Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya, masing-masing menyimpan ingatan, kekuatan, dan dosa. Dunia mengejarnya, menyebutnya iblis yang harus dihancurkan — tapi Wuyan punya rahasia yang lebih gelap: ia tidak hanya satu entitas, melainkan ribuan jiwa yang terperangkap dalam satu tubuh.
Jika ia menolak salah satu wajah, sisi itu bisa memberontak dan mencabik jiwanya dari dalam. Tapi jika ia menerima semuanya … ia bisa menjadi musuh terbesar dunia.
Kini Wuyan harus bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk mendamaikan semua sisi dirinya yang paling menakutkan — sebelum wajah-wajah itu membunuhnya dari dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 — Suara dari Dalam Bayangan
Malam di gunung Langit Tenang lebih pekat dari sebelumnya. Kabut menebal, membungkus setiap batu dan pohon dalam selimut putih yang menyesakkan. Udara dingin menusuk kulit Shen Wuyan hingga ke tulang, tapi ia tetap duduk di atas batu datar, menutup mata, menahan napas.
Suara alam samar terdengar, dari gemerisik dedaunan hingga hembusan angin, terasa lebih berat, lebih menyeramkan.
Di sampingnya, bayangan bergerak perlahan. Tipis tapi jelas. Seolah menunggu sesuatu yang Shen Wuyan sendiri belum mengerti. Ia bisa merasakan energi yang berasal dari bayangan itu—tidak hanya gelap, tapi penuh kesadaran. Sesuatu di luar dirinya, namun tetap intim, seakan telah ada di dalamnya sejak lahir.
Wuyan menarik napas panjang. Hun–Po Refinement bukan sekadar latihan fisik. Ini adalah proses membedakan Hun dan Po, menyatukan fragmen jiwa yang terpecah.
Hun adalah kesadaran, jiwa yang logis, yang mengarahkan, memimpin.
Po adalah naluri, sisi gelap, dorongan tersembunyi yang kadang menakutkan.
Bayangan itu tampak menjadi representasi Po yang hidup, menantang dirinya menghadapi sisi yang belum ia kenali.
Desahan angin membawa aroma tanah basah dan embun dingin. Shen Wuyan merasakan tubuhnya bergetar, napas tersendat. Bayangan itu bergeser selangkah lebih dekat, menyesuaikan diri dengan aliran energi tubuhnya.
Ia menahan ketakutan, mencoba menyatukan fragmen Hun dan Po, membiarkan energi mengalir tanpa terputus.
Tiba-tiba, suara samar terdengar dari bayangan itu. Tipis, seperti bisikan di tengah hening, tapi cukup menembus pikirannya.
“…Shen Wuyan…”
Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menelan ludah, tubuh membeku. Suara itu bukan dari mulutnya sendiri, bukan angin. Itu benar-benar bayangan, hidup, menyadari keberadaannya. Ada sesuatu yang asing, gelap, tapi memikat, menembus kesadaran.
Wuyan menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ketakutan ini bagian dari latihan Hun–Po. Hun mengajarkan untuk tetap sadar, Po menuntutnya menghadapi insting dan ketakutan terdalam.
Ia menutup mata lebih rapat, mengarahkan qi dari kaki ke seluruh tubuh, mencoba menyelaraskan diri dengan bayangan itu.
Suara terdengar lagi, sedikit lebih jelas.
“Kau takut…”
Nada penuh maksud, menantang sekaligus menggoda. Po di dalam dirinya bergetar, merespons bayangan. Ada bagian dirinya yang ingin melawan, tapi Hun menahan, mengingatkannya untuk mengamati, memahami, bukan menolak.
Kabut berputar, membentuk pola tipis di udara. Bayangan mencondongkan tubuh, senyum samar melengkung di wajah gelapnya. Shen Wuyan bisa merasakan arus energi yang keluar darinya: lembut tapi menekan, menuntut pengakuan.
Hun menuntunnya tetap logis, Po mendorong naluri gelapnya. Shen Wuyan menyesuaikan diri, membiarkan energi mengalir, membiarkan bayangan menjadi cermin bagi dirinya sendiri.
Suara terdengar lagi, lebih jauh tapi jelas dalam kesadaran Wuyan.
“Kau belum melihatku sepenuhnya…”
Kata-kata itu menimbulkan getaran di tulang belakangnya. Ia menahan napas, merasakan energi di sekitar mereka berubah, seakan malam ikut menahan napas bersamanya.
Shen Wuyan membuka mata perlahan. Bayangan bergerak selangkah lebih dekat, wajahnya lebih jelas dalam siluet kabut. Senyum itu tetap menempel, tapi ada kedalaman di mata gelapnya—seperti rahasia yang belum pernah Wuyan temui. Ia menyadari bahwa bayangan itu bukan sekadar cerminan, tapi entitas yang menantang sisi terdalam dirinya.
Ia menelan ludah, tubuh tegang. Memusatkan energi Hun, menenangkan Po yang gelisah. Hun–Po Refinement mengajarkannya menyatukan kedua jiwa, bukan menghancurkan atau menekannya. Bayangan itu tampaknya mengerti prosesnya, menyesuaikan diri dengan aliran energi dari dalam Wuyan.
Angin malam berdesir, dedaunan bergetar, cahaya bulan menembus kabut tipis. Bayangan bergerak ke arah sinar bulan, membuat siluetnya tampak memanjang, menakutkan sekaligus memikat. Shen Wuyan merasakan adrenalin dan rasa penasaran bercampur. Malam ini bukan latihan biasa; ini ujian batin yang nyata.
Suara terdengar lagi, lebih intens.
“Kau takut kehilangan dirimu…”
Bayangan berbicara pada inti kesadarannya, menembus lapisan Hun dan Po. Shen Wuyan menutup mata, menyelami energi itu, merasakan setiap getaran, setiap dorongan naluri, setiap fragmen kesadaran.
Ia sadar bayangan ini bukan musuh. Ia adalah sisi dirinya yang belum ia kenali, menunggu pengakuan. Hun menuntunnya menerima, Po memaksa naluri menghadapi. Ia menahan napas, memusatkan energi qi, merasakan integrasi fragmen jiwa rapuh menjadi satu kesatuan sementara.
Cahaya bulan bergeser, bayangan menatap lebih lama. Senyum samar kini terasa seperti undangan, bukan ancaman. Wuyan menelan ludah, tubuh tegang, pikirannya mulai jernih. Ia menyadari suara bayangan memaksa dirinya menghadapi kebenaran tersembunyi di dalam diri.
Suara terdengar lagi, lebih dalam, lebih berat.
“Apakah kau masih mengenal dirimu sendiri?”
Bisikan itu menembus pikiran Wuyan, memaksa setiap fragmen jiwa bereaksi. Ketegangan di tulang belakang, jantung berdegup lebih cepat, tapi rasa penasaran lebih kuat daripada takut. Ia ingin tahu, ingin memahami, ingin menghadapi bayangan itu sebagai entitas.
Ia menutup mata, memusatkan diri. Hun menuntunnya menyadari fragmentasi: logika, kesadaran, energi jiwa. Po menuntut naluri, dorongan gelap, insting yang belum ia hadapi. Qi mengalir dari kaki ke seluruh tubuh, energi mengisi setiap ruang antara Hun dan Po. Bayangan membaca setiap gerakan energi, mendekat tanpa menghilangkan jarak menegangkan.
Desau angin membawa aroma basah dan dingin. Setiap gerakan bayangan menimbulkan getaran halus di udara. Shen Wuyan menahan napas, membiarkan energi mereka bertemu tanpa kontak fisik. Bayangan mencondongkan kepala, senyum samar melebar. Suara terdengar di pikirannya lagi:
“Kau takut menghadapi dirimu sendiri…”
Dorongan Po meningkat. Naluri ingin mundur, melawan, lari. Hun menuntunnya menahan diri, menerima, menyatukan, bukan menolak. Fragmen-fragmen jiwa disatukan sementara, energi mengalir di tubuhnya.
Bayangan bergerak perlahan, mengikuti aliran qi Shen Wuyan, menari di sekitar energi yang ia lepaskan. Senyum tetap melekat, menembus setiap lapisan psikologis, menguji keberanian, kesadaran, dan identitas Wuyan. Hun dan Po bekerja sama dalam simfoni halus baru.
Suara bayangan terdengar lebih jelas, bukan bisikan, tapi kata-kata penuh makna dan ancaman lembut:
“Kau menghindar dari dirimu… dari kegelapan yang seharusnya kau kenal.”
Shen Wuyan menutup mata lebih erat, merasakan energi memancar dari bayangan. Ia menegakkan punggung, setiap fragmen jiwa bergetar. Hun membimbing kesadaran, Po menggerakkan naluri menghadapi. Ia mulai memahami bayangan ini bukan sekadar refleksi; ia adalah sisi gelap dirinya, menuntut pengakuan.
Kabut malam berputar, cahaya bulan menyelinap di celah kabut, membentuk siluet bayangan memanjang, menyeramkan tapi memikat. Shen Wuyan mengatur napas, aliran qi mengisi setiap ruang tubuh. Ketegangan malam ini bukan ancaman, tapi latihan menghadapi dirinya sendiri.
Bayangan mencondongkan tubuh lebih dekat. Mata gelap menatap Shen Wuyan, menembus inti kesadarannya. Suara terdengar jelas:
“Kau sudah lupa wajahmu sendiri.”
Kata-kata itu mengguncang Wuyan. Jantung berdegup cepat, tubuh kaku, kesadaran mengalir penuh. Bayangan menunggu responsnya, diam tapi hidup, menantang sekaligus memikat.
Shen Wuyan menelan ludah, menarik napas panjang. Malam ini, ia tidak hanya berhadapan dengan bayangan, tapi dengan sisi dirinya yang belum ia kenali. Hun dan Po bersatu, menciptakan keseimbangan rapuh, menahan ketakutan, menyalurkan rasa ingin tahu.
Kabut menelan bayangan dan dirinya sejenak. Angin berdesir, dedaunan bergetar, cahaya bulan menembus kabut, menciptakan bayangan yang tampak hidup di sekitar mereka. Shen Wuyan menutup mata, memusatkan energi, merasakan komunikasi batin yang belum pernah ia alami.
Bayangan tersenyum, dan untuk pertama kalinya, bukan sekadar gerakan atau bisikan: ada kehadiran nyata, intens, seakan hidup di luar dirinya, tapi tetap bagian dirinya. Shen Wuyan sadar hubungan mereka bukan sekadar latihan; ini pengenalan pada sisi gelap dan sadar dari jiwa yang belum ia pahami.
Ia membuka mata perlahan, merasakan napas, detak jantung, aliran energi. Bayangan tetap menatap, diam tapi hidup, menunggu langkah selanjutnya. Shen Wuyan menelan ludah, tubuh tegang tapi pikiran mulai menerima: malam ini awal pemahaman lebih dalam tentang diri sendiri.
Suara terakhir terdengar, lembut tapi menekan:
“Kau sudah lupa wajahmu sendiri.”
Tiba-tiba, kabut berputar lebih cepat, membentuk pusaran di sekeliling mereka. Bayangan mencondongkan tubuh, hampir menyentuhnya…
Suara terakhir bergema di pikirannya, berat dan dingin:
“Sekarang, kau akan melihatku sepenuhnya…”
Malam menjadi sunyi. Ketegangan menusuk tulang. Shen Wuyan merasakan sesuatu bergerak di dalam dirinya—fragmen yang belum pernah ia sadari—dan ia tahu, perjalanan jiwa baru saja dimulai.