Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yueyue-Entwined Winter
Ibu Caroline mencoba meraih tangan putrinya, "Ine! Tidak ada yang menganggapmu seperti properti. Maafkan kami, Nak. Tetapi yakinlah bahwa Pratama juga tidak pernah menganggapmu begitu. Dia bilang dia mencintaimu, dia hanya ingin menikahimu."
"Cinta?" Caroline tertawa miris. "Cinta macam apa yang dibangun di atas kontrak finansial?!"
Perdebatan menjadi sengit. Caroline merasa dikhianati oleh orang tua, oleh Pratama, oleh kenyataan. Ia merasa terperangkap dalam lingkaran kutukan takdir yang sama. Malam itu, pertengkaran hebat terjadi, diwarnai isak tangis dan penjelasan yang terasa seperti bumbu baru yang menyakitkan.
“Apakah Bapak dan Ibu mengira, bahwa selama aku hilang ingatan artinya aku bisa menerima semua hal ini dan menganggapnya berlalu begitu saja?”
Ibu Caroline tersentak, air mata yang tadi tertahan kini mengalir deras membasahi pipinya. "Ine, bukan begitu maksud kami. Kami hanya berharap kamu bisa memulai hidup baru. Melupakan semua yang buruk."
Suaranya tercekat, penuh penyesalan.
Pak Ming, dengan wajah yang kini tampak menua dalam sekejap, meraih tangan Caroline. "Bapak tahu ini berat. Kami tahu ini tidak membenarkan tindakan kami, tapi kami tidak ingin kamu terbebani dengan semua ini setelah kamu siuman."
Caroline menarik napas dalam, berusaha menenangkan emosinya yang bergejolak. Rasa marah itu masih ada, namun ia juga bisa merasakan penyesalan tulus dari orang tuanya. Keheningan kembali melingkupi mereka, hanya diselingi isak tangis samar Ibu Caroline.
“Hari sudah larut, aku rasa ini hari terakhirku disini.”
Pak Ming mengernyit saat baru menyadari sebuah koper baru diangkat keluar oleh anaknya. Dia terlihat begitu siap untuk langsung pergi begitu saja, dan itu membuatnya sedikit khawatir. “Kamu mau pergi kemana, Ine?”
“Kemana saja selain disini. Untuk kesalahan dulu, aku anggap itu sebagai kesalahan dulu. Tetapi kurasa aku tidak bisa lagi tenang disini, setelah mengonfrontasi Bapak dan Ibu akan masalah seperti ini.”
Pak Ming menggelengkan kepalanya tidak setuju. “Kau sama sekali tidak tahu kemana tujuanmu selain disini. Bapak melarangmu pergi kecuali kau dijemput oleh suamimu sendiri.”
Caroline diam sejenak lalu dengan suara tertahan mengatakan, “Baik.” Dia mengambil ponselnya, jemarinya yang masih sedikit gemetar mencari nomor Pratama.
Telepon berdering beberapa kali sebelum Pratama mengangkatnya. Suaranya terdengar mengantuk, baru saja terbangun dari tidur.
"Lin? Ada apa? Apa kamu baik-baik saja?"
Nada cemas Pratama langsung terasa.
"Jemput aku, Pratama," ucap Caroline, suaranya dingin, namun ada gurat kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. "Secepatnya."
Pratama langsung terbangun sepenuhnya. " Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja? Kamu di mana?" Rentetan pertanyaan Pratama menunjukkan kepanikannya.
"Aku di rumah orang tuaku. Mereka... baru saja menjelaskan beberapa hal denganku. Kontrak itu. Kebangkrutan. Foto itu." Caroline berhenti sejenak, mengambil napas. "Aku butuh kamu menjemputku sekarang."
Keheningan di ujung telepon terasa begitu panjang, berat. Pratama pasti sedang mencerna semua yang baru saja didengarnya. Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi tidak menyangka akan secepat ini, dan dalam suasana yang sebegini tegang.
"Aku akan segera ke sana," jawab Pratama akhirnya, suaranya kini tegas, menghilangkan jejak kantuk. "Jangan ke mana-mana. Tunggu aku."
Tanpa menunggu balasan, Pratama langsung mematikan telepon. Caroline menatap layar ponsel itu sejenak, lalu kembali menatap orang tuanya yang menunggu dengan cemas. Ibu Caroline mendekat, mencoba memegang tangan Caroline lagi, namun Caroline menariknya perlahan.
“Ibu, Bapak, tidurlah dahulu. Ine janji tidak akan ada drama dimana Ine kabur malam-malam. Ine masih sayang nyawa.”
Caroline langsung menggeret koper ke samping pintu kamar orang tuanya sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Bu Lien dan Pak Ming saling memandang, keduanya tidak mengatakan apapun lalu masuk ke kamar mereka.
Malam itu Caroline duduk di ranjang, memeluk amplop coklat itu erat. Menunggu. Ia tahu, konfrontasi yang sesungguhnya belum dimulai. Namun tangannya sudah mendingin dan kukunya hampir membiru karena ia tekan begitu kuat. Ia sama sekali tidak merasakan sensasi sakit disana, hanya kebekuan dari tubuhnya.
Ia meneteskan air mata. Satu demi satu sebelum menjadi guliran deras. Ia menutup mulut, mencegah isakan keluar. Ia tidak ingin orang tuanya mendengar tangisannya, dan kali ini ia merasa memahami bagaimana bisa orang ini menangis tanpa suara.
Karena membuat orang tuanya tahu bahwa ia terluka jauh lebih menyakitkan, terlebih saat yang mengecewakannya adalah orang tuanya sendiri.
“Jangan menangis,” serunya dalam hati. Tubuhnya agak bergetar entah karena kedinginan atau karena sakit menahan perih di ulu hatinya. Matanya sembab dan terus mengeluarkan air mata tanpa isakan dan suara sedikit pun.
Malam itu juga ia memejamkan matanya yang anehnya tidak bengkak sama sekali seolah-olah tubuhnya menganggapnya hal yang biasa. Caroline masuk dalam alam bawah sadarnya, terjebak dalam belenggunya sendiri. Ia melihat lengannya yang dirantai dan makanan anjing di depannya.
Di sana, dalam kegelapan yang menekan, ia melihat lengannya yang dirantai ke dinding dingin. Di depannya, di lantai batu yang kotor, tergeletak piring berisi makanan anjing, baunya menusuk hidungnya. Ini bukan lagi bayangan pengadilan bangsawan, melainkan sebuah penjara yang lebih mengerikan, jauh lebih pribadi.
Dia melihat lagi sel sempit tempat ia menghabiskan sisa hidupnya. Tidak jauh di depannya, ada sepetak rumput kecil dan setangkai bunga liar yang kepalang layu, berusaha bertahan di antara celah-celah batu.
Caroline mencoba bergerak, dan bunyi rantai besi yang beradu menyentak telinganya. Ia ingin maju, merangkak, menyentuh bunga yang layu itu—sebuah simbol kecil dari kehidupan di tengah penderitaan—tetapi jeruji dingin di lengannya menahan pergerakannya..
"Tidak ada harapan," sebuah suara berbisik dari sudut gelap, suaranya terdengar seperti gaung dari jiwanya sendiri yang putus asa.
Caroline mencobanya lagi, menarik rantainya dengan segenap kekuatan yang tersisa. Tapi sia-sia. Jeruji itu tak bergeming. Putus asa merayap, melumpuhkan. Ia menatap makanan anjing di depannya, jijik, namun juga rasa lapar yang mendesak.
Apakah ini takdirnya? Menjadi binatang yang diberi makan di penjara?
Mendengar sebuah suara, pandangannya beralih ke dinding di seberang. Di sana, diukir kasar dengan benda tajam, ada sederet angka dan simbol yang anehnya terasa familiar. Dia berusaha keras membacanya, kepalanya berdenyut.
Lalu, gambaran-gambaran aneh mulai berkelebat. Pertemuan di sebuah kantor yang dingin, suara-suara perdebatan tentang angka, utang, dan saham, ayahnya yang tampak putus asa, dan wajahnya sendiri yang menahan tangis.
Kemudian, sebuah suara bergema di benaknya, suara yang lebih muda, lebih ceria—suaranya sendiri di masa lalu. "Demi keluarga. Demi perusahaan. Aku harus melakukannya."
Kilasan-kilasan itu semakin jelas, membentuk sebuah narasi.
Ia melihat dirinya, Caroline yang dulu, duduk di hadapan meja besar, tangannya gemetar memegang pulpen. Di depannya, selembar kertas tebal. Sebuah kontrak. Bukan kontrak pernikahan yang romantis, melainkan sebuah perjanjian bisnis yang dingin. Setiap kata dalam kontrak itu, setiap angka utang, setiap klausul tentang "penyelamatan aset" dan "mitra bisnis", kini terukir jelas dalam ingatannya.
Rambutnya disanggul elegan dan tatapannya begitu tegas. Dia berlagak seperti perempuan yang masih memiliki rasa hormat. Padahal nyatanya ia menundukkan kepalanya seperti binatang.
Ia ingat saat tangannya memegang pulpen itu, ragu, namun mata ayahnya yang memohon dan bayangan kehancuran keluarga telah mendorongnya. Ia ingat rasa muak yang ia rasakan saat itu, menyerahkan dirinya demi sebuah transaksi. Ia ingat tatapan sinis dari pria di foto itu, yang menolaknya mentah-mentah, dan bagaimana Pratama muncul setelahnya, menawarkan solusi yang terasa seperti belenggu baru.
Penjara dalam mimpinya, rantai di lengannya, makanan anjing itu—semuanya adalah metafora yang brutal. Itu adalah gambaran bawah sadarnya tentang bagaimana ia merasakan dirinya terbelenggu oleh kontrak itu, terjebak dalam posisi yang membuatnya merasa tidak lebih dari sekadar aset, alat tukar, atau bahkan lebih rendah dari itu.
Bunga layu yang tak terjangkau adalah kebebasan, kebahagiaan, dan harga diri yang terasa terlalu jauh untuk digapai. Dia tidak layak.
"Tidak!" teriak Caroline dalam mimpinya, suaranya parau, penuh keputusasaan. Ia ingin melompat, ingin berlari, ingin memeluk tubuhnya sendiri yang sedang duduk dan menandatangani kontrak terkutuk itu. Ia ingin menarik pulpen itu dari genggaman tangannya, mencegah dirinya yang dulu melakukan kesalahan yang akan mengikatnya seumur hidup.
Namun, ia tidak bisa. Rantai di lengannya semakin mengencang, menariknya kembali ke posisi semula. Gemericingan besi itu seolah puas menertawakannya, tak memberinya ruang sedikit pun untuk bergerak. Ia menyaksikan dirinya sendiri, sosok yang kini terasa begitu asing dan menyedihkan, menandatangani takdir yang ia benci.
“Jangan.. jangan!”
Ia berteriak lagi, lebih keras, mencoba mengubah masa lalu yang kini terasa begitu nyata dan menyakitkan. Tapi suara itu hanya tertelan dalam kehampaan penjara mimpinya.
Ia tidak bisa meraihnya. Ia tidak bisa menyelamatkan dirinya yang dulu. Kenangan itu, kini utuh dan brutal, menghantamnya dengan semua kekuatan pahitnya.
Caroline tersentak bangun dari mimpi mengerikan itu, napasnya memburu.
Keringat dingin membasahi dahinya, meskipun kamarnya terasa dingin. Ia membuka mata lebar-lebar, menatap langit-langit kamar yang gelap, mencoba membedakan kenyataan dari mimpi buruk. Ia memegang lengannya, mencari jejak rantai, hanya menemukan kulitnya yang halus.
Memejamkan matanya, kegelapan yang ia saksikan tak pelak membuatnya dengan paksa membuka matanya. Dia ketakutan. Dia tidak tahu harus mencari siapa. Dia harus menunggu. Caroline berdiri dan membiarkan amplop yang ia remas sampai kusut.
“Aku tidak ingin dan tidak bisa tidur.”
Dan kemudian, air mata itu mulai mengalir. Deras, tanpa suara, tanpa kendali. Air mata yang terasa asing, namun sekaligus sangat familiar.
Itu bukan hanya air matanya, dia yang asli. Itu juga adalah air mata pemilik tubuh yang telah lama menekan semua kesedihan dan kepedihannya. Di saat air mata itu mengalir deras, tanpa cegukan atau isakan, Caroline merasakan sebuah fenomena yang mengerikan.
Jiwa pemilik asli tubuh ini dan dirinya seolah menyatu. Semua rasa sakit yang terpendam, semua frustrasi karena perdebatan tak berujung, semua kekecewaan karena pernikahan kontrak yang dingin, semua pengorbanan demi keluarga, kini meluap dan membanjiri jiwanya. Ia tidak mengingat detailnya, tetapi ia merasakan beban emosionalnya secara langsung.
“Cukup.. cukup..!!”
Ia ingin berteriak, melampiaskan semua kemarahan dan kepedihan yang tiba-tiba menggerogoti. Ia ingin terisak, mengeluarkan semua kesedihan yang tak tertahankan.
Namun, ia tidak mampu.
Tubuhnya beku, hanya air mata yang mengalir tanpa henti. Itu adalah perpaduan aneh antara ketidakmampuan fisik untuk bereaksi dan intensitas emosional yang luar biasa. Ia merasakan dirinya terbelah, namun sekaligus utuh dalam duka yang tak terucapkan.
Di sana, di tengah kegelapan kamar, Caroline akhirnya merasakan apa artinya menjadi orang ini. Ia merasakan penderitaannya, kekejamannya, dan pengorbanannya.
“Aku sudah bingung, dan hal ini semakin membuatku bingung.”
Caroline melipat kedua kakinya dan membungkuk, seperti orang yang linglung. Lalu dia hanya terpaku pada renda yang disinari oleh rembulan. Cahaya satu-satunya yang ia miliki di kamarnya karena ia sudah tidak bertenaga untuk menyalakan saklar lampu. Ditambah ia lupa dimana letak saklar itu.
Caroline tidak tahu sudah berapa lama duduk di sana, terpaku pada cahaya rembulan yang memudar. Dinginnya malam perlahan menelusup ke tulangnya, namun ia tidak bergeming. Air matanya terus mengalir, tak henti, seolah ada keran yang rusak di dalam dirinya. Setiap tetes membawa serta gelombang emosi baru, perasaan yang tidak ia mengerti, namun terasa begitu mendalam.
Kenapa harus ada amplop ini, dan kenapa ia harus sampai penasaran kemarin lalu?
Kenapa ia sampai memperbesar masalah, dan menciptakan keributan?
Dia bertanya-tanya, apa yang harus ia lakukan setelah ini?
Aku tidak berguna.
Aku lemah.
Aku…
Aku tidak tahu harus apa, sekarang.