pak Dahlan dengan sopan. Ia sendiri masih mempertimbangkan apakah akan langsung kembali ke Jakarta atau menginap semalam.
"O, iya, sudah larut malam. Sekarang kita makan malam dulu saja ya, Pak Dahlan dan Eri pasti sudah lapar!" kata Bude Hera sambil berjalan menuju ruang makan, mempersilakan kedua tamunya itu untuk mengikutinya.
Di ruang makan, meja sudah dipenuhi dengan hidangan lezat yang sangat menggugah selera. Aroma masakan tradisional memenuhi ruangan, membuat perut semakin keroncongan.
"Ini semua yang masak Bude lho!" kata Bude Hera sambil mendekatkan semangkuk sayur lodeh ke dekat Eri.
"Waduh, jadi merepotkan Bude nih!" kata Eri dengan nada sungkan sambil menyendok sayur lodeh ke piringnya.
"Nggak kok, nggak repot sama sekali. Bude memang sengaja masak banyak untuk menyambut kedatangan keponakan Bude yang paling ganteng ini!" kata Bude Hera sambil tertawa menggoda Eri.
"Masak iya sih, Bude, saya ganteng? Saya malah nggak nyadar kalau saya ini ganteng?" balas Eri disertai senyum nakal menanggapi godaan dari Budenya.
"Lah, iya pastinya! Kamu itu ganteng seperti Raden Arjuna!" sahut Pakde Herman disertai tawa menggoda.
Mendengar ucapan Pakde Herman, semua yang hadir jadi ikut tertawa. Suasana ruang makan itu menjadi hangat dan penuh dengan canda tawa. Keakraban dan kehangatan keluarga begitu terasa.
"Sudah... sudah, sekarang kita makan dulu, nanti dilanjutkan lagi ngobrolnya!" kata Bude Hera menengahi canda tawa mereka, mengingatkan untuk menikmati hidangan yang sudah tersaji.
Setelah tawa mereka reda, mereka pun mulai menikmati makan malam bersama dengan lahap.
Selesai makan, mereka pindah ke ruang keluarga untuk melanjutkan obrolan sambil menonton TV. Bude Hera menyuguhkan teh hangat dan beberapa makanan kecil untuk menemani mereka mengobrol.
“Pak Dahlan sudah lama bekerja sebagai sopir di tempatnya Eri?” tanya Pakde Herman membuka percakapan di antara mereka.
"Ya, kira-kira sudah lama sekali, Pakde, sejak Mas Eri berumur lima tahunan!" jawab Pak Dahlan sambil meluruskan kakinya yang terasa pegal-pegal setelah perjalanan jauh.
"Lumayan lama juga ya, Pak!" sahut Indra ikut menyambung.
Sedangkan Eri hanya diam, sibuk dengan ponselnya. Ia sedang membalas pesan dari teman-temannya di Jakarta.
"Iya, Mas, saya sudah betah bekerja di keluarga Mas Eri. Keluarga Mas Eri sudah menganggap saya seperti keluarga sendiri!" terang Pak Dahlan dengan tulus. Ia merasa beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga Eri.
"Pak Dahlan menginap di sini saja barang semalam. Kalau harus langsung balik ke Jakarta, pasti capek sekali. Apalagi ini sudah malam hari, berbahaya menyetir dengan keadaan capek. Mungkin kalau berangkatnya agak pagi tadi masih bisa langsung balik ke Jakarta!" kata Bude Hera yang melihat Pak Dahlan kelihatan begitu lelah.
"Iya, Pak, sebaiknya Pak Dahlan nginep dulu di sini. Besok baru kembali ke Jakarta. Mama pun pasti akan setuju kalau Pak Dahlan nginep istirahat dulu di sini, daripada langsung balik, itu sangat berisiko dan pasti Mama tidak mau itu terjadi!" saran Eri, karena dia juga melihat Pak Dahlan tampak kecapekan. Ia tidak ingin Pak Dahlan kenapa-kenapa di jalan.
Karena memang merasa sangat capek dan lelah sepanjang perjalanan tadi, rasanya tidak mungkin juga harus langsung kembali ke Jakarta saat ini juga. Akhirnya Pak Dahlan menuruti saran Bu Hera dan Eri untuk menginap semalam di rumah Bu Hera. Besok pagi, setelah beristirahat dengan cukup, barulah ia akan kembali ke Jakarta.
Karena hari sudah semakin larut, maka Eri dan Pak Dahlan disuruh segera istirahat saja.
Pak Dahlan diantar Indra ke kamar tamu, sedangkan Eri tidur di kamar Indra berdua dengan Indra. Mereka berdua sudah lama tidak bertemu, sehingga banyak hal yang ingin mereka ceritakan.
Mungkin karena lelah dan capek setelah perjalanan tadi, tak lama setelah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, sebentar kemudian Eri sudah terlelap ke alam mimpi. Ia tidur dengan nyenyak, melupakan sejenak kesibukannya di Jakarta.
Keesokan paginya, mereka bangun dengan tubuh yang segar dan bersemangat. Udara segar pedesaan membuat tidur mereka semakin berkualitas.
Pagi itu, Eri dan Pak Dahlan jalan-jalan menikmati udara pagi di sekitar rumah Bude Hera, ditemani Indra. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi sawah hijau.
“Tempat ini masih asri ya, Mas Eri!” kata Pak Dahlan sambil menghirup udara segar.
"Iya, Pak, aku pasti betah tinggal di sini nantinya!" balas Eri sambil tersenyum. Ia merasa menemukan kedamaian di tempat ini.
"Iya, pasti betah. Apalagi kalau sudah ada cewek yang nyangkut di hati, pasti tambah betah lagi di sini, iya kan, Mas Indra?” tanya Pak Dahlan kepada Indra, yang sebenarnya ditujukan untuk menggoda Eri sang tuan mudanya.
“Iya, Pak, betul sekali itu!” jawab Indra disertai tawa menggoda. Ia tahu betul bagaimana sifat Eri yang selalu fokus pada studinya.
"Cewek apaan sih, Pak? Kuliah saja baru mau masuk sudah mikirin soal cewek. Aku pengennya menyelesaikan kuliah S2-ku dulu, membahagiakan Mama, baru kemudian mikirin soal cewek!" sahut Eri santai.
"Mudah-mudahan apa yang Mas Eri cita-citakan bisa terlaksana. Saya ikut mendoakan agar apa yang Mas Eri cita-citakan terwujud dalam kenyataan!" sambung Pak Dahlan dengan tulus.
“Amin!” Eri mengaminkan ucapan Pak Dahlan.
"Amin,” Indra pun mengamini.
Mereka begitu asyik berjalan-jalan sambil ngobrol, tak terasa matahari semakin tinggi dan cuaca pun sudah mulai terasa panas. Indra akhirnya mengajak Pak Dahlan dan Eri untuk pulang.
Sesampainya di rumah, Bude Hera sudah menyiapkan sarapan untuk mereka. Aroma nasi goreng kampung memenuhi ruangan, membuat perut mereka semakin keroncongan.
Setelah mandi dan membersihkan diri, mereka lalu sarapan bersama. Selesai sarapan, Pak Dahlan bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta.
Eri mendekati Pak Dahlan yang sedang memeriksa keadaan mobil. Ia merasa sedikit khawatir meninggalkan Mamanya di Jakarta.
"Pak, aku titip Mama ya, Pak. Jaga Mama selama aku di sini!" katanya dengan nada cemas.
"O, iya, pasti, Mas. Mas Eri tidak usah khawatir, saya pasti akan menjaga Bu Henny dengan sepenuh hati. Mas Eri fokus saja pada kuliahnya, biar Bu Henny saya dan Mbok Narsih yang menjaganya!" kata Pak Dahlan berusaha menenangkan Eri. Pak Dahlan tahu benar seberapa besar tuan mudanya itu menyayangi sang Mama.
"Pak Dahlan sudah mau berangkat?" tanya Pakde Herman dan Bude Hera sambil mendekati Pak Dahlan dan Eri.
"Iya, Pak, Bu, sebentar lagi ini baru mengecek mobil, siapa tahu ada yang rusak!" jawab Pak Dahlan.
"O, iya, Pak, saya titip oleh-oleh ini ya untuk Henny!" kata Bu Hera.
Bu Hera menyerahkan sebuah kardus yang berisikan oleh-oleh untuk Bu Henny. Di dalamnya terdapat berbagai macam makanan khas khas Bandung
"Iya, Bu, biar nanti saya bawa!"
Setelah dirasa tidak ada yang rusak dan semuanya aman, Pak Dahlan kemudian pamit pada Pak Herman, Bu Hera, dan Eri.
"Pak, Bu, dan Mas Eri, saya pamit. Mas Eri kuliahnya yang fokus ya di sini!" kata Pak Dahlan sambil memegang pundak tuan mudanya itu.
“O, ya, sudah pasti itu, Pak!” balas Eri dengan mantap.
"Ini jangan sampai lupa oleh-olehnya untuk Henny!" kata Bu Hera sambil memasukkan kardus itu ke dalam bagasi mobil.
"O, iya, hampir saja lupa!" kata Pak Dahlan sambil tertawa.
Setelah dirasa tidak ada yang ketinggalan, Pak Dahlan lalu masuk ke dalam mobil dan perlahan-lahan mobil itu berjalan meninggalkan rumah Bu Hera, kembali ke Jakarta. Eri menatap mobil itu hingga menghilang dari pandangan, lalu berbalik masuk ke dalam rumah dengan semangat baru untuk memulai kehidupannya sebagai mahasiswa di Bandung.
***********