Dua orang sahabat dekat. Letnan satu Raden Erlangga Sabda Langit terpaksa harus menjadi presiden dalam usia muda karena sang ayah yang merupakan presiden sebelumnya, tutup usia. Rakyat mulai resah sebab presiden belum memiliki pasangan hidup.
Disisi lain presiden muda tetap ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Sebab desakan para pejabat negara, ia harus mencari pendamping. Sahabat dekatnya pun sampai harus terkena imbas permasalahan hingga menjadi ajudan resmi utama kepresidenan.
Nasib seorang ajudan pun tak kalah miris. Letnan dua Ningrat Lugas Musadiq pun di tuntut memiliki pendamping disaat dirinya dan sang presiden masih ingin menikmati masa muda, apalagi kedua perwira muda memang begitu terkenal akan banyak hitam dan putih nya.
Harap perhatian, sebagian besar cerita keluar dari kenyataan. Harap bijaksana dalam membaca. SKIP bagi yang tidak tahan konflik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Kejutan.
Bulan berganti, Bang Lugas waswas memikirkan Dena. Ia sungguh takut Dena Hai, bukan kerena tidak menginginkan nya, malah ia sangat menginginkan nya. Tapi mengingat usia Dena yang masih terlalu muda membuatnya tidak tega. Ia tidak ingin Dena merasa terkekang dan tidak bisa menikmati masa-masa cerianya. Gadisnya itu baru saja lulus SMA itu pun di kelas kejar paket.
Bang Lugas pun bergegas menuju apotek untuk membeli sesuatu. Ingatannya terus terbayang pada keadaan malam itu, keadaan dirinya yang sulit menguasai diri saat bersama Dena, apalagi Nadine bilang padanya bahwa tanggal datang bulannya sudah terlewat empat hari.
...
"Kamu tau, ini benda apa?"
"Ta_uuu.. Kertas kan, Bang???" Jawab Dena pasti.
Bang Lugas membuang nafas. Sesuai dugaan, Dena tidak paham dengan apa yang di bawanya.
"Ya sudah, ayo masuk ke kamar mandi sama Abang. Nanti Abang tunjukan cara pakainya..!!"
~
Lagi-lagi Bang Lugas membuang nafas. Masih ada garis satu di tangannya. Terurai kembali kelegaan dalam hatinya.
'Alhamdulillah'.
"Memangnya kalau garis satu kenapa, Bang?" Tanya Dena.
"Kamu belum hamil, sayang."
"Memangnya Abang nggak senang kalau Dena hamil????" Celetuk Dena membawa wajah cemberutnya.
Bang Lugas paham, Dena pasti salah belum memahami situasi yang terjadi. "Suatu saat pasti akan mengerti. Abang bukannya tidak mau. Hanya menundanya saja."
Tanpa melihat hasil testpack yang ada, Bang Lugas pun melemparnya ke tempat sampah namun Dena melihat ada bentuk yang berbeda disana. Garisnya ada dua namun samar.
"Abang beli lima buah. Masih ada sisa empat. Kalau belum yakin, besok pagi di ulang lagi. Hasil paling akurat hanya bisa di dapat pada pagi hari." Jawab Bang Lugas sambil meletakan sisa testpack di atas meja.
"Abang, seperti tadi Dena lihat garis dua. Seandainya garisnya ada dua, Abang senang atau tidak??"
"Seandainya pun garisnya dua, Abang tetap Alhamdulillah. Mau apalagi, setelah menikah pasti kita akan mendambakan hadirnya momongan di tengah pernikahan."
***
Usai bangun dari tidurnya, Dena mencoba kembali testpack tersebut lalu meninggalkannya karena akan menyiapkan sarapan pagi untuk Bang Lugas.
Tidak ada acara masak memasak berat, hari ini akan ada acara bazar di lapangan Batalyon. Bang Lugas sudah memintanya untuk beli saja semalam melaksanakan perputaran ekonomi Batalyon.
"Nggak usah buat sarapan, dek. Kamu saja nanti jangan lupa sarapan. Abang minta di siapkan kopi hitam saja sudah cukup." Kata Bang Lugas saat melihat Dena sibuk dengan perapiannya.
"Iya, Bang. Kopi Abang sudah Dena siapkan di meja."
"Terima kasih banyak, sayang. Setelah ini Abang langsung berangkat. Nanti Abang tunggu di kantor ya..!!" Pamit Bang Lugas. "Hati-hati, cepat cari Abang ya..!!" Bang Lugas mengecup kening Dena kemudian beralih pada perutnya. Satu kecupan dan ucapan kecil yang menenangkan.
...
Lapangan Batalyon sudah ramai. Acara santai pagi ini lumayan meriah. Bang Lugas mencari-cari keberadaan Dena namun tak juga nampak batang hidungnya.
"Ijin, Abang.. Ada yang ingin bertemu." Laporan Letnan Nasrul.
"Siapa?" Tanya Bang Lugas.
Letnan Nasrul mendekat dan membisikkan nama di telinga Bang Lugas. "Serda Nadine."
~
Jujur Bang Lugas terkejut melihat perut Nadine yang nampak besar tapi ia berusaha tenang menghadapinya.
"Nadine hamil, Anak Abang." Ujarnya.
Bang petir di siang bolong, kepala Abang rasanya mau pecah mendengarnya.
"Saya terus mencari kamu. Saya tau seberapa besar kesalahan yang saya lakukan. Kenapa kamu baru bilang sekarang dan dalam keadaan seperti ini, kenapa kamu datang di saat saya sudah menikah???????" Ucap Bang Lugas kesal dengan kenyataan ini.
"Nadine bingung, Bang, Nadine juga takut. Tapi setelah Nadine yakin dan memastikan Nadine hamil, barulah Nadine berani mencari Abang." Jawab Nadine.
"Saya sudah pernah bilang, akan bertanggung jawab apapun tentang keadaanmu. Tapi sekarang apapun itu, saya tidak bisa berbuat apapun lagi kecuali anak itu."
Nadine terisak isak, ia bingung berkata-kata. Nadine pun keluar dari ruangan. Tak di sangka Dena berdiri disana dan sekilas menatap wajah Bang Lugas kemudian menyusul Nadine berlari.
"Mbak, tunggu..!!!!!!"
"Dek.. jangan lari-larian, sayang..!!!!" Teriak Bang Lugas.
Teriakan itu membuat Nadine merasa tidak lagi mendapat perhatian sedangkan Dena menyangka Bang Lugas masih menyimpan perasaan dengan Nadine.
Nadine yang kalap berlari dan hendak melompat ke dalam kolam renang tentara sedalam tiga setengah meter, kolam khusus pelatihan anggota sebelum menuju medan tempur.
Melihat situasi memanas, apalagi juga mulai ikut-ikutan, Bang Lugas panik dan berteriak. "Cukup.. Kita bicara..!!!!!!"
Bang Lugas mencekal tangan Dena agar tidak lari menyusul ke sekitar kolam renang.
"Apalagi, Nadine sudah hancur......." Kata Nadine.
"Kamu dan saya sama-sama salah. Tapi kamu sendiri yang lari saat saya mengejarmu untuk bertanggung jawab. Sekarang saya sudah menikah, istri saya hamil. Meskipun kamu melompat, saya menolongmu.. Saya tidak akan pernah memilih kamu lagi. Saya akan tetap memilih Dena." Ucap tegas Bang Lugas.
Nadine menundukkan kepalanya, air mata juga mulai membasahi pipinya. "Nadine... Nadine tidak bermaksud untuk menghancurkan kebahagiaan Abang," jawabnya lirih. "Nadine hanya ingin anak ini memiliki seorang ayah. Nadine tidak ingin dia tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah."
Kini Dena yang terisak-isak mendengarnya. Ia tidak tau harus berbuat apa. Terlalu sesaknya memikirkan permasalahan, tiba-tiba saja Dena merasakan kepalanya serasa berputar dan pandangannya menjadi gelap. Ia limbung, jatuh pingsan menimpa Bang Lugas.
.
.
.
.