Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghancurkannya?
Ketika pagi datang, Petunia Hill terasa lebih sunyi dari biasanya.
Tidak ada suara burung, tidak ada angin yang meniup dedaunan seperti biasa. Udara seolah menahan napas, menunggu sesuatu terjadi.
Elena bangun lebih awal.
Ia turun ke dapur, berharap memulai hari dengan sederhana. Secangkir teh, aroma roti panggang, dan sedikit keheningan.
Namun begitu masuk, ia mendapati sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
Di meja dapur terdapat bunga lily putih segar.
Elena menatapnya lama.
Rumah itu tidak pernah memesan bunga, apalagi lily. Bunga yang hanya muncul di pemakaman Isabella. Ada kartu kecil tersembunyi di balik kelopaknya.
Tangannya bergetar saat membacanya.
“Untuk Elena. Cantik bahkan di dalam ketakutan.”
Tidak ada nama.
Tidak perlu.
Elena mundur selangkah. Tubuhnya merinding dari ujung kaki ke ujung rambut. Bunga itu wangi. Terlalu wangi. Seolah baru dipetik.
“Seseorang masuk,” gumamnya dengan napas tercekat.
Adrian muncul dari arah ruang tamu, wajahnya masih letih dari malam sebelumnya. Namun saat melihat tatapan Elena, ia langsung tegang.
“Elena, apa yang—?”
Ia berhenti. Matanya jatuh pada bunga lily itu.
Wajahnya memucat, lalu mengeras.
Tanpa berkata-kata, ia mengambil vas itu dan melemparkannya ke lantai. Kaca pecah. Kelopak lily berhamburan.
Elena tersentak.
“Adrian!”
Adrian tidak melihatnya. Ia menahan napas, rahangnya bergetar dari tekanan emosi yang ia tahan.
“Dia sudah di dalam,” bisiknya. “Dia melewati semua penjagaan. Semua sistem keamanan. Dia ingin menunjukkan kalau dia bisa lebih dekat dari yang kita kira.”
Elena memeluk dirinya sendiri. “Kenapa lily…?”
Adrian menutup mata. “Itu bunga favorit Isabella. Dan pesan bahwa aku gagal melindunginya dulu.”
Elena mengusap lengannya, rasa takut naik perlahan tapi pasti.
“Adrian… apa Cassian ingin mengulang tragedi Isabella, tapi kali ini pada kita?”
Adrian membuka mata, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Elena melihat ketakutan nyata di dalamnya.
“Tidak,” katanya pelan. “Dia ingin aku menyaksikannya. Dan dia ingin membuatku memilih.”
“Memilih apa?”
“Untuk kembali padanya… atau kehilangan segalanya.”
Clara berlari masuk setelah mendengar suara pecahan kaca. Wajahnya pucat melihat lily di lantai.
“Tuan… ini berarti dia sudah masuk ke dalam rumah?”
Adrian mengangguk lirih. “Kita harus periksa semua kamera.”
“Aku sudah cek, Tuan,” kata Clara cepat. “Semua rekaman malam ini… kosong.”
Elena menegang. “Kosong bagaimana?”
Clara menelan ludah. “Seperti tidak pernah merekam apa pun.”
Adrian meletakkan tangannya di meja, mencoba mengontrol napas.
“Cassian memanfaatkan jaringan lamaku. Ia tahu celah, tahu kode lama, tahu cara membuat sistem terlihat normal padahal sudah ditembus.”
Elena memegang tangannya. “Kita masih bisa melakukan sesuatu.”
Adrian menggeleng perlahan.
“Elena… Cassian tidak datang untuk menakut-nakuti. Lily ini adalah salam. Setelah salam… selalu datang langkah pertama.”
***
Hari itu dihabiskan dengan Adrian mengutak-atik panel keamanan. Ia menambah sensor baru, menonaktifkan kamera lama, memperketat pintu masuk.
Tapi Elena bisa melihat, bukan hanya sistemnya yang retak. Adrian pun demikian.
Menjelang sore, ia memutuskan duduk di perpustakaan. Mencoba membaca… tapi pikiran terus kembali ke kartu kecil itu.
Cantik bahkan di dalam ketakutan.
Kata-kata itu membuat kulitnya merinding.
Ketika ia membuka lembar berikutnya, selembar kertas kecil jatuh dari sela buku.
Elena menatapnya kosong.
Itu foto lain. Foto dirinya.
Berbeda dari foto pertama. Ini diambil saat ia tidur.
Jantung Elena serasa berhenti.
“Tidak…” bisiknya. “Dia… masuk kamarku?”
Foto itu bahkan menangkap senyum kecil yang muncul di wajahnya saat ia memimpikan sesuatu.
Senyum yang seharusnya aman, bukan menjadi pesan ancaman.
Di balik foto itu ada tulisan lain:
“Tidak ada pintu yang cukup kuat untuk menahan bayangan.”
Pintu perpustakaan terbuka dengan cepat. Adrian berlari masuk, nafasnya berat.
“Elena, kau di—”
Ia berhenti ketika melihat foto itu di tangan Elena.
Rahangnya mengeras. Nadinya tampak menonjol di leher.
“Elena…” Suara Adrian rendah, tapi bergetar marah. “Sejak kapan kau menerima ini?”
“Baru saja,” jawab Elena dengan suara kecil.
“Adrian… dia masuk kamarku ketika aku tidur.”
Adrian meraih foto itu, meremasnya sampai hancur. “Dia mengincarmu.”
Elena menatapnya. “Bukan hanya aku. Cassian mengincar kita.”
Adrian memejamkan mata, menahan ledakan emosi yang hampir menghancurkannya.
“Ini salahku!”
Elena mendekat, memegang wajahnya.
“Dulu, ya. Tapi sekarang… kita berdua di sini. Dan kita akan menghadapi ini bersama.”
Adrian membuka mata. Dalam tatapannya, Elena melihat sesuatu yang baru. Tekad, bukan ketakutan.
“Elena,” katanya, “aku akan melindungimu. Bukan karena kau milikku… tapi karena aku memilih untuk menjaga seseorang yang akhirnya memberiku alasan untuk hidup.”
Elena merasakan jantungnya menghangat.
“Dan aku memilih tetap di sini, Adrian. Bukan karena aku tidak punya jalan lain… tapi karena aku ingin menghadapinya denganmu.”
Gedung besar Petunia Hill kembali sunyi.
Tapi bukan sunyi seperti dulu. Bukan sunyi penjara. Ini sunyi badai sebelum pecah.
Di luar, awan hitam mulai berkumpul.
Dan jauh di kejauhan, seseorang mengawasi hanya dengan satu tujuan.
Mengambil kembali Adrian Valtieri, atau menghancurkannya.
Cassian Moretti telah membuat langkah pertamanya.
Dan permainan baru saja dimulai.