Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia yang bersamaku
“Pinjam baju bocah dari mana kamu, Aira?”
Ya, itu adalah ibuku, yang selalu punya komentar tentang pakaian orang. Sebenarnya, cuma yang dekat dengannya saja yang bisa mendapat komentar seperti itu, karena kalau orang lain, mungkin ibu akan disebut sok alim atau dibenci.
“Ini outfit, Bu!” jawab Aira sambil sedikit mundur menjauh dari ibu, menahan rasa canggung.
“Outfit apa?? Ini baju anak umur enam tahun ke bawah, Aira! Mentang-mentang badanmu kecil, jadi sebebasnya berpakaian. Ganti cepat!” seru Asih sambil melipat tangan, matanya tajam menatap Aira.
“Atuh, enggak sexy, Bu,” sahut Aira pelan, suaranya mengecil seperti takut dimarahi.
“Sexy-sexy! Nanti kalau digoda dan dicolek laki-laki siapa yang nangis?? Siapa bilang laki-laki sama saja?! Padahal dirimu yang menggoda mereka dengan memperlihatkan bagian tubuhmu sendiri. Dasar si Nining, anaknya dibiarkan seperti ini. Kemana ibu mu?” Asih terdengar semakin kesal, pipinya memerah.
“Ibu tadi lagi ngedate,” jawab Aira cengengesan, mencoba menenangkan suasana.
“Astagfirullah haladzim, sudah tua masih ngedate. Punya teman gitu amat. Zulaikha, kamu jangan mengikuti tren sekarang. Memalukan!” Asih mulai menenangkan dirinya sambil duduk, mengambil minum.
Dia memang seperti itu, tapi tidak ada yang disakiti dari kata-katanya. Aira sudah terbiasa, karena kami bersahabat, bahkan orang tua kami juga bersahabat.
“Kami pamit dulu, Bu,” kata Zulaikha sambil salim, mencoba mencairkan emosi ibu.
“Jaga dirimu baik-baik ya, pulang langsung nikah!” seru Asih saat Zulaikha melenggang pergi.
“Badanmu jaga!” teriak Asih lagi saat Aira salaman.
“Siap, Ibu! Aman! Aww,” cengir Aira sambil mengusap pahanya, sedikit kesal karena mendapat cubitan dari Asih.
“Ibu mah, entar disangka di cup*ang om-om lagi,” ringis Aira sambil menyusul Zulaikha, menahan tawa malu.
Asih menggeleng, memandang anak-anak zaman sekarang, martabatnya seperti tidak dihargai.
“Semoga kamu bertemu dengannya, Zulaikha,” kata Asih sambil tersenyum lembut, penuh doa.
....
Jodoh itu memang tak terduga, tapi ya, kita hanya bisa berdoa. Seperti di drama-drama, semoga berjodoh dengan orang yang bisa menghargai kita. Amazing…
“Apa setiap tahun seperti ini?” tanya Zulaikha saat menatap gedung reuni tahun ini.
“Tidak. Tapi sekarang spesial karena gedung ini milik teman seangkatan kita,” jawab Aira sambil tersenyum, membuka pintu masuk gedung.
“Mewah ya… ada acara apa saja?” tanya Zulaikha sambil berjalan, diikuti Aira yang melangkah cepat di sampingnya.
“Ngobrol, cerita-cerita tentang kehidupan, cerita jodoh, pekerjaan, masih banyak lagi. Yang penting makanannya banyak dan bikin kenyang,” ujar Aira, membuat Zulaikha tersenyum sambil mengangguk pelan.
“Soal makanan saja tersenyum lo,” kata Aira. Zulaikha hanya membalas dengan cengiran tipis.
Gedungnya megah, penuh dengan teman seangkatan mereka. Bahkan aku sudah lupa sebagian orangnya, bukan karena mereka tidak penting, hanya saja kapasitas memoriku terbatas.
Aira dan Zulaikha duduk berdua, menikmati minuman halal yang dingin.
“Nih, gue kasih tahu ya. Lo kan baru keluar dari gua, dan bahkan punya sosmed pun gak berguna. Lo ingat Mira kan, si ibu Kudanil itu? Dia sekarang langsing dan cantik, tapi bukan alami,” jelas Aira. Zulaikha mengangguk, mengingat Mira.
“Sedangkan Rifal, gebetan gue, baru cerai kemarin, dan kita lagi pendekatan sekarang,” tambah Aira dengan wajah kegirangan, matanya berbinar saat bercerita tentang Rifal, cowok dari sekolahnya yang ia sukai.
“Lo tahu Yusuf Anggara, anak pindahan di kelas sebelah?!” Zulaikha sedikit mengingat, lalu menggelengkan kepala.
“Dia sekarang sukses, punya pusat perbelanjaan sendiri, bahkan jadi tempat favorit anak-anak muda buat belanja,” jelas Aira.
“Apakah iya? Apa namanya? Maksudnya nama tokonya” tanya Zulaikha, penasaran.
“Zu—”
“Zulaikha Almaira, anak Kudanil gue! Apa kabar, Lo kampret?” Tiba-tiba Jono nimbrung dan mau meluk Zulaikha.
“Heh, heh, Lo mau kena Bogeman gue?” Zulaikha sedikit mendorong Jono.
“Pelit amat, Lo!” Jono pura-pura ngambek.
“Ijin sama ibu gue!” Jono langsung menciut saat mendengar ibu Zulaikha.
Dia memang sering main ke rumah, tapi selalu dicereamhin ibu karena terlalu banyak bercerita tentang pacarnya.
“Sekolah dulu yang bener, terus kerja. Emang beli beras bisa pakai cinta?” ibu menasihatinya.
“Kan terima apa adanya, ibu sayang?”
“Tidak ada terima apa adanya, Jono. Emang menurutmu cewek kalau gak punya duit mau sama kamu? Jarang, Jono.”
“Iya, ibu. Aku kerja dulu, nanti cari pacar pas sudah punya semuanya,” sahut Jono pasrah.
“Harus begitu. Jadi walau tampang pas-pasan, duit miliaran tetap dihargai,” kata ibu.
“Dilihat dari ekpresi Lo ,sepertinya trauma banget sama ibu gue?!” tanya Zulaikha saat Jono membayangkan masa sekolahnya.
“Enggak juga, cuma suaranya bikin kuping gue budeg dadakan,” jawab Jono tertawa dan di ikuti oleh kedua temannya.
Mereka berdua memang memiliki seribu ekpresi sedangkan Aku bahkan ingin mengungkapkan ekpresi sedikit pun susah kecuali ekpresi yang tiba-tiba muncul begitu saja . Misalnya ,saat memikirkan sesuatu malah menangis , tapi saat si Jono di cakar kucing waktu di sekolah, aku tidak bisa tertawa seperti yang lainnya mungkin terlalu lambat otakku atau entahlah. Sudahlah itu tidak penting bukan, mungkin karena terlalu cuek di sekitaran saja.
...
Yusuf Anggara…
Zulaikha selalu memperhatikannya. Pembukaan reuni sudah selesai, dan Yusuf Anggara menjadi pusat perhatian.
Siapa dia?
Sepertinya aku tahu…
Kini Zulaikha duduk sendiri, sementara Jono dan Aira menikmati pesta reuni, berjoget dan berdansa.
“Apa kamu tidak mau gabung dengan mereka?” tanya Yusuf tiba-tiba di samping Zulaikha.
“Hah!” Zulaikha terkejut, membuat Yusuf tersenyum.
“Kamu memang tidak banyak berubah, Zuzu!” kata Yusuf, membuat Zulaikha menautkan alisnya.
“Apa aku mengenalmu?” pertanyaan Zulaikha malah membuat Yusuf tersenyum lebih lebar.
“Ya, besok aku akan ke rumahmu!” kata Yusuf, lalu pergi meninggalkannya.
“Heh, apa maksudmu?” Zulaikha berdiri ingin menghentikannya, tapi gugup memegang tangan lelaki itu. Bukan sok alim, tapi sudah terbiasa dikekang ucapan ibu, jangan bersentuhan dengan laki-laki kecuali muhrim.
Zulaikha belum pernah bekerja setelah lulus sekolah. Hanya membantu bisnis nasi uduk di warteg ibu. Ada yang aneh memang, ibu tidak pernah menyuruhnya bekerja, cuma berkata:
“Untuk apa bekerja, jika uangmu cukup setahun ke depan.”
Kenapa baru kepikiran sekarang?
Apa ada yang di rahasiakan Ibunya darinya ?
Tapi apa ??
Bikin pusing kepala saja, untuk apa harus dipikirkan
....
“Bu, tumben makanannya banyak dan enak-enak?!” kata Zulaikha sambil menyomot ayam krispi.
“Buat menantu ibu!” sahutnya, membuat Zulaikha memperlambat kunyahannya.
“Menantu apa?” tanya Zulaikha, tapi diabaikan.
“Bapak? Ada apa sih?” Zulaikha mulai penasaran, mendekati bapaknya yang duduk di sofa.
“Waktumu sudah tiba, Zulaikha?” ucap bapak lembut.
Kenapa ucapan bapak membuatnya sedih?
“Maksudnya?” tanya Zulaikha penasaran.
“Akan ada lelaki yang melamarmu hari ini, dan mungkin secepatnya menjadikanmu istrinya,” perkataan bapak membuat Zulaikha seperti tersambar petir.
“Kenapa mendadak?” tanya Zulaikha, menatap bapak dan ibu yang baru selesai menata makanan.
“Sebenarnya sudah lama. Hanya saja kami belum bilang karena dia belum kembali ke sini. Sekarang dia sudah kembali,” jawab ibu, sambil mengelus kepala Zulaikha.
“Dia?! Siapa maksud Ibu?” Zulaikha panik.
“Kamu mungkin mengenalnya, hanya saja otakmu tidak bisa mengingatnya,” jawab Asih.
“Boleh aku menolaknya?” Asih menggeleng.
“Aku selalu menuruti perkataan ibu, tapi sekarang aku akan menolaknya. Aku tidak mengenal lelaki itu, ibu, jadi aku akan menolaknya,” kata Zulaikha kecewa.
“Kamu bisa menolaknya, tapi apa dia akan menerima penolakanmu?”
“Kenapa dia tidak bisa menerima penolakan? Apa dia tidak laku sama wanita cantik, modis, dan sexy?! Kenapa harus melamarku?” Zulaikha bingung.
“Karena sebenarnya dia sudah melamarmu sejak sekolah dulu,” perkataan orang tua membuat Zulaikha ingin pingsan.
“Sejak sekolah? Apa dia om-om tua bangka itu? Apa dia—”
“Apa aku terlihat seperti om-om, Zuzu?” Zulaikha langsung mengalihkan pandangannya. Orang tuanya pergi meninggalkannya, meninggalkan emosi Zulaikha yang memuncak.
“Apa Lo yang akan melamar gue? Berani banget Lo melamar gue? Siapa Lo?” Zulaikha langsung menghampiri Yusuf, suara gemetar.
“Yusuf Anggara, calon suamimu!” sahutnya dengan senyum sabar, melihat decakan Zulaikha.
“Mata Lo buta? Gak lihat gue seperti apa? Atau karena Lo gak laku sama perempuan, atau Lo—”
Zulaikha gemetar saat Yusuf mendekat, reflek menjauh.
“Jangan dekat-dekat!” Zulaikha menolak, tapi Yusuf memegangi pinggangnya.
“Kurang ajar! Ibu dia menyentuhku!” Zulaikha tiba-tiba pingsang, panik luar biasa.
“Dasar aneh!” ucap Yusuf tersenyum, bukannya panik malah menatap wajah Zulaikha dengan lembut.
“Zulaikha Almaira, kamu adalah milikku!”