Di tengah kekacauan ini, muncullah Black Division—bukan pahlawan, melainkan badai yang harus disaksikan dunia. Dipimpin oleh Adharma, si Hantu Tengkorak yang memegang prinsip 'hukum mati', tim ini adalah kumpulan anti-hero, anti-villain, dan mutan terbuang yang menolak dogma moral.
Ada Harlottica, si Dewi Pelacur berkulit kristal yang menggunakan traumanya dan daya tarik mematikan untuk menjerat pemangsa; Gunslingers, cyborg dengan senjata hidup yang menjalankan penebusan dosa berdarah; The Chemist, yang mengubah dendam menjadi racun mematikan; Symphony Reaper, konduktor yang meracik keadilan dari dentuman sonik yang menghancurkan jiwa; dan Torque Queen, ratu montir yang mengubah rongsokan menjadi mesin kematian massal.
Misi mereka sederhana: menghancurkan sistem.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Selesai
Adharma tidak menunggu. Keputusan telah dibuat, dan takdir pengorbanan telah dipilih. Begitu ia melihat Harlottica (Tika) berteriak dengan air mata di balik kilauan kristalnya, Darma tahu ia harus segera membersihkan medan perang agar Tika bisa melaksanakan perintah evakuasi.
Adharma berbalik, cerulit kembarnya berputar. Amarahnya kini bukan lagi amarah dendam yang liar, melainkan amarah yang terorganisir—sebuah mesin pembunuh yang sangat efisien dan dingin.
Sepuluh pasukan GATRA yang tersisa sudah mengepung Tika, rentetan peluru mereka mengenai perisai kristal merah muda Tika, membuat sang Ratu Kristal terhuyung.
"Tika, MUNDUR!" teriak Adharma.
Tika, meskipun syok, segera melompat mundur, memberinya ruang. Adharma melesat ke depan, bergerak sangat rendah dan cepat di antara tembakan laser GATRA. Cerulit di tangan kanannya memotong pergelangan tangan dua boneka GATRA secara bersamaan, membuat senjata mereka jatuh. Cerulit di tangan kirinya menghantam kepala boneka ketiga, membelahnya.
CRASH! WHIRR! CLANG!
Kecepatan Darma melumpuhkan mereka. Dalam tiga detik yang terasa seperti keabadian, tujuh boneka GATRA terakhir roboh. Adharma tidak membunuh mereka dengan sekali hantam; ia melumpuhkan sendi vital dan sensorik mereka, mengubah mereka dari prajurit menjadi tumpukan sampah logam yang merintih. Ia melakukannya dengan cepat, brutal, dan ekonomis.
Ia menoleh ke arah Tika yang kini berdiri mematung di tengah asap dan debu. Tika terengah-engah, kristalnya meredup karena kelelahan emosional dan fisik.
"Ambil senjata yang bisa kau bawa, Tika," desis Adharma, tanpa melihat mata Tika, fokus pada cerulitnya yang meneteskan oli hitam. Ia merampas senapan plasma GATRA dan beberapa frag grenade dari salah satu mayat.
"Darma, kau... kau janji tidak akan mati," bisik Tika, suaranya dipenuhi tangis tertahan.
Adharma akhirnya menoleh. Di balik topeng tengkoraknya, Tika tahu tatapan Darma sedang berjuang melawan air mata dan trauma. Itu adalah ekspresi rasa terima kasih terakhir.
"Aku akan kembali," kata Adharma, suaranya serak. "Aku sudah janji pada anakku, aku tidak akan mati sebagai Guntur Darma. Aku akan mati sebagai Adharma yang menyelesaikan tugasnya."
Tika tahu janji itu bohong, tetapi ia harus percaya. Darma adalah satu-satunya jangkar emosionalnya di dalam tim ini.
Dengan sisa kekuatan kristal di tubuhnya, Tika mengangkat kedua tangannya. Tanah di depan mereka bergetar. Energi pink yang lembut, yang kini terlihat menyedihkan karena kegentingan situasi, memancar ke atas.
KRAKKK!
Tembok kristal merah muda setinggi sepuluh meter dan tebal dua meter menjulang, memisahkan sisa-sisa pasukan GATRA yang lumpuh dengan area tempat Yama dan Nadira terkapar. Tembok itu tidak dimaksudkan untuk bertahan selamanya, tetapi untuk membeli waktu selama lima menit.
"Ini pertahanan terakhir kita, Darma," kata Tika, bahunya terkulai. "Kau harus memanfaatkannya."
Adharma hanya mengangguk, lalu berbisik, "Terima kasih, Tika. Sekarang, pergi. Selamatkan Yama dan Nadira. Mereka lebih berharga."
Tika tidak berani menoleh ke belakang. Ia berlari ke arah Yama dan Nadira, air mata menghapus debu di wajahnya.
Adharma segera mengambil posisi pertahanan, mengarahkan senapan plasma GATRA ke angkasa, tempat Kaiser Jatindra (MIA) sedang mengejar kontainer yang perlahan diangkat.
Dari angkasa, suara Gunslingers (Edy) terdengar panik. "MIA semakin dekat! Dia di bawah kargo! Dia akan menyentuhnya dalam 30 detik!"
Torque Queen (Melly) balas berteriak, suaranya terasa tegang. "Daya tahan Jet Pack kami tinggal 30%! Kami tidak bisa terbang lebih cepat atau lebih jauh dari ini, Edy!"
Adharma tidak bicara. Ia menarik pelatuk senapan plasma curiannya. ZAAAP! ZAAAP!
Dua tembakan energi plasma yang kuat melesat ke angkasa, menghantam kaki MIA yang sedang melesat. Kaiser terkejut, peluru itu berhasil mengganggu kecepatannya, memaksanya sedikit melambat untuk menstabilkan diri.
"Siapa lagi ini!?" raung Kaiser, suaranya dipenuhi kemarahan murni, dan ia menoleh ke bawah. Ia melihat Adharma sendirian, cerulit di tangan dan senapan plasma di bahu.
"Jangan buang waktu untukku, MIA!" teriak Adharma melalui neuro-link. "Fokus pada kargo!"
"Darma, jangan bodoh! Dia akan mengabaikanmu!" teriak Edy.
"Aku tahu!" balas Adharma. "Tapi sekarang kalian berdua punya waktu 30 detik ekstra! Fokus pada kargo, Edy! Fokus!"
Edy merasakan tekanan dari Darma. Darma telah memberikan segalanya, dan Edy harus menghormati pengorbanan ini. Gunslingers mengangguk, suaranya kembali dingin dan strategis. "Dipahami, Darma. Kami fokus. Hati-hati. Jangan mati sia-sia."
Di darat, Harlottica telah mencapai Yama dan Nadira. Yama masih berlumuran darah di rusuknya, sementara Nadira masih memeluk sisa biolanya yang hancur.
"Kita harus pergi sekarang!" perintah Tika, suaranya keras. Ia berjuang keras menahan tangisnya.
"Aku... aku tidak kuat berdiri, Tika," kata Yama, memegang rusuknya. Wajahnya pucat pasi.
"Kau harus kuat, Yama! Kau harus hidup untuk memperbaiki rumusmu!" Tika mencengkeram lengan Yama. "Darma mempertaruhkan nyawanya untuk kita! Keputusan ini menyakitkan, tapi heroik! Kita harus menghormatinya dan pulang dengan selamat! Sekarang, bergerak!"
Nadira mengangkat kepalanya. Ia melihat ke arah tembok kristal yang memudar dan Adharma yang berdiri sendirian di bawah ancaman Kaiser. Kehilangan biola membuatnya kehilangan sebagian besar identitasnya, tetapi kata-kata Tika menyentuh harga dirinya.
"A-aku akan berjalan," kata Nadira, dibantu Tika. "Yama, bersandarlah padaku. Kita harus pergi. Demi Darma."
Dengan rasa sakit yang tak terperi, dua otak Black Division itu mulai berjalan menjauh, dibantu oleh Harlottica yang perisainya kini hanya sebatas kulit.
Di tengah medan perang, Adharma menyadari bahwa tembakan plasmanya hanya efektif untuk memperlambat, bukan melumpuhkan. Kaiser, setelah dihantam plasma kedua, memutuskan untuk mengabaikan kargo sejenak. Ia melihat Adharma sebagai gangguan yang harus segera disingkirkan.
Kaiser berbalik, matanya yang oranye menyala intens. Ia melesat turun ke darat dengan kecepatan mengerikan.
Adharma tahu ia harus mencari cara agar Kaiser tidak sempat kembali ke udara. Matanya liar, memindai tumpukan mayat GATRA yang ia lumpuhkan. Ia melihatnya: Jet Pack Darurat yang terintegrasi di punggung salah satu boneka GATRA.
"Tidak ada waktu untuk berpikir, Darma," bisiknya pada dirinya sendiri.
Adharma berlari ke arah boneka GATRA yang terdekat. Ia menggunakan cerulitnya untuk mencabut paksa Jet Pack itu dari tubuh GATRA, memotong kabel dan harness logam dengan brutal. Dalam sepersekian detik, Darma memasangkan alat curian itu ke punggungnya. Jet Pack GATRA itu terlalu besar, tidak pas dengan trench coat dan GearSpine Darma, tetapi ia tidak punya pilihan.
Saat Kaiser Jatindra melesat mendekati daratan dengan kecepatan yang memekakkan telinga, Adharma mengaktifkan Jet Pack curiannya.
FSSSSSHHH!
Darma melesat ke atas, menembakkan dirinya kembali ke angkasa, tepat menuju jalur terbang Kaiser.
Di angkasa, Gunslingers berteriak di headset. "Darma! Apa yang kau lakukan!? Itu Jet Pack GATRA, tidak stabil!"
Melly hanya bisa menatap ngeri dari kokpit Jet Pack-nya.
Kaiser yang terkejut melihat Adharma, tiba-tiba harus menghadapi lawan yang bergerak secara vertikal.
Adharma tidak menggunakan senjata. Ia fokus pada satu serangan, sebuah upaya putus asa untuk melumpuhkan Kaiser agar kargo bisa lolos.
BAM!
Tendangan GearSpine Adharma yang diperkuat oleh dorongan Jet Pack menghantam dada Kaiser Jatindra dengan kekuatan penuh. Tendangan itu adalah kombinasi dari dorongan mesin dan kekuatan regenerasi super Adharma.
KRAKK!
Meskipun armor serat karbon Kaiser tidak retak, gaya kinetik dari tendangan itu sangat besar. Kaiser terhuyung, sistem stabilizer-nya berbunyi peringatan. Ia terlempar jauh, menabrak udara, dan jatuh ke bawah, ke tengah padang gurun.
Saat Kaiser jatuh, Adharma menembakinya dengan senapan plasma GATRA, menghujaninya dengan tembakan energi panas.
"SEKARANG, EDY! MELYY! PERGI DENGAN SEGENAP DAYA!" teriak Adharma, mendarat dengan kasar di daratan, Jet Pack GATRA di punggungnya berasap dan hampir hancur.
Gunslingers melihat Kaiser jatuh, dan ia melihat Adharma berdiri tegak di tengah padang gurun. Edy membuat keputusan. Ia mematikan Sniper-Armnya, mengarahkan Jet Pack-nya ke kecepatan penuh, dan terbang menjauh, membawa kargo ke zona aman.
"Aku percaya padamu, Darma!" teriak Edy, sumpah seorang prajurit.
Adharma melihat kargo itu menjauh. Misi berhasil.
Ia berbalik, cerulitnya diacungkan, menghadap asap tebal tempat Kaiser Jatindra jatuh.
Kaiser bangkit dari debu, armornya sedikit hangus oleh tembakan plasma, tapi intinya tidak terluka. Ia melihat Adharma, sendirian, dengan Jet Pack GATRA yang berasap dan usang di punggungnya.
"Kau menghalangiku, manusia," ujar Kaiser, suaranya kini dipenuhi kegembiraan yang mengerikan, seolah ia menemukan mainan baru yang menarik. "Kau memiliki nyali, aku akui itu. Kau datang untuk mati."
Adharma melepaskan senapan plasma-nya, hanya menyisakan cerulit kembarnya. Ia menarik topeng tengkoraknya sedikit ke atas, mengungkapkan senyum dingin dan pasrah yang tak pernah dilihat siapa pun sejak Dwi meninggal.
"Mungkin," balas Adharma. "Tapi jika aku mati, aku akan membawamu ke neraka bersamaku. Aku tidak peduli pada hidup atau mati. Aku peduli pada pertarungan ini. Selesaikan dengan cara yang terhormat. Kau dan aku. Satu lawan satu."
Kaiser Jatindra, MIA, si prajurit yang kehilangan jiwanya, merasakan dorongan motivasi yang telah lama hilang. Ia menerima tantangan itu. Pisau tempurnya diayunkan, siap untuk pertarungan hidup dan mati.
"Seperti yang kau minta, Adharma."
Dua sosok itu—satu terbuat dari baja, satu terbuat dari amarah dan regenerasi—saling melesat.
BAM!
Mereka bertemu di tengah gurun, tinju Kaiser yang dilapisi serat karbon menghantam cerulit Darma. Gelombang kejutnya membuat debu pasir terangkat.
Bersambung....