Rara Artanegara yang dahulu dikenal cukup cantik namun sejak mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai seorang sekretaris PT. GINCU karena permintaan suaminya, Pramana Handoko, bentuk tubuhnya berubah menjadi tak terawat dan cukup berisi. Padahal sebelum menikah ia begitu langsing bak gitar Spanyol.
Pernikahan yang sudah dijalani selama lima tahun, awalnya begitu bahagia namun berakhir dengan luka dan nestapa pada Rara. Sang ibu mertua yang selalu menuntut cucu padanya. Sering berlaku tak adil dan kejam. Begitu juga adik iparnya.
Bak jatuh tertimpa tangga. Dikhianati saat hamil dan kehilangan bayinya. Terusir dari rumah hingga menjadi gelandangan dan dicerai secara tidak terhormat.
"Aku bersumpah akan membuat kalian semua menyesal telah mengenalku dan kalian akan menangis darah nantinya. Hingga bersujud di kakiku!" ucap Rara penuh kebencian.
Pembalasan seperti apa yang akan Rara lakukan? Simak kisahnya💋
DILARANG PLAGIAT🔥
Update Chapter : Setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Pasca Terapi Hormon
Satu bulan pasca terapi hormon, tubuh Rara tampak berubah drastis. Berat badannya yang awalnya hanya 45 kg, kini berubah menjadi 60 kg. Naik 15 kg.
Nafsu makan Rara semakin meningkat tajam. Biasanya dirinya rajin olah raga. Namun, akhir-akhir ini ia didera rasa malas. Sepulang kerja hanya makan lalu rebahan untuk tidur.
Bahkan wajahnya semakin terlihat kusut dan jarang terawat sehingga timbul jerawatan dan flek hitam di mana-mana.
Pram sempat aneh melihat kondisi Rara yang berubah drastis tersebut. Bahkan Rara sering marah tak jelas padanya, mudah emosian. Terlebih jika Pram memarahinya karena malas mengurus suami dan lain-lain.
Pram suka dengan Rara yang cantik, langsing dan terawat. Sehingga enak dan nyaman untuk dijamahnya. Kini melihat perubahan fisik maupun sikap Rara membuat Pram ogah-ogahan menyentuh sang istri. Seakan naafsuu nya mendadak hilang ditelan bumi.
Rara beranggapan dirinya berubah karena tengah hamil. Walaupun mereka belum memeriksanya, baik melalui test pack maupun datang ke dokter kandungan. Datang bulan Rara juga belum datang untuk periode ini.
Namun yang tampak di mata Pram, Rara bukan hamil melainkan seperti salah minum obat.
Pram sudah mengetahui tentang terapi hormon yang dilakukan Rara bersama Anita. Sepulang dinas tempo lalu, Pram sempat memarahi Rara. Namun akhirnya lelaki itu luluh juga kala Rara memberikan persembahan malam cinta selepas Pram letih dan penat dari dinas luar kota.
Walaupun saat itu harus ditempuh dengan cara lain karena Rara masih datang bulan. Namun Pram tetap lega karena terpuaskan haasratnya. Rara memang selalu pandai membuat dia terbuai. Namun saat ini hal itu sudah tak berlaku lagi.
"Astaga Rara! Kamu kesetanan makan segini banyak!" bentak Pram.
Seketika Rara yang akhir-akhir ini cukup sensitif, tak ayal matanya sudah berkaca-kaca dan mengehentikan makannya. Air matanya menggenang di pelupuk.
"Mas Pram tega. Kenapa bentak aku? Huhu..."
Akhirnya tangis Rara pun terjadi. Pipinya yang mulus langsung banjir air mata. Otomatis wajahnya menjadi sembab dan hidungnya kemerahan.
Pram menghela nafas berat. Melihat meja makan yang sudah kosong melompong tak bersisa untuknya. Padahal perutnya tengah lapar ingin segera makan malam.
Lantas melihat sang istri yang hanya memakai daster rumahan dengan bentuk tubuh yang berubah. Banyak lemak di mana-mana. Bahkan rambut Rara biasanya dibiarkan tergerai cantik, kini dicepol mirip emak-emak kampungan. Tentunya terlihat tak menggairahkan baginya.
Hal itu memicu Pram naik pitam sehingga memarahi sang istri.
"Maafkan Mas, Ra. Mas khilaf sayang," cicit Pram mencoba berdamai.
"Aku lagi hamil, Mas. Jadinya nafsu makanku bertambah. Bukankah Mas dan keluarga Mas sudah pengin agar aku cepat hamil dan memberikan keturunan untuk kalian," ucap Rara masih dalam mode sensitif.
"Apa kamu sudah periksa, Ra?" tanya Pram hati-hati.
"Belum. Tapi aku yakin hamil soalnya datang bulanku sudah terlambat, Mas. Harusnya satu minggu yang lalu. Sampai sekarang belum juga datang, artinya aku lagi hamil Mas."
"Fiuh..."
"Coba Mas belikan test pack dulu di apotik depan komplek. Kamu tunggu di rumah dulu," cicit Pram.
"Aku ikut Mas. Aku enggak mau nanti Mas dilirik mbak kasirnya. Dia orangnya genit," ketus Rara bergegas pergi ke kamar untuk ganti baju.
Brakk...
"Ya ampun Tuhan," batin Pram menggerutu sebal kala melihat Rara masuk kamar mereka dengan membanting pintu.
☘️☘️
Selepas membeli beberapa merek test pack dan hasilnya semuanya negatif. Rara semakin frustasi dan menangis. Dadanya semakin sesak. Terasa sulit bernafas.
Bukan karena hasilnya negatif, tetapi kalimat Pram yang membentaknya beberapa menit yang lalu hingga membuat dia sedih menyayat hati.
"Lihat ini! Negatif kan. Sudah aku bilang, kamu itu enggak hamil. Bahkan mungkin enggak akan bisa hamil. Arggh...sial!"
"Lihat sekarang wajah dan tubuh kamu. Becermin, Ra! Lihat!" bentak Pram seraya menyeret Rara ke depan cermin besar full body yang ada di kamar mereka.
Setelah itu Pram menghempas Rara di atas ranjang dengan cukup kasar.
"Aku muak dengan semua ini, Ra. Kamu semakin susah diatur saja!"
Brakk...
Pram pun pergi meninggalkan rumah mendiang orang tua Rara. Dan Rara pun hanya bisa menangis tersedu-sedu di atas ranjang mereka.
Di rumah itu tak ada pembantu tetap. Rara hanya membayar art yang biasa datang dua hari sekali membersihkan rumahnya, mencuci baju, dan setrika.
Kedua orang tua Rara meninggal dunia akibat kecelakaan mobil beberapa bulan sebelum Pram dan Rara menikah. Selepas mereka menikah, Pram dan Rara hanya tinggal berdua di rumah peninggalan kedua orang tua Rara.
"Ya Tuhan, apa dosaku? Aku hanya ingin membahagiakan Mas Pram dan keluarganya yang meminta keturunan padaku. Mama Papa, Rara rindu kalian," batin Rara menangis pilu seraya menatap foto mendiang kedua orang tuanya di sebuah pigura kecil.
Sejak kejadian itu, sikap Pram berubah pada Rara. Lebih terkesan cuek. Akan tetapi sudah tak membentak atau kasar pada Rara. Namun lebih dingin dan terasa hambar.
Dua minggu kemudian, Rara pun datang bulan sehingga tak ayal dirinya drop dan sakit. Rara memutuskan tak masuk kerja dahulu selama beberapa hari. Selain dirinya demam, ia juga ingin menenangkan diri.
Pram masih merawat dirinya dengan cukup baik selama dia tak masuk kerja. Dan malam hari pun tiba, Pram mengatakan sesuatu pada Rara.
"Yank, apa kamu mau nurut sama kemauan Mas?" tanya Pram lembut seraya memeluk Rara yang tengah tidur-tiduran di atas ranjang.
"Iya, Mas. Rara mau kok nurutin. Asal Mas Pram enggak bentak-bentak Rara. Sayang sama Rara lagi kayak dulu. Rara cinta sama Mas Pram. Rara cuma punya Mas Pram di dunia ini," cicit Rara sendu seraya matanya sudah berkaca-kaca dan membalas pelukan suaminya semakin erat.
Cup...cup...cup..
Pram menciumi wajah Rara yang sembab. Dengan kedua tangannya, Pram menghapus air mata sang istri.
"Sudah jangan nangis lagi, yank."
"Hem," jawab Rara berdehem.
Sempat terjadi keheningan beberapa saat antara keduanya, sebelum akhirnya Pram buka suara.
"Lebih baik kamu resign dari kantor. Fokus untuk program kehamilanmu agar kita cepat punya anak, Ra."
"Dan lebih baik kita tinggal di rumah orang tuaku. Selain lebih dekat dari kantor, juga agar kamu enggak bosan sendirian di rumah. Lagipula biaya program kehamilan kan cukup mahal juga. Jadi untuk lebih berhemat, kita pindah ke rumah orang tuaku ya," pinta Pram dengan lembut.
🍁🍁🍁