Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Hari-hari berikutnya berjalan seperti kabut bagi Nayara.
Ia tetap datang ke sekolah, tertawa dengan Elara, membantu ibunya di rumah besar, seolah semuanya baik-baik saja. Tapi setiap kali mendengar langkah kaki berat di koridor atau suara mobil hitam berhenti di halaman, jantungnya langsung berdebar — takut, tapi entah kenapa, tubuhnya bereaksi berbeda.
Alaric jarang bicara padanya secara langsung, tapi entah bagaimana selalu ada cara pria itu muncul di setiap ruang yang ia pikir aman.
Kadang di halaman belakang, sekadar menatap dari jauh.
Kadang saat makan malam, pandangannya hanya terarah pada Nayara, membuat gadis itu sulit menelan makanan.
Dan yang paling membuatnya bingung — tidak ada kata ancaman, tapi juga tidak ada jarak yang benar-benar bebas.
Sore itu, Nayara memutuskan membantu ibunya menyapu teras belakang. Udara dingin membuatnya menggigil, tapi setidaknya di luar, pikirannya lebih tenang.
Ia hampir selesai ketika sebuah suara tenang, dalam, dan familier terdengar dari arah belakang.
“Kamu pikir aku nggak tahu kamu lagi menghindar, Nay?”
Tangannya refleks berhenti.
Alaric berdiri di dekat pilar, kemeja putihnya sedikit terbuka di bagian atas, tangan kirinya dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tajam, tapi tenang — seperti singa yang sabar menunggu mangsa keluar dari persembunyian.
“Aku nggak ng—ngindar,” Nayara berusaha terdengar tenang.
Alaric mendekat perlahan, setiap langkahnya membuat napas Nayara terasa lebih berat.
“Kamu lupa ya, aku selalu bisa baca mata kamu?”
“Kenapa sih… kakak selalu muncul tiba-tiba begini?” suaranya nyaris bergetar, antara kesal dan takut.
“Cuma pengen lihat kamu,” jawab Alaric datar, tapi matanya berbicara lain — ada obsesi di sana, sesuatu yang dalam dan tak bisa dijelaskan.
“Lagipula…” ia mendekat lebih jauh, suaranya merendah, “aku cuma mau pastiin kamu nggak lupa perjanjian kita.”
Nayara menggigit bibir, menatap lantai. “Perjanjian? Nggak ada yang aku janjiin, Kak.”
“Oh, ada,” jawab Alaric cepat. “Kamu janji buat nggak kabur.”
Ia mengangkat tangannya, menyentuh ujung rambut Nayara — hanya sebentar, tapi cukup untuk membuat gadis itu terpaku.
“Lihat kan? Aku nggak perlu ngapa-ngapain. Kamu udah gemetar duluan.”
Nayara mundur setengah langkah, menahan air matanya agar tak jatuh. “Kamu senang ya, bikin aku kayak gini terus?”
Alaric menghela napas pelan, lalu menunduk sedikit, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Nayara.
“Enggak, Nay… aku cuma nggak bisa berhenti.”
Kata-kata itu sederhana, tapi menghantam keras.
Alaric berbalik, meninggalkan Nayara yang masih terpaku di tempat. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia menatapnya sekali lagi dan berkata pelan,
“Kalau kamu ngerasa sesak, jangan lari. Karena ke mana pun kamu pergi, aku bakal tahu.”
Dan setelah langkah kaki pria itu menghilang, Nayara baru sadar — mungkin benar, jaring yang menahannya bukan sekadar ancaman Alaric.
Mungkin itu sesuatu yang lebih dalam, yang bahkan ia sendiri tak tahu bagaimana cara melepaskannya.
...----------------...
Sejak malam itu, Nayara berusaha sekuat mungkin menata ulang hidupnya.
Ia sengaja berangkat lebih pagi, pulang lebih cepat, dan mencari berbagai alasan agar tak perlu berada di rumah besar terlalu lama.
Namun entah bagaimana, bayangan Alaric selalu ada di mana-mana.
Di kelas, ketika Elara berbicara dengan semangat, Nayara sering kehilangan fokus karena pikirannya melayang pada suara berat yang dulu mengucapkan namanya pelan.
Di rumah, setiap kali mendengar pintu diketuk, tubuhnya langsung kaku seolah takut bayangan itu datang menjemputnya lagi.
Dan anehnya — bagian dari dirinya justru menunggu.
Ia benci dirinya sendiri karena itu.
Bagaimana mungkin ia menunggu seseorang yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak, seseorang yang menciptakan rasa takut sekaligus rindu dalam satu tarikan napas?
Malam itu, ketika semua orang sudah tidur, Nayara duduk di tepi ranjangnya, menatap langit-langit kamar yang gelap.
Hujan turun pelan di luar sana, dan setiap tetesan air yang jatuh di atap seperti mengingatkannya pada detak waktu yang tak berhenti.
Ponselnya bergetar di meja.
Satu pesan masuk.
“Besok jam tujuh malam. Datang ke taman belakang rumah besar. Kalau nggak, aku yang datang ke rumahmu.”
Jari Nayara bergetar, ingin segera memblokir nomor itu, tapi entah kenapa, tubuhnya malah kaku.
Ia tahu suara siapa yang ada di balik pesan itu.
Ia tahu maksudnya.
Dan ia tahu — jika ia menolak, pria itu pasti benar-benar akan datang.
Nayara menatap ponselnya lama.
Kali ini tidak ada air mata, tidak ada amarah, hanya keheningan panjang dan dada yang terasa semakin berat.
Ia tahu apa pun yang terjadi besok malam, akan menjadi titik baru dalam hidupnya.
Mungkin ia akan benar-benar lepas.
Atau mungkin justru semakin tenggelam.
Di sisi lain kota, di ruang kerjanya yang remang, Alaric menatap layar laptop tanpa benar-benar membaca.
Tangannya memutar-mutar pulpen, bibirnya melengkung samar.
Ia tidak tahu kenapa setiap kali ingin melupakan gadis itu, sesuatu di dalam dirinya justru menariknya kembali.
“Kamu menang, Nayara…” gumamnya pelan, sebelum menutup laptop.
“Kamu bikin aku kehilangan akal.”
Ia meneguk sisa kopi dinginnya, berdiri, lalu berjalan ke arah jendela besar.
Di luar sana, hujan masih turun — tapi senyumnya semakin tipis dan berbahaya.
Karena dalam pikirannya, permainan ini tidak akan pernah berakhir.
...----------------...
...----------------...
...----------------...
Keesokan harinya ketika langit malam masih diselimuti awan kelabu ketika Nayara berdiri di depan taman belakang rumah besar itu.
Udara dingin setelah hujan membuat bahunya menggigil, meski jaket tipis telah melekat di tubuh.
Lampu taman berpendar redup, menyoroti jejak air di bebatuan yang basah.
Suaranya sunyi — terlalu sunyi — sampai setiap detak jantung Nayara terdengar seperti gema.
Ia datang.
Meski bagian terbesar dalam dirinya menolak, tetap saja kakinya melangkah ke sini.
Seolah tubuhnya dikendalikan sesuatu yang lebih kuat dari logika — sesuatu yang bahkan tak bisa ia pahami.
“Aku benci ini…” bisiknya lirih.
Sebelum sempat menarik napas lagi, suara langkah kaki terdengar.
Berat. Teratur.
Langkah yang sangat ia kenal.
Alaric muncul dari balik bayangan pohon, jaket hitamnya basah di bahu, dan wajahnya datar seperti biasa.
Namun di balik tatapan itu, Nayara bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam — campuran amarah, obsesi, dan entah apa lagi yang bahkan membuat udara di sekitar mereka ikut menegang.
“Kamu datang,” suara Alaric berat, dalam, nyaris seperti bisikan yang menggema di kepala Nayara.
“Aku kira kamu bakal nekat kabur.”
Nayara menunduk, jari-jarinya meremas ujung jaket.
“Kalau aku kabur, kamu bakal datang ke rumahku, kan?”
Alaric tersenyum tipis — bukan senyum hangat, tapi senyum yang membuat Nayara mundur setengah langkah.
“Kamu udah paham caraku,” katanya pelan, mendekat satu langkah.
“Dan kamu tahu kenapa aku minta ketemu.”
“Kenapa kamu terus ganggu aku?” Suara Nayara bergetar, tapi ia mencoba menahan pandangannya agar tidak lari.
“Aku cuma mau hidup normal. Aku nggak ganggu kamu, Kak.”
Alaric mendekat lagi, jarak di antara mereka kini hanya beberapa langkah.
“Normal?” ulangnya pelan, dengan nada seolah mengejek.
Nayara menggigit bibir, menahan air mata.
“Kenapa kakak nggak bisa lupain aja semuanya?”
Hening.
Lalu suara tawa rendah terdengar dari Alaric, bukan tawa bahagia — tapi tawa getir seseorang yang justru menyadari bahwa dirinya pun terjebak.
“Aku juga nggak tahu, Nayara. Aku udah coba. Tapi setiap malam aku tutup mata, bayangan kamu selalu ada.”
“Dan makin aku pengen lepas, makin aku pengen… punya kamu sepenuhnya.”
Nayara menelan ludah, langkahnya mundur lagi, tapi tumitnya membentur kursi taman di belakangnya.
Ia terperangkap.
Alaric hanya menatap, tak menyentuh, tapi tatapan itu saja sudah cukup membuat Nayara kehilangan arah.
“Aku nggak mau jadi mainan kamu…” suaranya nyaris tak terdengar.
Alaric menunduk sedikit, suaranya pelan namun tajam,
“Kamu bukan mainan, Nayara. Tapi kamu juga bukan seseorang yang bisa aku biarkan pergi.”