Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Setelah jam istirahat, kelas kembali dimulai.
Pak Guru masuk dengan setumpuk kertas di tangan.
“Anak-anak, minggu ini kita akan mulai tugas proyek kelompok. Bapak akan tentukan anggotanya secara acak, jadi tidak bisa pilih-pilih, ya.”
Seluruh kelas langsung riuh.
“Yah, random lagi…”
“Semoga satu kelompok sama yang rajin…”
Pak Guru mulai membacakan nama-nama.
“Kelompok satu: Reza, Bella, Maya…”
Anara menopang dagunya, mendengarkan sambil setengah malas.
“Lalu…kelompok terakhir.… Fino… dan… Anara.”
Beberapa anak langsung saling melirik.
“Hah? Fino sama Anara?”
“Wah, si centil dapet yang ganteng, tapi pembawa sial. Hahha..”
“Gila, bakal apes sih.!”
Anara langsung menegakkan badan. Dia mendengar itu. Sedangkan Fino tidak bereaksi sama sekali. Ia hanya duduk diam, menatap lurus ke papan tulis.
Setelah semua kelompok dibacakan, Pak Guru menuliskan detail tugas di papan.
“Proyek presentasi multimedia. Kalian akan bahas satu tokoh inspiratif dari bidang olahraga. Kumpulkan minggu depan.”
Anara melirik ke belakang lagi.
“Fino…”
Cowok itu akhirnya menoleh. Tatapannya tajam, dalam. Tapi hanya sekejap.
“Gue tunggu di perpustakaan. Jam empat.”
Ucapannya singkat, datar, nyaris tanpa intonasi.
Anara terdiam. “O—oke…”
Setelah itu, Fino berdiri dan melangkah keluar begitu saja.
Sore itu
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Anara langsung menuju perpustakaan sesuai janji.
Langit di luar sudah mulai oranye, dan suasana perpustakaan hampir kosong. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar pelan.
Dan entah kenapa... sekarang, saat hanya berdua begini, dadanya terasa sesak sendiri. Gugup. Padahal biasanya ia cerewet bukan main.
Untuk mengalihkan rasa canggungnya, mata Anara menelusuri rak buku di sekeliling.
Sampai akhirnya, satu buku menarik perhatiannya—berwarna coklat tua, berdebu, dengan judul Psikologi atlet tertera samar dirak buku.
"Menarik juga," gumamnya.
Tapi letaknya terlalu tinggi.
Anara melihat sekeliling, lalu menyeret kursi kecil tak jauh dari situ.
Pelan-pelan ia naik. Dan tangannya berhasil meraih buku itu, namun saat hendak turun—
Krek!
Kaki kursi bergeser.
“Aaakkh... aww!”
Anara menjerit saat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai.
“Apa lo selalu ceroboh begini?”
Tiba-tiba sudah berdiri di depan Anara dengan ekspresi datarnya.
Anara buru-buru mencoba bangkit. “Nggak... nggak apa-apa. Aku—”
Namun kakinya yang terkilir membuat tubuhnya limbung, dan nyaris jatuh untuk kedua kalinya.
Tanpa pikir panjang, Fino langsung menangkap lengannya. Anara tertolong, berkat Fino yang dengan cepat menangkap dirinya.
Fino menghela napas, menatapnya dengan mata sedikit sempit.
“Kalau nggak bisa ambil, ya tinggal bilang. Kenapa harus manjat?” ucapnya datar.
Anara menunduk. “Maaf… refleks aja. Aku kira bisa.”
Fino membantu Anara duduk kembali di bangku. Dia jongkok di hadapannya, lalu tanpa bicara, membuka tasnya dan mengeluarkan semprotan pereda nyeri.
“Kaki lo bengkak,” katanya, masih tidak menatap mata Anara secara langsung.
Anara memandangnya diam-diam, senyum kecil mengembang.
“Fino... kamu baik juga ya, ternyata.”
Fino berhenti sejenak, menatap Anara—kali ini benar-benar menatap.
“Jangan terlalu cepat menilai orang,” katanya pelan, sebelum kembali menunduk dan menyemprot pergelangan kaki Anara.
Dan entah sudah berapa lama mereka duduk di perpustakaan.
Lembar demi lembar catatan proyek sudah hampir rampung. Namun di luar, langit sudah berubah kelam. Bayangan senja berganti gelap malam.
Fino melirik ke jendela, lalu menutup bukunya.
“Kita lanjutin besok aja.”
Anara menoleh. “Kenapa nggak sekarang? Aku masih kuat kok. Lagian tinggal sedikit lagi.”
Fino berdiri, menyampirkan tas ke bahu.
“Lo nggak lihat, hari udah gelap. Lo juga harus pulang. Nanti orang tua lo nyariin.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi justru membuat Anara terdiam.
Sesaat... ia hanya menunduk. Lalu dengan suara pelan, hampir tak terdengar, ia berkata,
“Seandainya… Aku juga berharap begitu.”
Fino yang sudah hendak berjalan, berhenti di tempat. Ia menatap Anara. Tidak berkata apa-apa. Tapi matanya berubah. Seolah... ia mengerti, meski tidak tahu cerita di baliknya.
Hening mengisi ruang sejenak.
Lalu dengan nada datar tapi tulus, Fino berkata,
“Rumah lo di mana? Biar gue anterin.”
Anara langsung mengangkat kepala. “Beneran?”
Mata besarnya membulat, memantulkan lampu perpustakaan yang temaram.
Senyum manisnya muncul begitu alami, seperti sinar kecil di tengah suasana sepi.
Fino mengangguk singkat. “Ayo.”
Dalam perjalanan pulang .
Suasana kota sudah gelap. Lampu jalan menyala satu per satu, menerangi trotoar dan gedung-gedung kecil yang mulai tutup.
Mereka berjalan berdua, Fino mendorong sepeda pelan di samping Anara.
Tak banyak yang mereka bicarakan, tapi entah kenapa... hening di antara mereka terasa nyaman.
Sesekali, Anara melirik ke arah Fino. Cowok itu tetap tenang, menatap ke depan, seperti biasa.
“Makasih ya,” ucap Anara pelan.
“Buat apa?”
“Buat... segalanya hari ini. Buat nolongin aku jatuh, buat ngobrolin tugas, dan buat… mau nganterin aku pulang.”
Fino menoleh sebentar. “Gue nggak ngelakuin apa-apa.”
“Tapi tetap aja... itu bikin aku senang,” balas Anara sambil tersenyum kecil.
Fino tidak menjawab. Tapi sudut bibirnya… sedikit terangkat.