Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga sebuah nyawa
Kapan mas dan anak-anak pulang ke rumah?
Aku masak banyak nih buat nyambut kalian.
Sebuah pesan baru saja masuk ke ponsel Naren. Pesan yang terasa hangat bagi keluarga kecil yang bahagia. Namun, pesan itu malah menjadi luka untuk Naren sendiri.
Ia meletakkan ponselnya di dasbor mobil, tidak ada keinginan untuk membalas pesan dari mantan istrinya. Ibunya berkata, jauhi hal-hal yang membuatmu sakit. Ada kalanya kita harus egois demi kebahagian sendiri.
Banyak orang di luar sana terlalu tidak tahu diri untuk kita yang terkadang tidak enakan menolak keinginan mereka.
Naren melajukan mobilnya menuju apartemen Leona. Hari ini dia akan mengantar wanita itu ke sebuah makam. Bukan hanya dia, tapi beberapa pengawal akan ikut serta. Sebab makam tersebut terlalu berbahaya untuk Leona.
Sebenarnya Naren penasaran kenapa direktur membiarkan Leona ke tempat itu padahal sudah tahu berbahaya. Namun, ia tidak berani bahkan untuk sekedar bertanya pada atasannya. Tugasnya hanya menjaga tanpa tahu alasannya.
"Kita pergi sekarang saja," ujar Leona yang ternyata sudah menunggunya di depan gedung. Wanita itu memakai kacamata hitam yang senada dengan setelan yang Leona pakai.
"Maaf Nona, tapi kita harus menunggu William dan yang lain," jawab Naren.
"Dia bisa menyusul nanti."
Naren tidak mengidahkan perintah Leona, takut terjadi sesuatu di jalan. Terlebih direktur langsung yang mewanti-wantinya kemarin.
Pria itu baru melaju melihat dua mobil kantor yang tidak jauh dari mereka. Perjalanan mereka akan memakan waktu cukup panjang. Dan sepertinya akan terasa membosankan sebab wanita yang biasanya tidak kehabisan bahan kini terdiam.
Naren tidak tahu Leona memang sengaja diam, atau menutup mata di balik kacamata hitamnya.
Dua jam perjalanan hampir Naren tempuh untuk tiba di tujuan. Di samping kiri dan kanan terdapat pepohongan yang tingginya tidak bisa Naren perkirakan, seolah mereka sedang berada di hutan.
"Katakan kalau saja nona lelah," ujar Naren. Bukan apanya, mereka akan berjalan kaki cukup jauh dari mobil terpakir.
Siapa yang mengira, tempat yang mereka tuju tampak indah untuk sebuah pemakaman di sebuah bukit. Di sana ada Villa sederhana yang cocok dihuni dua orang.
Langkah Naren berhenti tiga langkah di mana Leona berada. Ia terus memperhatikan atasannya yang berdiri sambil menatap gundukan tanah. Tidak lama Naren mendengar isakan pilu.
Pria itu mendekat ketika Leona menjatuhkan tubuhnya ke tanah sehingga pakaian hitam wanita itu ternodai oleh rumput kering.
"Harusnya hari itu aku pergi bersamamu," lirih Leona. "Ragaku masih di sini tapi jiwaku telah mati sejak kepergianmu."
Sekarang Naren mengerti makam siapa yang Leona kunjungi. Makam calon suami yang pernah Leona ceritakan. Kecelakaan maut yang mengambil pria yang sangat Leona cintai dan meninggalkan trauma berkendara di malam hari.
"Harusnya kita pergi bersama," ulang Leona mengenggam pusaran tanah.
Tangisan pilu itu berlangsung cukup lama, sampai akhirnya Leona berdiri masih dengan kacamata hitamnya.
Naren membuka payung untuk melindungi Leona dari sinar matahari. Tetapi ekor matanya malah menangkap hal aneh di belakang Vila.
"Nona Leona!"
Naren melempar payung tersebut dan berlari mendekati Leona. Memeluk tubuh rapuh atasannya dan berputar untuk menghidari sebuah peluru yang dilesatkan secara senyap.
Ia meringis ketika merasakan peluru untuk menyentuh kulitnya dibalik jas.
"Ada penyusup!" teriak Naren membuat para pengawal mengelilingi bukit itu.
"Ma-mas Naren terluka." Leona memegang lengan Naren yang mengeluarkan darah segar.
"Saya baik-baik saja, anda harus pergi dari sini."
Naren masih memeluk Leona, melindungi dari peluru yang mungkin akan melukainya. Dia dan Leona telah dikelilingi pengawal yang siap melindungi.
Tembakan kembali terdengar dan lagi-lagi tepat sasaran andai saja Naren tidak gesit bergerak. Naren mendesis, wajahnya mulai pucat sebab kini peluru itu mengenai pinggangnya sebelah kiri.
Beberapa pengawal pun mendapatkan luka yang sama. Beruntungnya sebelum serangan membabi buta, Naren sampai ke mobil anti peluru.
"Biar saya yang menyetir." Leona mengambil alih kemudi.
Sedangkan Naren mengatur napasnya dan berusaha menahan pendarahan. Ini pertama untuknya dan yap sangat menyakitkan.
"Bertahan sedikit lagi Mas," lirih Leona terus melirik Naren yang sesekali memejamkan mata.
....
Rumah sakit terdekat setika mulai sibuk dengan kedatangan beberapa mobil yang membawa pasien luka tembak, salah satunya adalah Naren yang sudah tidak sadarkan diri. Beruntung William gercep sehingga bisa menyusul Leona dan Naren dengan cepat.
Di meja operasi, wajah Naren terlihat sangat pucat. Para dokter berusaha sebaik mungkin mengeluarkan peluru di sekitar pinggang Naren tanpa harus kehilangan banyak darah.
Ruangan sunyi nan dingin itu sangat menyeramkan dan Naren tidak pernah membayangkan akan ada di sana karena melindungi seseorang.
Di luar ruang operasi, orang yang Naren lindungi menangis di pelukan kakak pertamanya. Rasa bersalah menghinggapi hatinya meski sang kakak sudah menenangkan dan mengatakan sudah tugas Naren melindunginya.
"Sejak dia menandatangi kontrak, sejak itu pula dia siap kehilangan nyawanya demi melindungimu."
"Kenapa aku nggak mati saja saat kecelakaan itu kak? Dengan begini aku nggak akan menyakiti siapapun. Tahun lalu mama, sekarang mas Naren," lirih Leona.
"Mas?" Kening Liam mengerut. Untuk pertama kalinya, Leona memanggil seseorang dengan sebutan mas. Dia sebagai kakak saja tidak pernah dipanggil demikian.
"Mereka hanya menginginkan kematianku Kak. Dengan aku mati seperti tunanganku semuanya akan baik-baik saja."
"Hey cantik, tenangkan dirimu. Dokter akan melakukan yang terbaik untuk pengawalmu." Liam menangkup wajah mungil Leona. Mata wanita itu telah bengkak karena menangis hampir seharian.
"Kita pulang," ajak Liam.
"Nggak, aku akan menemani ...."
"Dia bukan siapa-siapa yang harus mengambil waktumu," ujar seorang pria paruh baya dengan suara tegasnya.
Tanpa disuruh dua kali, Leona mengikuti langkah kakak pertamanya untuk meninggalkan rumah sakit. Sedangkan papanya sendiri menghampiri William yang menunggu di depan ruang operasi.
"Tetaplah di sini dan pastikan teman-teman kamu baik-baik saja," ujar Cakra, pemilik group Alexander.
"Baik Tuan." William menunduk. Pria itu menatap ruang operasi setelah kepergian atasannya.
Sebagai seorang teman, dia jelas mengkhawatirkan Naren yang sedang berjuan di dalam ruangan dingin tersebut. Terlebih Naren memiliki anak-anak yang mengemaskan. Anak-anak yang masih membutuhkan peran ayah untuk berkembang.
.
.
.
.
.
Huh, semoga ayah Naren baik-baik saja.
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren