"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.
Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.
Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.
"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.
Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19
Malam itu, Irvana berjalan dengan langkah pelan namun lebar. Ia masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin, kemeja dan celana hitam_dengan rambut berantakan serta jambang yang mulai lebat.
Diskotek terbuka di pasar malam sudah ramai. Lampu warna-warni menari di udara, sementara pasangan-pasangan bergoyang riang di tengah dentuman musik. Irvana yang baru tiba segera mengambil sebotol minuman, lalu menyiramkannya ke wajah sendiri hingga bagian dada kemejanya ikut basah.
Begitu melangkah ke tengah lantai dansa, ia mulai berjoget santai, membuang botol kosongnya sembarangan. Musik semakin keras, dan Irvana ikut larut. Ia menggoyangkan pinggulnya, mengangkat ujung kemeja, lalu menggigitnya hingga perut sixpack nya terlihat jelas di bawah cahaya lampu.
Seorang wanita yang melihat itu langsung menghampiri, mengusap perut Irvana sambil ikut bergoyang menggoda. Irvana tertawa lebar, membiarkan gadis lain mengusap wajah serta jambangnya, lalu menari bersama. Dalam sekejap, beberapa wanita di sekeliliingnya mengikuti gerakannya, bergoyang mengikuti arah dan ritme dari tubuh Irvana.
Di antara keramaian, Irvana menarik Gilang ke tengah lantai dansa. Keduanya berjoget bebas dengan penuh tawa. Gadis-gadis di sekitar mereka bersorak, tak puas hanya melihat Irvana sebentar. Salah satu dari mereka menariknya kembali, membuka kemejanya hingga tubuh kencangnya terlihat di bawah cahaya lampu yang berkerlap-kelip.
Gadis itu_yang tampak begitu menyukai Irvana_melompat ke pelukannya. Irvana dengan cepat menangkap dan menggendongnya di depan tubuh pria itu, masih dengan irama musik yang menggema. Mereka terus berjoget, larut dalam euforia pesta malam itu.
~
Namun di tempat lain, sebuah mobil mewah berwarna putih melaju pelan di jalan berliku malam itu. Entah ke mana tujuannya, mobil itu terus mengikuti tikungan tajam hingga akhirnya berhenti di depan diskotiik pinggir jalan.
Kaca mobil bagian belakang perlahan turun. Dari baliknya, tampak seorang wanita melongok ke luar, menatap keramaian pesta di depan sana. Musik, cahaya, tawa, dan tarian liar menari di matanya.
Wanita itu adalah Raisa.
Dia baru kembali ke kotanya setelah tiga tahun menikah dan tinggal di luar negeri bersama suaminya. Tapi malam itu, pandangannya membeku. Raut wajahnya campur aduk antara kecewa, terkejut, dan tak percaya.
Di hadapannya, pria yang dulu ia kenal lembut dan lugu, kini menari tanpa baju, dikelilingi gadis-gadis nakal, tertawa tanpa beban seolah hidupnya tak pernah terluka.
Irvana tak melihatnya. Dalam keadaan mabuk, ia masih saja menari, mencoba bersenang-senang demi ulang tahun Gilang malam itu.
Raisa terdiam lama sebelum akhirnya berkata pelan kepada sopirnya, "Jalan, Pak."
Mobil pun perlahan menjauh dari keramaian. Raisa menatap kosong ke luar jendela, membiarkan bayangan Irvana yang menari di bawah lampu itu terus terpantul di matanya.
"Irvana-- maafkan aku," bisiknya dalam hati.
Air mata menetes pelan di pipinya, bersamaan dengan dentuman musik yang kian menghillang dari kejauhan.
Pagi harinya, Irvana masih terlelap di atas kursi di halaman rumahnya. Sisa mabuk semalam membuatnya enggan membuka mata. Namun, langkah Gilang yang berlari terhenti begitu melihat Irvana tertidur di sana. Dengan antusias, ia segera membangunkan sahabatnya hingga membuat Irvana terkejut.
"Heh! Irvana! Heh, bangun! Cepat bangun!"
Irvana membuka matanya malas, menatap Gilang dengan wajah kesal.
"Ck! Ada apa sih? Ganggu aja! Pergi sana!" gerutunya sambil memalingkan wajah.
"Yakin, kamu tidak mau dengar kabar bahagia ini?" tanya Gilang sambil menaik-turunkan alisnya menggoda.
"Apa? Semua kabar sama saja bagiku, tidak ada yang spesial," jawab Irvana datar. Ia kembali memejamkan mata, mencoba melanjutkan tidur yang sempat terganggu.
"Ya sudah, kalau kau tidak mau tahu kabar tentang Raisa,” ucap Gilang pura-pura acuh sambil melangkah pergi.
Mata Irvana sontak terbuka lebar mendengar nama yang selama ini menyiksa hatinya. Ia langsung bangun dan bergegas menahan lengan Gilang sebelum sempat melangkah lebih jauh.
"Apa katamu? Kabar tentang siapa?" tanyanya cepat.
"Yaaa-- penasaran, yaaa?" goda Gilang sambil terkekeh.
"Cepat katakan!" bentak Irvana hingga membuat bibir Gilang menciut dan buru-buru menjawab.
"Iya, iya! Raisa sudah kembali. Dia ada di rumah Dharma sekarang. Semalam dia sempat melihatmu di diskotik, tapi dia--”
Belum sempat Gilang menyelesaikan kalimatnya, Irvana sudah berlari mencari motornya. Ia langsung menyalakannya dan melesat pergi, meninggalkan Gilang yang hanya bisa menghela napas panjang.
"Hadeeeh-- dasar. Giliran cewek aja langsung nyosor, dari tadi dibangunin susah," gerutunya sambil menggeleng pasrah melihat sahabatnya pergi dengan motor kesayangannya.
~~
Pagi itu, suasana di rumah Dharma terasa tenang dan hangat.
Raisa baru saja selesai mandi. Uap air masih menempel lembut di kulitnya saat ia berdiri di depan cermin, menyisir rambut hitam panjangnya yang masih sedikit basah.
Di tubuhnya terbalut tunik berwarna merah marun, sederhana tapi memancarkan keanggunan yang tak bisa disembunyikan. Beberapa perhiasan kecil berkilau di leher dan pergelangan tangannya, menambah pesonanya yang lembut.
Di ruang kerja, Dharma duduk dengan wajah serius. Tangannya bergerak cepat menandatangani beberapa berkas, ditemani suara jam dinding yang berdetak pelan. Hingga tiba-tiba--
**Bruuum... Bruuum... Bruum**...
Suara motor meraung keras dari luar rumah, menembus dinding kesunyian pagi itu.
Dharma berhenti menulis. Wajahnya mengeras.
Sedangkan Raisa spontan menoleh ke arah jendela, wajahnya tegang. Ia mengenali suara itu. Terlalu akrab, terlalu menyakitkan.
Sementara di luar sana, Irvana duduk di atas motornya dengan mata merah dan wajah kusut. Tangannya memelintir gas dengan brutal. Suara mesin meraung seperti amarah yang tak bisa diredam.
Dharma bangkit dari kursi, napasnya berat. Baru saja ia hendak keluar, langkahnya terhenti di dekat kamar putrinya. Di sana, Raisa berlari, hendak menerobos keluar dengan wajah panik dan air mata yang mulai menitik.
"Raisa!" suara Dharma bergemuruh memenuhi rumah. "Diam di dalam! Jangan berani keluar dan menampakkan dirimu di hadapannya!"
"Tapi, Pah. Aku--"
"Masuk!" bentaknya lagi, kali ini lebih keras, membuat Raisa terhenti dan menunduk.
Dengan langkah gontai, Raisa kembali ke kamar. Dharma menutup pintu dan menguncinya dari luar.
"Jangan paksa Papah marah lebih dari ini," katanya dingin, lalu berbalik pergi.
Kepada asistennya yang selalu mengekor, Dharma memberi perintah tegas tanpa menatap,
"Telepon polisi. Sekarang juga."
Langkah Dharma terdengar berat tapi pasti. Begitu tiba di teras, ia langsung melihat Irvana di halaman. Pria itu masih saja meraungkan motornya, seolah ingin mengguncang dunia agar Raisa mendengarnya.
Dengan dada membara, Dharma menghampirinya. "Hey! Apa yang kau lakukan di rumahku?! Ini rumah orang, bukan kandang hewan! Kau pikir ini tempatmu, hah?!"
Irvana tidak menjawab. Matanya tetap menatap ke atas, ke arah jendela kamar Raisa. Nafasnya naik-turun, emosinya meledak tanpa arah.
"Raisaaa!!! Keluar, Raisaaa!!!" teriaknya sekuat tenaga.
"Dengarkan aku, Bajingan!" balas Dharma lantang. "Putriku tidak akan menemuimu lagi! Dia sudah bahagia bersama suaminya sekarang!"
Tapi Irvana tidak menggubris. Ia hanya menggertakkan gigi, lalu menatap langit. Suaranya kembali menggema, lebih putus asa dari sebelumnya.
"Raisaaa!!! Keluarlah!!! Raisaaa!!!"
Di balik jendela, Raisa berdiri gemetar. Ia menatap Irvana dari balik kaca. Suara motor itu menusuk telinganya, tapi lebih dari itu\_namanya, yang diteriakkan Irvana, menembus dada wanita itu.
Tangannya terangkat, menyentuh kaca jendela. Ia ingin membuka, ingin keluar, ingin berlari memeluk pria yang selama ini hidup di dalam rindunya. Tapi tubuhnya tak sanggup bergerak.
"Irvana--" bisiknya pelan. "Aku sangat merindukanmu."
Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya. "Bahkan sampai saat ini-- namamu masih melekat di hatiku."
Di bawah sana, Irvana menatap ke atas, menunggu\_berharap Raisa akan keluar seperti dulu. Tapi yang menyambutnya hanyalah bayangan samar di balik kaca.
Hening seketika.
Hanya suara mesin motor yang masih meraung, perlahan melemah\_seperti hatinya yang telah hancur.
...----------------...
**Next Episode**...
oh cintaaaa
kumaha ieu teh atuh nya
lanjut
badai akan segera d mulai
hm
lanjut
haruskah