menikah dengan laki-laki yang masih mengutamakan keluarganya dibandingkan istri membuat Karina menjadi menantu yang sering tertindas.
Namun Karina tak mau hanya diam saja ketika dirinya ditindas oleh keluarga dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menantu vs mertua
Pagi hari seperti biasa, Karina melakukan rutinitasnya sehari-hari, yaitu memasak dan membersihkan rumah. Sebelum memulai memasak, Karina terlebih dahulu membeli sayuran di tukang sayur yang biasa mangkal di depan gang setiap pagi.
"Selamat pagi, Pak. Saya ingin membeli ayam satu kilogram, boleh?" pinta Karina dengan sopan.
"Iya, Neng. Sebentar, saya ambilkan," jawab tukang sayur dengan ramah, sebelum berjalan ke arah bakulannya untuk mengambil ayam yang diminta Karina.
Salah seorang ibu-ibu yang juga sedang membeli sayur di depan gang tersebut menatap Karina dengan rasa penasaran. "Loh, Mbak Karin, kok tumben beli ayam? Biasanya juga kangkung, kalau enggak ya bayam sama tempe," ucapnya dengan nada yang santai.
Karina tersenyum lebar, sehingga memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi dan terawat. "Iya, nih Bu, bosen tau nggak sih makan kangkung dan tempe terus, udah kaya embek saja," ucap Karina dengan nada yang santai dan sedikit bergurau. "Sesekali kan pengen juga gitu makan ayam," tambahnya dengan senyum yang masih terukir di wajahnya.
Ibu-ibu tersebut mengangguk dan menyetujui pilihan Karina. "Iya, bagus itu, Mbak Karin, biar ada vitaminnya," ucapnya dengan nada yang mendukung.
Karina hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian kembali memilih-milih sayur yang akan dibelinya untuk hari ini. Ia dengan teliti memeriksa kualitas sayuran dan memilih yang terbaik. Setelah menimbang-nimbang, Karina memutuskan untuk membeli ayam sekitar satu kilogram, sawi, bakso, wortel, tak lupa tempe dan juga bumbu dapur yang dibutuhkan. Ia dengan teliti memeriksa jumlah dan kualitas barang belanjaannya sebelum membayarnya.
Karina telah merencanakan menu masakan untuk hari ini, yaitu ayam goreng lengkuas, sayur orak-arik sawi campur bakso dan wortel, serta tempe goreng sebagai pelengkap.
Setelah selesai memilih barang belanjaannya, Karina mengatakan kepada tukang sayur, "Sudah, Mang."
Tukang sayur kemudian menghitung total biaya barang belanjaan Karina. "Total semuanya jadi 53 ribu, Neng," ucapnya.
Karina menyerahkan uang pecahan lima puluh ribuan dan juga sepuluh ribuan kepada tukang sayur. "Masih ada 7 ribu ya, Mang. Kasih dadar gulung saja, Mang," ucap Karina dengan ramah.
Tukang sayur tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Siap, Neng, uangnya pas ya. Ini belanjaannya, terima kasih banyak," ucapnya sambil menyerahkan barang belanjaan Karina.
Karina mengucapkan terima kasih kepada tukang sayur dan berpamitan dengan ibu-ibu lainnya. "Sama-sama, Mang. Ibu-ibu, kalau begitu saya permisi duluan ya," ucapnya dengan sopan.
Ibu-ibu lainnya mengucapkan selamat jalan kepada Karina. "Iya, Mbak Karin," ucap salah satu ibu-ibu tersebut.
Sesampainya di dapur, Karina langsung mengeluarkan semua belanjaan yang dibelinya tadi. Ia meletakkan barang-barang belanjaan di atas meja dapur, siap untuk diolah menjadi masakan yang lezat. Dengan semangat, Karina memulai proses memasak, memotong sayuran, membersihkan ayam, dan mempersiapkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan.
Karina memulai proses memasak dengan membersihkan ayam yang telah dibelinya. Setelah ayam bersih, ia kemudian merebusnya bersama dengan bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan dan juga lengkuas parut. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga Karina harus menunggu sampai ayam meresap dengan bumbu-bumbu tersebut.
Sambil menunggu, Karina memotong sayuran untuk membuat orak-arik. Ia ingin membuat masakan yang lezat dan enak untuk hari ini. Dengan demikian, ia merasa bersyukur karena suaminya, Rudi, memberikan uang 50 ribu untuk belanja sayur pagi ini. Meskipun uang tersebut masih kurang, Karina tidak keberatan karena setidaknya ia masih mendapatkan uang untuk membeli bahan makanan.
Sambil memasak, Karina juga menikmati dadar gulung yang telah dibelinya tadi. Ia merasa bahwa dadar gulung tersebut dapat mengganjal perutnya sementara waktu. Dengan demikian, Karina dapat melanjutkan proses memasak dengan lebih tenang dan tidak merasa lapar.
Dengan kecepatan dan keterampilan yang dimilikinya, Karina berhasil menyelesaikan semua menu masakan yang telah direncanakannya. Semua hidangan pun telah tertata rapi di meja makan, menunggu untuk disantap oleh keluarga. Waktu telah menunjukkan pukul 06.10 pagi, dan Karina merasa puas dengan hasil masakannya.
Setelah selesai masak, Karina masuk ke dalam kamarnya untuk membangunkan suaminya, Rudi. Ia menggoyangkan tubuh Rudi yang masih terlelap di atas kasur. "Mas, bangun! Buruan mandi, udah jam 6 pagi ini," ucap Karina dengan nada yang lembut namun tegas, berusaha untuk membangunkan Rudi dari tidurnya.
Rudi hanya merenggangkan kedua tangannya, lalu kembali tidur dengan lelap. Melihat suaminya yang kembali tertidur, Karina pun berinisiatif untuk membangunkannya dengan cara yang lebih ekstrem. Ia mengambil air dari bak mandi dan menyiprat-nyipratkan air tersebut tepat di wajah Rudi.
Sontak, Rudi langsung beranjak dari kasur dan bangun dari tidurnya, terkejut dengan air yang tiba-tiba menyiprat di wajahnya. "Karina, kamu itu apa-apaan sih?" ucap Rudi dengan nada yang terkejut dan sedikit kesal, sambil mengusap wajahnya yang basah dengan air.
Karina menjawab dengan santainya, "Habisnya kamu dibangunin nggak bangun-bangun, Mas. Yasudah, aku inisiatif bangunin pakai air saja biar bangun. Dan terbukti, kamu langsung mau bangun, kan?"
Rudi memprotes dengan nada yang sedikit kesal, "Ya, nggak pakai air juga, Karin."
Karina balik bertanya dengan nada yang penasaran, "Terus, pakai apa dong, Mas?"
Namun, Rudi lebih memilih untuk tidak menjawab pertanyaan istrinya. Ia tahu bahwa jika ia terus-menerus ditanggapi, percakapan mereka akan semakin panjang dan berpotensi menjadi konflik. Oleh karena itu, Rudi memilih untuk mandi saja, meninggalkan Karina yang masih menunggu jawabannya.
****
Kini semua orang telah berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi. Di atas meja makan, telah tersaji menu masakan yang lezat dan menggugah selera, hasil masakan Karina tadi pagi. Semua menu terlihat nikmat dan menarik, membuat semua orang tidak sabar untuk mencicipinya.
Rani, yang melihat menu tersebut, tidak bisa menahan kekagumannya. "Wuah, hari ini makan enak nih," ucapnya dengan nada yang gembira dan penasaran, sambil menatap menu-menu yang ada di atas meja makan.
Rina mengangguk membenarkan ucapan kembarannya, sambil tersenyum lebar. "Iya, tumben Mbak Karina masak enak. Kalau bisa setiap hari Mbak masaknya seperti ini terus. Biar kita semua napsu makan," ucapnya dengan nada yang gembira dan penasaran.
Karina tersenyum dan menjawab dengan nada yang santai. "Iya, dong, hari ini Mbak masak enak. Bosen juga makan kangkung terus. Kebetulan tadi pagi Mas mu ngasih duit Mbak 50 ribu, yasudah Mbak beliin ayam sama yang lainnya ini." Karina kemudian melirik suaminya dengan nada yang sedikit menggoda. "Tenang, Mbak akan masak enak setiap hari kalau Mas mu mau ngasih duit banyak buat beli sayur."
Mendengar ucapan menantunya, Bu Marni melotot tajam ke arah Karina dengan ekspresi yang terkejut dan tidak percaya. "Apa kamu bilang? Rudi tadi pagi ngasih uang 50 ribu sama kamu? Memangnya uang 1 juta yang diberikan Rudi kemana?" tanyanya dengan nada yang tinggi dan penasaran.
Karina menjawab dengan santainya, tanpa menunjukkan tanda-tanda kesal atau tidak nyaman. "Habis lah, Bu," ucapnya dengan nada yang datar.
Bu Marni menatap Karina dengan mata yang berapi-api, tuduhan yang tajam terdengar dalam ucapannya. "Habis kamu bilang? Buat apa saja, kamu tilep ya uang anakku?" tanyanya dengan nada yang tinggi dan penuh kemarahan.
Karina menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri dan menjelaskan situasi yang sebenarnya. "Ibu pikir kalau beras habis, gas, bumbu dapur, belum lagi sabun dan kebutuhan lainnya... kalau habis, belinya pakai duit apa?" ucapnya dengan nada yang sabar dan menjelaskan. "Ya, pakai duit satu juta itu," tambahnya, mencoba untuk membuat Bu Marni memahami situasi yang sebenarnya.
Bu Marni menatap Rudi dengan mata yang tajam, mencoba untuk memprovokasi anaknya dengan kata-kata yang pedas. "Rudi, sepertinya istrimu itu nggak pinter ngatur duit. Buktinya, baru pertengahan bulan saja sudah habis tak tersisa," ucapnya dengan nada yang keras dan menghakimi.
Bu Marni kemudian melanjutkan dengan nada yang lebih tegas. "Besok, nggak usah dikasih uang lagi! Pasti yang satu juta masih dan diumpetin sama istrimu itu."
Karina menjawab dengan nada yang santai dan tidak terganggu oleh komentar Bu Marni. "Yasudah, nggak apa-apa kalau Mas Rudi nggak ngasih uang. Palingan juga nggak ada yang dimasak dan berakhir kita semua tidak makan," ucapnya dengan senyum yang lebar.
Di sisi lain, Rudi merasa pusing menyaksikan keributan yang hampir terjadi setiap waktu. Ia merasa lelah dengan konflik yang terus-menerus terjadi antara istri dan ibunya. Setiap kali mereka bersatu, sudah pasti akan ada keributan. Rudi berusaha untuk menghentikan keributan tersebut dengan mengusulkan untuk sarapan bersama. "Sudah-sudah, lebih baik sekarang kita sarapan. Takutnya aku, Rina, dan Rani akan terlambat," ucapnya dengan nada yang sabar dan berusaha untuk mengalihkan perhatian dari keributan tersebut.
Setelah keributan yang sempat terjadi, semua orang akhirnya berhenti berbicara dan memilih untuk sarapan bersama. Suasana makan pagi yang tadinya tegang, kini berubah menjadi lebih santai dan harmonis.
Setelah selesai sarapan, semua orang kini melakukan aktivitas masing-masing. Rudi berangkat ke kantor dengan langkah yang cepat dan percaya diri, siap untuk menghadapi hari yang baru. Rina dan Rani berangkat sekolah dengan tas yang penuh dan wajah yang ceria, siap untuk belajar dan menimba ilmu. Bu Marni sibuk menjaga warung, memastikan bahwa semua barang dagangan tersedia dan siap untuk dijual.
Sementara itu, Karina sibuk membereskan pekerjaan rumah. Ia menyapu lantai dengan sapu yang kuat, membersihkan debu dan kotoran yang menempel. Kemudian, ia mengepel lantai dengan air yang jernih, membuat lantai menjadi bersih dan mengkilap. Selain itu, Karina juga mencuci piring yang kotor, membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel. Ia juga mencuci baju yang kotor, membuatnya menjadi bersih dan wangi. Dengan demikian, Karina berhasil membereskan pekerjaan rumah dengan baik dan efisien.
Karina menghela napas berat, merasa lelah dan putus asa dengan kehidupannya saat ini. "Ck... Ya ampun, begini banget nasibku. Dari wanita karir menjadi pembantu gratisan," gumamnya dengan nada yang sedih dan merasa menyesal.
Di otaknya, ada sedikit terbesit rasa penyesalan, tidak mendengarkan ucapan orangtuanya dulu. Ia merasa bahwa jika saja ia mendengarkan orangtuanya, hidupnya tidak akan sesulit seperti sekarang ini. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, dan pilihan yang telah ia buat harus dijalani dengan ikhlas dan sabar.
Karina memandang ke depan, mencoba untuk melupakan rasa penyesalan dan memfokuskan diri pada kehidupan yang harus dijalani. Ia berjanji pada diri sendiri untuk tetap bertahan hidup bersama dengan Rudi, selama suaminya tidak berselingkuh dan tetap mencintainya. Dengan demikian, Karina mencoba untuk menemukan kekuatan dan motivasi untuk menjalani kehidupan yang penuh tantangan ini.
Di warung yang sederhana namun ramai, Bu Marni sibuk melayani pembeli dengan senyum yang ramah dan pelayanan yang cepat. Meskipun warungnya tidak besar, namun warung Bu Marni telah menjadi tujuan favorit bagi warga sekitar untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
"Total semuanya jadi 23 ribu, Bu," ucap Bu Marni kepada pembeli yang sedang membayar.
Pembeli tersebut kemudian menyerahkan uangnya dan berkata, "Ini uangnya, kembaliannya dikasih penyedap masakan saja, Bu Marni."
Bu Marni tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Uangnya jadi pas ya, Bu. Ini penyedapnya," ucapnya sambil menyerahkan barang belanjaan kepada pembeli. Dengan demikian, transaksi pun selesai dan pembeli tersebut dapat membawa pulang barang belanjaannya.
Di tengah-tengah melayani para pembeli, Bu Marni tiba-tiba merasakan perutnya terasa mules. Sepertinya panggilan alam tidak bisa ditunda lagi. Bu Marni kemudian berteriak memanggil Karina, "Karina, sini sebentar kamu!"
Karina, yang sedang menjemur pakaian di halaman, menoleh ke arah warung dengan langkah yang malas. Ia berjalan menuju warung, sambil bertanya dengan nada yang sedikit tidak sabar, "Ada apa sih, Bu? Memangnya tidak lihat aku sedang jemur pakaian?" Karina tidak menyadari bahwa ibu mertuanya sedang mengalami keadaan darurat dan membutuhkan bantuanannya.
Bu Marni meminta tolong kepada Karina dengan nada yang sedikit terburu-buru. "Minta tolong, jagain warung sebentar. Ibu mau ke kamar mandi sebentar. Ingat, jangan pernah ambil uang warung!" ucapnya, kemudian langsung berlari pergi tanpa menunggu jawaban Karina.
Karina menghela napas dan menggerutu dalam hati. "Huh, dasar emak-emak nyebelin," ucapnya dengan nada yang pelan dan tidak sabar. Ia merasa bahwa Bu Marni terlalu seenaknya sendiri, meminta tolong tapi juga mengancam. Untung saja, Karina memiliki kesabaran yang luas dan tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk. Dengan demikian, ia memutuskan untuk menjaga warung dengan sabar dan tidak mengeluh.
Seorang pelanggan, Bu Ratih, mendekati warung dan terkejut melihat Karina yang sedang menjaga warung. "Loh, kok Mbak Karin yang jaga warung? Bu Marni nya kemana?" tanyanya dengan nada yang penasaran.
Karina tersenyum dan menjawab, "Eh, Bu Ratih, Ibu sedang ke kamar mandi. Belanjanya sudah?" Ia kemudian mempersilakan Bu Ratih untuk membayar belanjannya.
Bu Ratih menganggukkan kepalanya dan berkata, "Sudah, Mbak, tolong dihitung kan ya."
Karina kemudian menghitung total belanja Bu Ratih dan berkata, "Total semua jadi 46 ribu, Bu Ratih."
Bu Ratih menyodorkan uang 50 ribu kepada Karina dan berkata, "Ini uangnya, Mbak."
Karina kemudian mengambil uang tersebut dan mengembalikan kembaliannya. "Ini kembaliannya 4 ribu, ya Bu. Terima kasih banyak," ucapnya dengan senyum yang ramah.
Bu Ratih tersenyum dan berkata, "Sama-sama, Mbak Karin. Eh, iya, Mbak, aku baru ingat. Kemarin sore ada bapak-bapak datang ke rumah saya, dan bapak-bapak itu menanyakan tentang Mbak Karin sama saya loh."
Karina mengernyitkan keningnya, merasa penasaran tentang siapa bapak-bapak tersebut. "Bapak-bapak?" tanyanya penasaran.
Bu Ratih menganggukkan kepalanya, "Iya, mungkin umurnya seumuran dengan Bu Marni, mertuanya Mbak Karin. Bapak-bapak itu tampaknya sedang mencari informasi tentang Mbak Karin," ucapnya dengan nada yang sedikit misterius.
Karina semakin penasaran tentang identitas bapak-bapak yang dimaksud Bu Ratih. Ia menebak-nebak dan bertanya, "Kira-kira ciri-cirinya seperti apa, Bu Ratih? Dan bertanya apa beliau?"
Bu Ratih tampak mengingat-ingat kembali, mencoba untuk menggambarkan ciri-ciri bapak-bapak tersebut. "Orang itu pakai peci, punya kumis, kulitnya sawo matang," ucapnya dengan nada yang berusaha untuk mengingat detail.
Bu Ratih kemudian melanjutkan, "Orang itu bertanya kepada saya tentang kehidupan Mbak Karina disini, perlakuan keluarga suaminya bagaimana, dan bertanya tentang keadaan Mbak Karina. Saya tanya beliau siapa Mbak Karina, katanya keluarga jauh dari Mbak Karina."
Bu Ratih menghela napas dan melanjutkan, "Saya suruh mampir kesini, katanya sedang buru-buru. Saya tidak bisa bertanya lebih lanjut karena beliau sudah pergi."
Karina memikirkan satu nama yang muncul di pikirannya setelah mendengar ciri-ciri yang disebutkan oleh Bu Ratih. Ia merasa yakin bahwa bapak-bapak tersebut adalah ayahnya sendiri yang tinggal di kampung.
Bu Ratih tampak khawatir dan meminta maaf kepada Karina. "Mbak, Mbak Karina tidak kenapa-kenapa kan? Maaf ya Mbak kalau saya lancang mengatakan keadaan Mbak Karina yang sebenarnya kepada bapak-bapak itu."
Karina tersenyum getir, menunjukkan bahwa ia tidak terlalu terganggu oleh kejadian tersebut. "Tidak apa-apa kok Bu Ratih. Terima kasih banyak sudah memberi tahu semuanya sama saya," ucapnya dengan nada yang sopan dan menghargai.
Bu Ratih tersenyum dan berucap, "Sama-sama, Mbak Karin, kalau begitu saya permisi dulu ya, Mbak." Karina menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan, dan Bu Ratih pun berpamitan dan berjalan pergi.
Tak berselang lama, Bu Marni sudah kembali ke warung, wajahnya tampak lega setelah selesai melakukan keperluannya. "Sudah, kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu," ucapnya kepada Karina, yang sedang berdiri di dekat warung.
Namun, Karina tidak menjawab ucapan mertuanya. Ia berpaling dan berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meninggalkan Bu Marni yang tampak sedikit terkejut dengan reaksi Karina.
Bu Marni menggelengkan kepala dan bergumam dalam hati, "Kesambet apa tuh bocah, tumben diem saja mulutnya. Biasanya ngoceh mulu." Ia terkejut dengan reaksi Karina yang tiba-tiba menjadi diam dan tidak menjawab ucapan mertuanya, karena biasanya Karina selalu menjawab dengan cepat dan tidak pernah ragu untuk berbicara.
Bersambung..
lanjut Thor, penasaran!
wong data semua dari kamu