Aruna hanya memanfaatkan Arjuna Dewangga. Lelaki yang belum pernah menjalin hubungan kekasih dengan siapapun. Lelaki yang terkenal baik di sekolahnya dan menjadi kesayangan guru karena prestasinya. Sementara Arjuna, lelaki yang anti-pacaran memutuskan menerima Aruna karena jantungnya yang meningkat lebih cepat dari biasanya setiap berdekatan dengan gadis tersebut. *** "Mau minta sesuatu boleh?" Lelaki itu kembali menyuapi dan mengangguk singkat. "Mau apa emangnya?" Tatapan mata Arjuna begitu lekat menatap Aruna. Aruna berdehem dan minum sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Arjuna. "Mau ciuman, ayo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 02
Hubungan kekasih yang baru beberapa hari terjalin, rasanya tidak mengalami perkembangan. Tidak ada pesan, panggilan telepon dan sapaan ketika bertemu. Aruna merasa masih stagnan, tidak berkembang sama sekali. Nomor ponsel Arjuna sih sudah dirinya dapatkan, tapi gengsi jika harus menghubungi lebih dulu. Tapi, jika tidak dihubungi---mana mungkin Arjuna menghubungi lebih dulu. Ah, lelaki itu masih training dan pemula dalam menjalin hubungan.
Mengenai permintaan papanya, tidak akan Aruna lakukan. Enak saja, dirinya baru saja jadian disuruh menjauh. Harusnya, Sisil yang sadar diri karena Arjuna kini sudah menjadi kekasihnya. Papanya menyuruh menjauh, maka Aruna akan semakin mendekat dan lengket dengan Arjuna.
Pagi ini dengan seragam lengkap dan cantik, dirinya akan meminta lelaki itu menjemputnya. Persetan dengan gengsi, jika dirinya tidak bergerak--- maka, Sisil yang akan bergerak lebih dulu mengambil Arjuna. Jemarinya langsung bergerak untuk mengirimkan pesan kepada sang kekasih.
"Halo Jun, tolong jemput gue dong. Motor gue lagi masuk bengkel, lo bisa kan jemput gue?"
"Kamu dimana?" Aruna diam-diam bersorak senang. Sudah bisa dipastikan lelaki itu mau menjemputnya. Senyuman manis tersungging di bibirnya.
Aruna langsung menyebutkan lengkap alamatnya. "Gue tinggal di Apartemen Gadipati jalan Bimasena, ada di lantai 2 unit nomor 22 terus password-nya 150505." Saking bersemangatnya gadis tersebut, semua pun dirinya sebutkan.
Arjuna tampak terdiam tidak menjawab. Lelaki itu menggelengkan kepalanya, meskipun Aruna tidak bisa melihat.
"Aruna," Panggilnya dengan suara lembut.
"Iya sayang, kenapa? Mau jemput sekarang?" Aruna tampak berjalan mondar-mandir menyiapkan bekal sarapan. Nanti akan dirinya berikan pada Arjuna, meski hanya sepotong roti dan susu kotak.
Bibir Arjuna berkedut menahan senyuman tipis. Lelaki itu berdehem singkat, bukan waktunya untuk salting. Lelaki itu harus menasehati Aruna, bahwa hal pribadi tidak baik diumbar-umbar begini.
"Kamu sering kasih tau password apartemen ke orang lain?"
"Enggak, cuma kamu sama Karin sama Misel doang. Lagian kamu bukan orang lain, kita udah pacaran!" Tegasnya mengingatkan Arjuna tentang status keduanya. Lelaki itu menghela nafas.
"lya, tapi lain kali jangan begitu lagi sama siapapun. Kecuali sama keluarga kamu, karena itu privasi yang harus kamu jaga Runa." Aruna memutar bola matanya malas. Harusnya, Arjuna menggunakan hal ini sebagai kesempatan emas. Bukan malah menasehatinya.
"Iya, ayo berangkat! Kamu katanya mau jemput," Balas Aruna, tidak menanggapi nasihat dari Arjuna. Pagi indahnya tidak mau rusak.
"Aku kirim sopir, maaf nggak bisa jemput langsung."
Tut
Panggilan telepon langsung dimatikan dari sebrang. Aruna mendengus kesal. Ternyata, susah sekali menaklukan sosok Arjuna. Padahal, Aruna pikir lelaki itu sudah tertarik padanya--- ketika menerima pernyataan darinya. Bukannya mendapatkan hal romantis, Aruna justru tersenyum miris. Payah sekali memang Arjuna. Lelaki itu mungkin pintar dalam bidang akademik, namun untuk urusan percintaan---Aruna yakin Arjuna tidak peka dan berpengalaman.
Kini, misi Aruna bertambah satu lagi. Membuat Arjuna menjadi lelaki romantis. Bagaimana wajah datar itu tersenyum memuja dan menatapnya dengan manis.
Aruna benar-benar dijemput oleh sopir keluarga Arjuna. Dirinya sampai sekolah dengan tepat waktu dan selamat. Sepanjang jalan, Aruna diam membisu. Sampai, matanya menemukan sosok Arjuna yang sedang berjalan menuju laboratorium biologi bersama Sisil.
"Arjuna!" Panggilnya dengan suara manja. Seolah menegaskan, bahwa lelaki itu hanya miliknya. Tidak ada orang lain yang boleh mendekat pada lelaki itu.
Aruna tersenyum manis dan merapikan rambutnya.
"Makasih ya sayang, udah suruh sopir kamu jemput aku!" Katanya dengan manja dan manis. Telinga Arjuna memerah mendengarnya, namun lelaki itu lebih dulu memalingkan wajah dan mundur.
Sisil memandang itu semua dalam diam. Tangannya terkepal erat, matanya menyorot sendu. Perasaan cemburu menggerogoti hatinya.
Sayang? Aku--kamu?? Terdengar begitu manis di telinga dan hati Arjuna. Lelaki itu bahkan menatap Aruna yang kali ini terlihat bersinar dan cantik sekali.
"Sama-sama," Jawabnya dengan tenang.
Raka datang menghampiri mereka. Mengajak untuk masuk ke dalam, mengabaikan Aruna.
"Ayo masuk, cuma anak ipa yang boleh masuk!" Sisil mengangguk, berjalan menarik Raka dan Arjuna. Lelaki itu spontan melepaskan dan menatapnya datar.
"Maaf Jun, nggak sengaja!" Katanya dengan panik.
Arjuna mengangguk singkat. Membiarkan keduanya berlalu, sementara dirinya masih bertahan di depan laboratorium. Di sudut hatinya, masih ingin melihat wajah Aruna.
"Nanti pulangnya bisa bareng?" Gadis itu menatap Arjuna dengan memelas dan wajah imutnya. Bibirnya yang plumpy, gadis itu gigit dengan menggoda. Lagi- lagi, Arjuna memalingkan wajahnya. Mengenyahkan pikiran kotor.
"Aruna, jangan gigit bibir di depan laki- laki!" Gadis itu tertawa pelan.
"Emangnya kenapa? Kamu tergoda?" Gadis itu celingak-celinguk kemudian berbisik mesra---ketika menyadari suasana sepi.
Arjuna menarik napasnya ketika merasakan hembusan nafas hangat Aruna di lehernya. Aroma manis dari tubuh Aruna begitu memabukkan, lelaki itu jadi ingin mendekapnya. Namun, semuanya dia tahan.
"Aruna, bicara yang sopan. Nggak baik bicara kaya gitu di depan laki-laki."
Rasanya, ketika bertemu Arjuna--- gadis itu akan mendengar omelan dan nasihat.
Arjuna lebih seperti ayah kepada anaknya, bukan seorang kekasih. Dirinya mendengus kesal.
"lya," Gadis itu menunduk menatap sepatunya dan memegang tali tasnya.
Layaknya anak kecil yang dimarahi oleh orangtuanya. Arjuna menarik pelan sudut bibirnya.
Aruna-nya tampak lucu dan menggemaskan.
"Beneran ya, nanti pulangnya lo jemput gue ke depan kelas!"
Alis Arjuna naik sebelah, menyadari Aruna yang merubah kembali panggilan keduanya. Lelaki itu menatap heran, sebenarnya dengan semuanya juga.
Aruna yang tiba-tiba menyatakan perasaan.
Aruna yang bersikap manis dan manja.
Aruna yang tiba-tiba berubah. Arjuna belum benar-benar mengenal gadis tersebut. Dia hanya suka melihat dan memperhatikan Aruna.
"Lo bingung ya Jun? Gue nanti bakal jelasin sesuatu sama lo, sebelumnya gue minta maaf!" Aruna tampak menghembuskan nafasnya pelan.
Arjuna menduga-duga.
"Mau putus?" Tebaknya langsung to the point. Namun, Aruna menggeleng.
"Jangan-jangan, lo yang mau putus ya? Nggak mau! Nanti ya sepulang sekolah kita ketemu, lo jemput gue! Kita jangan putus dulu!" Arjuna mengangguk singkat menyetujui.
Aruna melirik jendela dan tersenyum. Menyadari ada seseorang yang sedang mencoba mengintip. Gadis itu kembali celingak-celinguk menatap sekitar.
Cup!
Suara kecupan itu terdengar hingga membawa keterkejutan bagi Sisil dan Arjuna yang mematung. Pipinya baru saja dikecup manja oleh kekasihnya.
"Semangat belajarnya sayang, babay!"
Aruna pergi setelah membuat Arjuna terdiam bak patung. Lelaki itu masih menatap Aruna yang berjalan riang dengan tidak beraturan. Gadis itu pergi meninggalkan Arjuna yang jantungnya berdebar-debar kencang. Terlalu terkejut dengan tingkah kekasihnya. Arjuna memegang pipinya, mengusap pelan.
Sisil membeku. Air matanya jatuh menetes. Rasanya menyakitkan, melihat hal tersebut. Dia akan mengadu pada sang papa, yang selalu mengabulkan permintaannya.
***
"Gimana kalau kita nongkrong di cafe Jun? Kamu ikut sekalian, mau kan Sil?" Sisil bersemu dan mengangguk singkat. Mereka sedang membereskan buku, bersiap untuk pulang sekolah.
Arjuna menggeleng.
"Kalian berdua, aku ada janji sama Aruna." Raka berdecak malas.
"Gimana kalau Aruna kita ajak sekalian?" Usul Sisil secara tiba-tiba.
Raka tampak tidak suka dengan usulan tersebut. Arjuna pun melirik Raka, bukan hal yang baik menyatukan keduanya. Akan selalu ada pertengkaran. Arjuna pun heran dengan Raka yang tidak menyukai Aruna.
"Sorry, lain kali aku ikutnya."
Semua murid sudah bubar, Arjuna berjalan pelan dengan langkah tegapnya. Meninggalkan Sisil dan Raka yang menatapnya dengan sorot berbeda.
Belum sempat menghampiri Aruna, gadis itu sudah lebih dulu menerobos kerumunan orang-orang, berlari mendekatinya. Arjuna bergerak sigap menangkap tubuh kecil Aruna yang tersenggol dan hampir jatuh. Jantungnya berdebar kencang karena kaget sekaligus khawatir. Lelaki itu membantu Aruna berdiri tegak.
Arjuna mengusap wajahnya pelan.
"Lain kali nggak usah lari-lari, aku bisa nunggu." Pipi Aruna bersemu merah, entah tersipu atau karena panas matahari.
Keduanya berjalan menuju motor ninja merah milik Arjuna. Merasa tidak menemukan helm yang bisa dipakai oleh gadis itu, Arjuna memilih meninggalkan motornya. Lelaki itu menghubungi sang sopir untuk menjemputnya.
"Kenapa nggak jadi naik motor? Padahal seru tau bisa pelukan sambil ngerasain kena angin sepoi-sepoi.' "
"Helm-nya cuma satu," Aruna mengangguk pelan.
Aruna mengikuti langkah kaki Arjuna yang duduk di kursi tunggu dekat satpam, di bawah pohon rindang. Suasana sudah agak sepi, tersisa beberapa siswa saja. Apa ini waktu yang tepat untuk bicara ya?
"Juna, sebenarnya niat gue jadiin lo pacar buat---" Arjuna mengangguk seolah tahu, membuat Aruna diam.
"Manfaatin kan?" Kening Aruna mengkerut bingung. Darimana lelaki itu tahu? Lalu, kenapa Arjuna mau-mau saja menjadi kekasihnya.
"Tahu darimana?"
"Cuma menebak,"
Aruna meringis, hatinya tercubit merasa bersalah. Merasa mempermainkan perasaan Arjuna.
"Maaf Jun, gue nggak akan minta apapun sama lo. Kecuali, kita bakal kaya pacaran romantis yang beneran pacaran di depan orang-orang." Arjuna menatapnya penasaran.
Sebenarnya, alasan dibalik semua tingkah Aruna---Arjuna masih menduga-duga. Mungkin, saat ini gadis itu belum mau jujur.
Wajah Aruna kali ini tampak serius. Tubuhnya bergeser mendekat begitu menempel pada Arjuna. Lelaki itu sampai beringsut menjauh otomatis.
"Jangan jauh-jauh! Lo lagi gue training jadi pacar romantis Juna. Jadi, nanti kalau kita putus lo bisa perlakuin pacar baru lo dengan romantis."
Mereka baru jadian dan Aruna sudah memiliki rencana untuk putus? Arjuna tidak habis pikir dengan gadis tersebut. Padahal, tadi pagi gadis tersebut meminta jangan putus dulu.
"Tenang aja Jun, selain lo bakal jadi cowok romantis---keuntungan lainnya lo pacaran sama gue, biar nanti kalau kita pergi kemanapun, gue yang bakal bayarin. Alias gratis deh, kalau perlu--lo nanti gue bayar. Gimana, setuju kan?"
Dibayarin? Not my style. Bukan Arjuna sekali, lelaki itu lebih senang membayari.
Wajah Arjuna langsung masam dan menatap Aruna datar. Sementara Aruna kali ini menyodorkan tangannya, dengan pipi memerah dan wajah sumringah bahagia.
Aruna benar-benar tidak ada dalam list hidupnya, seharusnya sejak awal memang begitu. Namun, pesona gadis itu terlampau sulit dirinya tolak. Tapi, apa- apaan maksud gadis itu? Seolah-olah menjadikan dirinya lelaki bayaran? Arjuna kaget dan semakin dibuat penasaran dengan Aruna.