Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Keesokan paginya, suasana di rumah awan pelangi terasa berbeda. Udara yang biasanya sejuk dan tenang kini terasa berat dan sarat dengan ketegangan yang tak terucapkan. Badai di luar mungkin telah berlalu, tetapi badai di dalam dinding-dinding mewah ini baru saja dimulai. Isabella, yang kini sepenuhnya sadar betapa tipis es yang ia pijak, bergerak dengan kehati-hatian seekor rusa di hutan yang penuh predator. Setiap senyum yang ia berikan pada anak-anak terasa diperhitungkan, setiap kata yang ia ucapkan diukur agar tidak lagi membangkitkan hantu dari masa lalu.
Alex Ferguson menjadi bayangan yang lebih dingin dari sebelumnya. Ia keluar dari sayap pribadinya pagi itu dengan wajah sekeras batu pualam. Ia memberikan anggukan singkat yang nyaris tak terlihat pada Nyonya Diana, tatapannya melewati Isabella seolah wanita itu hanyalah perabot tak terlihat, dan hanya memberikan usapan singkat di kepala ketiga anaknya sebelum berangkat kerja. Tidak ada kata-kata, hanya keheningan yang memekakkan. Anak-anak merasakannya. Mereka menjadi lebih pendiam di meja sarapan, sesekali melirik ke arah "Nona Celine" seolah bertanya-tanya mengapa Ayah tampak begitu marah.
Isabella menghabiskan hari itu dengan membenamkan dirinya dalam rutinitas. Ia membantu Adrian dengan puzzle petanya yang rumit, membiarkan Eren mendekorasi kuenya dengan taburan warna-warni, dan membangun menara balok tertinggi di dunia bersama Alden. Ia adalah pengasuh yang sempurna, efisien dan penuh perhatian, namun di dalam dirinya, jiwanya menjerit. Insiden lagu nina bobo itu telah membuatnya takut pada instingnya sendiri. Ia sadar bahwa setiap tindakan alami seorang ibu yang ia lakukan adalah sebuah risiko. Cintanya pada mereka telah menjadi senjatanya sekaligus kelemahannya yang paling fatal.
Pada sore hari, saat anak-anak sedang tenang tidur siang, keheningan di penthouse terasa menekan. Isabella merasa perlu melakukan sesuatu, sebuah pelarian untuk meredakan badai di dalam kepalanya. Ia teringat pada barang-barang milik Celine yang tersimpan di kamar stafnya. Di dalam sebuah kotak tua, ia menemukan harta karun yang terlupakan: satu set pensil grafit berkualitas dan sebuah buku sketsa dengan sampul kulit yang sudah usang.
Jari-jarinya mengelus permukaan kertas yang sedikit kasar itu. Sebuah dorongan yang telah lama ia tekan kini muncul kembali ke permukaan. Dulu, sebelum ia menjadi Isabella Rosales, istri seorang miliarder, ia adalah seorang seniman. Menggambar adalah napasnya. Itu adalah cara ia memahami dunia. Dan sekarang, dalam kehidupan barunya sebagai Celine, seorang desainer grafis, seni adalah satu-satunya jembatan yang menghubungkan kedua identitasnya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mulai menggambar. Ia tidak perlu mencari model. Wajah ketiga anaknya sudah terukir permanen di dalam hati dan pikirannya.
Ia mulai dengan Adrian. Pensilnya bergerak cepat dan pasti di atas kertas, menangkap tatapan mata putranya yang serius dan penuh konsentrasi, cara sehelai rambutnya jatuh dengan keras kepala di dahinya. Ia tidak hanya menggambar wajah, tetapi juga jiwa Adrian—jiwa seorang pemikir tua dalam tubuh seorang anak laki-laki.
Selanjutnya, Eren. Goresan pensilnya menjadi lebih lembut, lebih mengalir. Ia menggambar Eren yang sedang melamun menatap ke luar jendela, seberkas cahaya matahari menerpa rambutnya, menciptakan aura magis di sekelilingnya. Ia menangkap impian dan keajaiban di mata putrinya.
Terakhir, Alden. Goresannya menjadi lebih berani dan penuh energi. Ia menggambar Alden di tengah tawa, mulutnya terbuka lebar, matanya berkerut bahagia, seluruh tubuhnya memancarkan energi petualangan yang tak terbatas.
Selama satu jam berikutnya, dunia lenyap. Hanya ada dirinya, pensil, dan kertas. Ia menuangkan semua rindu, cinta, dan rasa sakitnya ke dalam tiga potret itu. Saat ia selesai, ia menatap karyanya dengan napas tertahan. Di atas kertas itu bukan hanya gambar anak-anaknya. Di sana ada hati seorang ibu yang terpampang nyata. Ini adalah karya paling jujur yang pernah ia buat. Dengan perasaan lelah namun lega, ia meletakkan buku sketsa yang terbuka itu di atas meja kopi di ruang bermain untuk mengeringkan grafitnya, sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan camilan sore anak-anak.
Beberapa saat kemudian, Eren terbangun lebih dulu dari tidur siangnya. Dengan langkah kecil, ia pergi ke ruang bermain untuk mencari "Mama Celine"-nya. Matanya yang masih mengantuk menangkap buku sketsa yang tergeletak di atas meja. Rasa penasaran membawanya mendekat.
"Wow," bisiknya saat melihat potret dirinya dan kedua saudaranya. Ia belum pernah melihat gambar sebagus ini. Gambar itu terasa hidup.
Dengan semangat, ia mengambil buku sketsa itu—sedikit ceroboh hingga membuat beberapa halaman lain yang berisi sketsa-sketsa lama Celine ikut terbuka—dan berlari keluar dari ruangan. Ia tahu siapa yang harus melihat ini pertama kali. Ayahnya.
Ia menemukan Alex di ruang kerjanya, sedang menatap layar dengan ekspresi muram. Tanpa mengetuk, Eren menerobos masuk. "Ayah, Ayah, lihat!" serunya, menyodorkan buku sketsa itu ke pangkuan ayahnya. "Lihat apa yang Mama Celine buat! Cantik, kan?"
Alex tersentak dari lamunannya, sedikit kesal karena interupsi itu. "Eren, Ayah sedang bekerja—" Kalimatnya terputus saat matanya jatuh pada halaman yang terbuka. Ia tertegun.
Itu adalah potret anak-anaknya, digambar dengan keahlian yang luar biasa. Bukan sekadar gambar, tetapi penangkapan jiwa. Tapi bukan itu yang membuatnya membeku. Itu adalah gayanya. Goresan arsiran yang khas, cara bayangan dibentuk dengan sapuan lembut, dan yang paling menusuk, cara sang seniman menangkap cahaya di mata subjeknya. Itu adalah gaya yang sangat, sangat ia kenal.
Tangannya sedikit gemetar saat ia membalik halaman, melihat potret Adrian dan Alden. Sama saja. Setiap goresan adalah gema yang menyakitkan dari masa lalu.
"Ayah?" tanya Eren, merasakan perubahan atmosfer di ruangan itu.
Alex tidak menjawab. Ia terus membalik halaman, melewati gambar-gambar anak-anaknya, hingga matanya menangkap sketsa-sketsa lain yang lebih tua di halaman-halaman sebelumnya—sketsa pemandangan kota, bunga, dan potret-potret asing milik Celine. Gaya gambar-gambar itu bagus, khas seorang desainer grafis. Tapi gayanya berbeda. Jauh lebih teknis, lebih kaku. Tidak memiliki "jiwa" yang sama dengan tiga potret terakhir.
Ia menutup buku itu perlahan, otaknya berputar. Lagu nina bobo. Dan sekarang ini. Teori "kebetulan" kini terasa seperti sebuah kebohongan yang naif.
Malam itu, saat Isabella sedang merapikan ruang bermain setelah anak-anak tidur, Alex masuk. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri di sana sambil memegang buku sketsa itu.
"Ini milikmu, Nona Severe?" tanyanya, suaranya dingin dan terkendali.
"I-iya, Tuan," jawab Isabella, jantungnya mulai berdebar kencang.
Alex berjalan mendekat dan membuka halaman potret anak-anaknya. "Ini luar biasa," katanya, nadanya datar, namun matanya tajam menyelidik. "CV Anda menyatakan Anda seorang desainer grafis. Tapi ini adalah karya seni rupa murni. Di mana Anda belajar menggambar seperti ini?"
"Saya... saya tidak pernah belajar secara formal, Tuan," jawab Isabella, memilih kebohongan yang paling mendekati kebenaran. "Saya hanya suka menggambar sejak kecil. Belajar sendiri."
"Begitu," kata Alex pelan. Ia menunjuk sebuah detail di potret Eren, cara cahaya digoreskan di rambutnya. "Teknik arsiran silang ini... sangat spesifik. Sangat khas. Aku pernah melihatnya sebelumnya."
Rasa dingin menjalari Isabella. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Mungkin hanya kebetulan, Tuan," katanya dengan suara sepelan mungkin.
"Mungkin," jawab Alex, matanya tidak pernah meninggalkan wajah Isabella, seolah mencoba menembus topeng Celine dan menemukan siapa yang ada di baliknya. "Aku ingin menyimpan ini, jika Anda tidak keberatan. Untuk melihatnya lebih dekat."
Itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan. Sebelum Isabella bisa menjawab, Alex sudah berbalik dan berjalan keluar ruangan dengan buku sketsa di tangannya.
Malam itu, jauh setelah seisi rumah tertidur, sebuah lampu masih menyala di ruang kerja Alex Ferguson. Di atas mejanya yang luas dan kosong, buku sketsa Celine Severe tergeletak terbuka. Di sampingnya, Alex mengeluarkan sebuah kotak kayu yang terkunci dari laci paling bawah mejanya. Di dalam kotak itu, tersimpan harta karunnya yang paling menyakitkan: sebuah portofolio tua berisi gambar-gambar yang dibuat oleh Isabella bertahun-tahun yang lalu.
Ia mengeluarkan selembar kertas dari portofolio itu—sebuah sketsa dirinya yang sedang tertidur, dibuat oleh Isabella saat awal mereka pacaran. Ia meletakkannya berdampingan dengan potret Adrian yang digambar oleh Celine.
Goresannya. Cara membentuk bayangan di bawah rahang. Dan yang paling utama, cara cahaya ditangkap di mata subjek yang tertidur dan yang terjaga.
Hampir identik.
Napas Alex tercekat. Kebetulan tidak terasa seperti kebetulan lagi. Ini terasa seperti sesuatu yang mustahil. Sesuatu yang supernatural. Ia menatap wajah Celine di kartu identitas karyawannya yang ada di layar komputernya, lalu kembali ke dua gambar di hadapannya.
"Siapa kau sebenarnya, Celine Severe?" bisiknya pada keheningan ruangan yang mewah itu. Misi barunya telah dimulai: membongkar setiap lapis misteri yang menyelimuti pengasuh anak-anaknya.