Setelah hubungannya tidak mendapat kejelasan dari sang kekasih. Kapten Prayoda, memutuskan untuk menyerah. Ia berlalu dengan kecewa. Empat tahun menunggu, hanyalah kekosongan yang ia dapatkan.
Lantas, ke dermaga mana akan ia labuhkan cinta yang selama ini sudah berusaha ia simpan dengan setia untuk sang kekasih yang lebih memilih karir.
Dalam pikiran yang kalut, Kapten Yoda tidak sengaja menciprat genangan air di bahu jalan pada seorang gadis yang sedang memarkirkan motornya di sana.
"Sialan," umpatnya. Ketika menoleh, gadis itu mendapati seorang pria dewasa tampan dan gagah bertubuh atletis memakai baret hijau, berdiri resah dan bersalah. Gadis itu melotot tidak senang.
Pertemuan tidak sengaja itu membuat hari-hari Kapten Prayoda tidak biasa, sebab bayang-bayang gadis itu selalu muncul di kepalanya.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Ikuti juga ya FB Lina Zascia Amandia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deyulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Keputusan Yoda
Sore itu, kafe Bunga Krisan tampak ramai. Cahaya lampu gantung bergaya klasik menambah suasana hangat. Aroma kopi bercampur harum kue-kue manis menyeruak memenuhi ruangan. Dari balik kaca besar, terlihat lalu-lalang kendaraan di jalan raya yang mulai padat.
Yoda sudah duduk di salah satu sudut kafe, mengenakan kaos polos sederhana berwarna gelap dipadu jaket bomber hitam. Topinya ia letakkan di meja, sementara pandangannya sesekali mengarah ke pintu masuk.
Tangannya meremas gelas kopi hitam yang masih mengepul. Ia sudah datang lebih awal, lima belas menit sebelum waktu yang ia tentukan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, bukan karena rindu, melainkan karena ia ingin mengakhiri semuanya malam ini, dengan tegas, tanpa lagi ada ruang abu-abu.
Tak lama, pintu kafe terbuka. Seorang perempuan melangkah masuk. Dokter Serelia. Rambut panjangnya terurai rapi, lipstik merah muda membuat wajahnya semakin segar. Ia melangkah anggun menuju meja Yoda, dengan senyum penuh harap.
"Maaf telat, Kak. Jalanan agak macet,” ucapnya sambil duduk tanpa menunggu persilakan.
Yoda menatapnya datar. “Tidak apa-apa. Aku juga baru saja sampai.”
Pelayan datang, Serelia memesan minuman favoritnya, latte hangat. Suasana sempat hening sejenak, hanya terdengar dentingan sendok dan obrolan pengunjung lain.
"Aku senang Kak Yoda akhirnya mau ngajak aku ketemu. Jujur, aku pikir hubungan kita masih bisa diperbaiki,” ujar Serelia dengan suara lembut, matanya berbinar penuh harapan.
Yoda menarik napas panjang. Ia menatap Serelia lurus, sorot matanya tegas. “Sel, justru ini alasan aku mengajakmu ke sini. Aku ingin semuanya jelas, tidak ada lagi salah paham. Hubungan kita sudah selesai. Aku tidak ingin melanjutkan lagi.”
Ucapan itu membuat wajah Serelia kaku. Senyumnya perlahan memudar. Ia menatap Yoda tidak percaya. “Kak … apa maksudmu? Kita bisa mulai dari awal lagi. Aku sudah selesai dengan studiku, sekarang aku siap. Hanya menunggu satu tahun lagi. Kenapa Kak Yoda tidak mau memberiku kesempatan sekali lagi?”
"Serelia,” suara Yoda tenang tapi dingin, " Selama empat tahun aku menunggu. Aku sabar, aku percaya, aku berikan semua kesempatan itu padamu. Tapi, setiap kali janji itu tiba, kamu selalu menunda. Dan kemarin, aku dengar sendiri dari Amira bahwa kamu menemuinya diam-diam, mengaku masih jadi kekasihku. Itu yang membuatku marah.”
Serelia tertegun, wajahnya bersemu merah, lalu ia buru-buru menunduk. “Aku … aku hanya takut kehilanganmu. Makanya aku menemui Amira. Aku ingin dia mundur. Aku tidak sanggup melihatmu bersama orang lain.”
"Dan justru di situlah kamu salah,” tegas Yoda. “Kamu tidak punya hak lagi untuk mencampuri hidupku. Aku sudah akhiri semua ini. Aku tidak mau Amira terluka hanya karena masa laluku yang tidak selesai. Kamu harus berhenti." Suara Yoda tegas.
Serelia menggigit bibirnya, air mata mulai menetes. “Jadi, ini benar-benar berakhir?”
“Ya,” jawab Yoda mantap. “Aku tidak akan kembali lagi. Aku minta kamu hormati keputusanku.”
Hening sejenak. Hanya suara musik instrumental dari pengeras kafe yang terdengar. Serelia menunduk, menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menahan tangis.
“Aku kira, aku masih punya waktu memperbaiki semuanya. Tapi ternyata sudah terlambat." Suaranya parau, nyaris berbisik.
Yoda menatapnya dengan sedikit iba, namun hatinya tetap teguh. “Kamu perempuan baik, Serelia. Tapi kita memang tidak ditakdirkan bersama. Aku harap kamu bisa menemukan seseorang yang benar-benar pantas mendampingi hidupmu.”
Serelia menghela napas panjang, lalu mengusap air matanya dengan tisu. “Baiklah, Kak. Kalau itu keputusanmu, aku tidak bisa memaksa lagi. Tapi satu hal, aku tetap mencintaimu, dan aku tidak tahu kapan bisa melupakannya.”
Yoda tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tenang. Ia tahu, luka itu harus ditanggung Serelia sendiri.
Tak lama, Serelia berdiri. “Terima kasih sudah jujur sore ini. Aku permisi.” Ia berjalan menjauh, meninggalkan Yoda sendirian di meja itu.
Yoda menatap kepergiannya, dadanya terasa sedikit lega meski hatinya juga berat. Setidaknya, malam ini ia sudah menutup lembaran lama dengan tegas.
Usai pertemuan itu, Yoda tidak langsung pulang. Ia memilih duduk lebih lama di kafe, menatap ke luar jendela. Hujan gerimis mulai turun, menambah dingin sore. Ia meraih ponselnya, membuka pesan terakhir bersama Amira.
Hatinya kembali teringat pada Amira, sosok yang kini benar-benar ia perjuangkan. Ia sadar, jalan ke hati Amira tidak mudah. Ada Iqbal yang juga serius, ada keraguan Amira yang masih membelenggu. Tapi Yoda bertekad, ia tidak akan menyerah.
Sambil menatap gerimis di luar, ia berbisik dalam hati, “Aku sudah selesai dengan masa lalu. Kini hanya ada satu tujuan, yaitu Amira.”
Keesokan harinya, Yoda datang ke kantor dengan semangat baru. Wajahnya lebih tegas, langkahnya mantap. Beberapa prajurit yang berpapasan sempat menyapanya, dan ia membalas dengan ramah.
Namun, diam-diam kabar tentang pertemuan Yoda dan Serelia di kafe sudah beredar di antara rekan kerja. Ada yang berbisik-bisik, ada pula yang terang-terangan bertanya.
“Kapten, katanya kemarin sore ketemu sama Bu Dokter, ya?” tanya salah satu prajurit muda dengan nada menggoda.
Yoda hanya tersenyum tipis. “Itu urusan pribadi. Jangan dibicarakan di kantor.” Jawabannya singkat namun tegas, membuat prajurit itu langsung terdiam.
Di ruangannya, Yoda kembali fokus pada berkas-berkas yang menumpuk. Namun, pikirannya sesekali melayang ke Amira. Ia ingin segera membuktikan pada Amira bahwa dirinya berbeda dengan Iqbal. Ia ingin Amira tahu, bahwa ia bisa memberi ketenangan yang selama ini ia butuhkan.
Saat istirahat siang, Yoda kembali membuka ponselnya. Ia mengetik pesan singkat:
"Amira, aku ingin bertemu lagi. Aku janji, kali ini bukan untuk menekanmu, tapi untuk menjelaskan semuanya. Tolong beri aku kesempatan."
Ia menatap pesan itu lama, lalu mengirimkannya dengan harapan Amira mau membalas.
Sementara itu, di tempat lain, Amira sedang duduk di kantin kampus bersama salah satu teman dekatnya. Ia membaca pesan dari Yoda yang baru saja masuk. Hatinya berdebar, wajahnya sedikit berubah.
Temannya memperhatikan. “Kenapa, Mir? Pesan dari siapa?"
Amira tersentak, ia buru-buru menyembunyikan ponselnya. "Dari seseorang." Amira menjawab tanpa berterus terang.
Temannya tersenyum nakal. “Kapten ganteng itu lagi ya? Kamu masih bingung juga milih antara dia dan Mas Iqbal?” tebaknya seperti sudah tahu apa yang Amira rasakan saat ini.
Amira terdiam, menatap layar ponselnya. Ia ingat kembali kata-kata Lahat dan Aika semalam. ‘Jangan memilih karena tekanan, pilihlah karena cinta yang membuatmu tenang dan nyaman.’
Dan kini, Amira sadar, mungkin waktunya ia benar-benar menguji siapa yang lebih serius.
Ia mengetik balasan singkat:
"Baiklah, Kak. Kita bertemu. Tapi kali ini, aku yang menentukan tempatnya."
Pesan itu terkirim. Yoda yang sedang duduk di ruangannya tersenyum lega saat membacanya.
Dalam hati ia berkata, “Terima kasih, Amira. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Malam itu, Yoda berdiri di depan cermin kamarnya. Ia menatap bayangannya sendiri, mencoba meyakinkan diri. Semua keraguan tentang Serelia sudah ia tinggalkan. Kini saatnya benar-benar melangkah ke depan.
Ia merapikan seragam dinasnya yang tergantung, lalu tersenyum tipis. “Besok, aku harus lebih berani. Amira berhak tahu siapa yang benar-benar mencintainya.”
Dan di luar sana, Amira sudah mulai menyiapkan ujiannya sendiri, sebuah cara untuk melihat siapa yang paling tulus, Yoda atau Iqbal.
Pertarungan hati baru saja dimulai.
sabar bang Yoda..cinta emang perlu perjuangan.
hmm..Amira ujianmu marai koe kwareken mangan.aku seng Moco Karo mbayangke melok warek pisan mir.🤭
kk othor akuh kasih kopi biar melek bab selanjutnya 😁.
iqbal gk cocok
rnak yg lebih tua iya kan ehhh mapan buka n tua ding🤣😁😁☺️