NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 19 Pertemuan

Lya memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah mengirim pesan pada Ben. Ia dan Leo tengah berhenti sejenak di sebuah SPBU untuk mengisi bahan bakar. Saat menunggu, Lya baru teringat bahwa ia belum sempat memberi tahu Ben tentang rencananya pulang ke kampung. Ia hanya berharap Ben tidak berusaha mencarinya hari ini. Ia baru menghubunginya sekarang, ketika matahari sudah tinggi—waktu yang cukup lama untuk membuat Ben panik karena tak bisa menghubunginya.

“Lya, ayo! Kita lanjutkan perjalanan.”

Suara Leo memanggil dari dekat mobil, sementara Lya masih duduk di depan minimarket. Ia segera berdiri, menghampiri mobil itu, dan tubuhnya secara refleks bergerak menuju kursi penumpang di samping kemudi. Begitu duduk, ia menyalakan AC secukupnya lalu mematikan ponselnya agar baterainya tidak habis di tengah jalan.

“Kau sudah menghubungi pacarmu?” tanya Leo sambil ikut masuk. Gerakannya tenang namun terbiasa; tangannya terulur memakaikan sabuk pengaman untuk Lya. Tubuhnya yang besar terpaksa harus sedikit membungkuk, membuat jarak di antara mereka sempat begitu dekat sesaat. Setelah memakaikan Lya sabuk, Leo tidak lupa memakai sabuk pengaman pada dirinya sendiri.

Lya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Leo. “Sudah,” ujarnya singkat. Leo hanya membalas dengan anggukan kecil, tanpa menambahkan sepatah kata pun.

Roda mobil kembali berputar, membawa mereka menyusuri jalan yang kian mendekati rumah. Kelopak mata Lya mulai terasa berat; kantuk perlahan menjemput. Namun, demi menghargai Leo yang masih fokus menyetir, ia berusaha tetap terjaga. Sayangnya, tubuhnya tak lagi sepenuhnya patuh. Kepalanya terus terombang-ambing tanpa kendali—kadang ke depan, kadang ke belakang, lalu ke samping hingga sesekali membentur kaca jendela.

“Tidurlah, Lya. Ini ada bantal leher, pakai saja,” ujar Leo sambil menyerahkan bantal yang ia raih dengan mudah dari kursi belakang—keuntungan dari tangan panjangnya.

“Tidak apa? Kau tidak akan ikut mengantuk, kan?” tanya Lya, setengah khawatir.

Leo tersenyum tipis. “Kalau pun menabrak, setidaknya kita bersama di akhir hidup, bukan?” ucapnya ringan—meski entah kenapa, dari mulut Leo, kalimat itu tak terdengar sepenuhnya seperti candaan.

Lya hanya terkekeh kecil, memilih tidak menanggapinya. Ia mengenakan bantal leher itu, menyandarkan kepala, dan membiarkan kantuk perlahan menariknya pergi. Dalam hitungan menit, napasnya mulai teratur, menandakan ia sudah terlelap.

Yang Lya tidak tahu, setelah ia terlelap nyenyak, Leo perlahan menepikan mobil ke bahu jalan. Matanya menatap Lya cukup lama, tatapan sulit didefinisikan, sebelum tangannya perlahan meraih wajahnya, mengangkatnya sedikit agar lebih mudah dilihat.

Leo mencondongkan tubuhnya, mendekat. Jarak wajah mereka begitu tipis, seakan ia hendak mencium teman masa kecilnya itu—namun akal sehatnya menahan langkah itu; seseorang yang sedang tidur bukanlah target untuk keinginan seperti itu.

Ia menahan diri. Sebagai gantinya, hanya kening mereka yang bertemu, dan dalam momen itu, Leo seolah mencari ketenangan dari perempuan yang tidur dengan napas tenang itu.

Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Leo menarik wajahnya perlahan. Tangannya kembali menempel di kemudi, kaki menekan pedal, dan mobil pun melaju kembali di jalan yang cukup sepi.

Leo menyalakan musik dengan volume rendah. Lagu lembut mengalun, dan sesekali ia menoleh ke Lya yang tidur dengan tenang. Senyum tipis menghiasi wajahnya—wajah yang sangat ia rindukan. Wajah itu mengingatkannya pada mantan kekasih yang telah tiada, namun kini, melihat Lya, hatinya terasa lebih tenang. Tidak ada lagi gejolak obsesi yang menghantuinya seperti beberapa waktu terakhir.

Sebagai gantinya, pikirannya justru tertuju pada seorang pria berambut merah yang beberapa hari lalu sempat ia lukai. Entahlah. Ia tak pernah berniat bersikap kejam pada pria yang pernah menyelamatkan nyawanya itu, tapi perasaan Leo setelah dihampiri sang ayah membuat pikirannya benar-benar kacau. Pertemuan mereka pun berakhir buruk, meninggalkan rasa bersalah dan kegelisahan yang sulit ia hapus hingga detik ini.

Pertemuan Leo dengan pria bersurai merah itu memang tidak berkesan. Awalnya, pria itu mendekatinya dengan maksud buruk, sehingga Leo hanya memberinya pelajaran. Namun sejak di rumah sakit, pria itu terus muncul—entah dari mana—mengaku sebagai wali dan merawatnya. Tanpa mengeluh, hanya wajah antusias yang selalu muncul saat menceritakan tentang dirinya.

Namun wajah antusias itu hancur dalam pertemuan terakhir mereka. Leo tak bisa melupakan air mata yang mengalir dari mata pria yang ia anggap kuat itu. Di luar dugaan, teman satu malamnya itu cukup mudah menangis, dan Leo—entah bagaimana—menjadi penyebabnya.

Leo berniat menghubungi pria itu nanti, setelah ia menyelesaikan perasaannya terhadap Lya dan menyelesaikan masalah keluarganya hari ini. Ia mungkin akan kembali lagi ke kota rantau, tempat pria bersurai merah itu berada, untuk bertemu dengannya dengan maksud memperbaiki hubungan mereka.

Leo merasa seolah menemukan seseorang yang ingin ia masukkan ke dalam dunia kecilnya. Selain Lya, selain Anna yang telah tiada. Memikirkan hal itu membuatnya tersenyum geli; ia tak pernah menyangka hatinya bisa tergerak oleh seorang pria bodoh yang bahkan namanya pun tidak begitu ia ingat.

***

Hanya beberapa menit terasa begitu panjang sebelum Leo dan Lya tiba di kota kelahiran mereka. Leo menyetir dengan tenang, mengikuti jalan menuju rumah Lya dan rumahnya sendiri yang kebetulan bersebelahan. Karena itu, arah pulang mereka sama persis—itulah sebabnya Ayah Lya meminta Leo untuk mengantar putrinya.

Sesekali, Leo melirik ke kaca spion tengah. Ia menyadari ada mobil yang tampaknya mengikuti mereka sejak memasuki kota. Tatapannya menjadi tajam, curiga yang ia rasakan terasa masuk akal.

Hingga mereka mendekati rumah, mobil itu masih setia menguntit. Akhirnya, mereka berhenti di sebidang tanah lapang dekat rumah Leo—lahan parkir yang sengaja disediakan untuk beberapa mobil keluarga Leo.

Begitu mobil terparkir, Leo segera turun. Gerakannya yang cukup berisik itu otomatis membangunkan Lya. Mata Lya yang semula linglung kini membelalak, bingung menyaksikan arah langkah Leo yang cepat menghampiri mobil yang berhenti tepat di samping mobil mereka.

Di luar mobil, Leo tak menunjukkan sedikit pun rasa damai. Tanpa ragu, ia menendang roda mobil itu, memaksa pemiliknya—yang identitasnya belum ia ketahui—untuk menurunkan kaca.

Tak lama kemudian, kaca menurun, memperlihatkan sosok Ben dan seorang perempuan yang Leo kenal: Lulu.

Alis Leo mengernyit, heran sekaligus curiga. “Kalian… mengikuti kami?” tanyanya tegas.

Ben tertawa canggung sebelum menutup jendelanya, lalu segera membuka pintu mobil dan keluar. Lya, yang ikut turun dari mobil Leo, terkejut melihat Ben dan Lulu. Dengan langkah sedikit tergesa, ia menghampiri ketiganya, tubuhnya secara otomatis mendekati Ben terlebih dahulu.

”Apa yang kau lakukan di sini, Ben?” tanya Lya.

”Maaf... Aku tidak bisa berpikir jernih sejak pagi karena tidak bisa menghubungimu... jadi aku memaksa temanmu untuk menunjukan jalan ke rumahmu...”

Ternyata Ben memang mencarinya sejak pagi. Harapan Lya agar Ben tidak mencarinya benar-benar meleset; kekasihnya itu bahkan menempuh perjalanan tiga jam hanya untuk sampai ke kampung halamannya.

Namun perhatian Lya tak hanya tertuju pada Ben. Matanya terus berpindah antara Lulu dan Leo, rasa cemas menyelimuti hatinya. Lya tahu betul, hubungan Leo dan Lulu tidak pernah harmonis sejak mereka masih SMA.

Ia teringat, Lulu pernah menangis karena Leo, meski ia tak tahu penyebab pastinya. Lulu pun tak pernah mau menceritakan hal itu padanya.

Dan benar saja, Lulu hanya berdiri canggung, sebisa mungkin menghindari menatap Leo. Lya menghela napas panjang.

“Leo, terima kasih sudah mengantarku… Kau bisa pulang ke rumahmu dan istirahat. Ben dan Lulu tamuku, jadi aku akan menyambut mereka,” ucapnya dengan nada tenang tapi tegas.

Leo mengernyit, awalnya tidak suka. Matanya menatap dua sosok—Ben dan Lulu—yang benar-benar tidak ia sukai. Meski perasaannya terhadap Lya tak lagi bergejolak seperti sebelumnya, kebiasaannya menaruh rasa tidak suka pada orang-orang yang dekat dengan Lya tetap ada. Dari lubuk hatinya, ia masih menganggap mereka sebagai ancaman bagi dunia kecilnya—dunia yang hanya ia dan Lya huni.

Namun saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti perkataan Lya. Leo melangkah ke bagasi mobilnya, menurunkan barang-barangnya dan tas ransel Lya. Ia menyerahkannya kepadanya tanpa sepatah kata, lalu melangkah berat menuju rumahnya sendiri, meninggalkan trio yang masih berdiri mematung di lahan parkir itu.

“Kalau begitu… kalian mau masuk? Aku akan seduhkan teh untuk kalian,” ucap Lya sejurus kemudian. Ben dan Lulu mengangguk serentak, lalu mengikuti Lya menuju rumahnya.

Di depan pintu sudah berdiri seorang pria paruh baya dengan perawakan agak kurus, berbeda dari yang Lya ingat terakhir kali.

“Aku pulang, Ayah,” ucap Lya sambil sedikit membungkuk di depan pria yang ia panggil Ayah.

Ayah Lya mengangguk, kemudian menatap Ben dan Lulu yang berdiri di belakang putrinya secara bergantian. Ben membalas dengan anggukan kecil, sementara Lulu diam.

Perempuan bersurai cokelat itu tahu betul watak Ayah Lya. Dari cerita masa lalu Lya, sosok pria itu jelas meninggalkan kesan buruk di matanya. Ayah Lya-lah yang membuat Lya memiliki trauma lama, bekasnya kini masih terlihat jelas di leher putrinya. Pria itulah yang membuat Lya harus terus mengenakan kerah tinggi meski di cuaca yang panas sekali pun.

“Selamat datang. Kalian teman Lya, bukan? Anggaplah rumah ini seperti rumah sendiri,” ucap sang Ayah. Suaranya terdengar tegas, namun ada nada lemah yang tak bisa disembunyikan. Ben pun menyadari ekspresi Ayah Lya yang tampak kurang hidup.

“Lya… Ibu berada di kamar. Ayo, sapa dia sebentar,” ajak sang Ayah kepada putrinya.

Lya mengangguk sekali. “Baik, Ayah.”

Lya dan Ayahnya pun pergi menuju kamar Ibunya, meninggalkan Ben dan Lulu berdua di ruang tamu. Beberapa kue sudah tersaji di atas meja kecil di depan mereka. Mata Ben sempat bertemu dengan Lya sesaat, sebelum akhirnya Lya menghilang memasuki ruangan lain.

Di kamar, Lya melihat Ibunya terbaring lemah di ranjang, tubuhnya kurus tak bertenaga.

“Sakit apa?” tanya Lya, memecah keheningan. Nada suaranya dingin, seolah tak memiliki perasaan apa pun setelah melihat kondisi Ibunya yang lebih buruk dari yang ia duga.

“Kata dokter, ibumu demam dan sakit kepala. Sudah beberapa hari kondisinya tetap seperti ini,” jelas Ayah.

Lya hanya mengangguk. Ia melangkah mendekati ranjang, mengulurkan tangan, dan menggenggam tangan kurus Ibunya. Kasarnya kulit itu terasa jelas di tangannya.

“Aku pulang, Ibu…” ucap Lya, membangunkan Ibunya yang semula tertidur.

Penglihatan Ibunya masih rabun pada awalnya. Ia menangkap sosok Lya, seperti sosok yang telah lama dirindukannya. Bibir keringnya perlahan bergerak, membisikkan satu kata yang sempat tidak terdengar jelas oleh Lya maupun Ayahnya.

“Apa itu?” tanya Lya lagi, penuh ingin tahu.

“Selamat… datang, Anna… akhirnya kamu kembali…”

***

Ben melihat Lya keluar dari kamar. Ia ingin menghampiri, jika saja tidak melihat wajah kekasihnya yang kusut itu. Lya berjalan keluar rumah tanpa memperdulikan keberadaan Ben dan Lulu di ruang tamu.

Ayahnya menyusul dari belakang, ikut keluar dari kamar namun tidak mengikuti Lya keluar dari rumah. Pandangannya hanya tertuju pada putrinya yang semakin menjauh, dengan ekspresi yang sulit didefinisikan—setidaknya begitu menurut Ben.

“Aku akan menyusul Lya…” ujar Ben, memecah keheningan. Tanpa menunggu lama, kakinya melangkah lebar, menyusul Lya yang sudah cukup jauh di depan.

“Lya, tunggu aku!” panggil Ben, berharap suaranya cukup untuk menghentikan langkah Lya yang tampak tak berniat berhenti. Terik matahari di atas kepala membuat peluh mengalir deras di wajahnya.

Ketika suaranya seolah tak terdengar, Ben mempercepat langkahnya. Kaki panjangnya memudahkan jarak antara dia dan Lya cepat terpangkas. Akhirnya, setelah berhasil menyusul, Ben menggenggam tangan Lya, menghentikan langkah perempuan itu yang juga telah dibanjiri keringat dan menatap kosong ke depan.

“Lya…” panggil Ben lirih, tangannya perlahan menyeka keringat di wajah Lya dengan ujung lengannya. “Apa yang terjadi, hmm?” tanyanya sambil menyesuaikan tinggi tubuh mereka, sedikit menekuk lutut agar sejajar dengan Lya. Matanya menatap wajah Lya yang kini mulai fokus kembali.

Di detik berikutnya, amarah tampak di wajah Lya. Ia menggigit bibir, urat di wajahnya menegang, dan tangannya mengepal erat.

“Kenapa baru sekarang?” gumamnya pelan, namun penuh rasa tersinggung.

“Lya? Jangan gigit bibirmu begitu…” Ben mencoba menenangkan Lya yang tampak kalut. Dengan hati-hati, jarinya menyentuh bibir Lya, membuka sedikit mulutnya agar tidak semakin dalam ia menggigit sendiri.

“Kenapa baru sekarang mereka memperhatikan Kak Anna? Ketika dia sudah tiada! Kenapa baru sekarang mereka seakan menyayangi anaknya… sampai kurus begitu! Kenapa baru sekarang!” Lya teriak, suaranya penuh amarah dan kepedihan. Terik matahari semakin membuat wajahnya terasa panas. Keringat semakin membasahi tubuhnya. Asap seperti dapat keluar dari kepalanya.

Ben terus berusaha menenangkan amarah Lya. Ia melakukan hal-hal kecil—menyeka keringatnya, menggenggam tangannya dengan lembut—agar kukunya tidak mencakar kulitnya sendiri.

Ben menatap Lya yang perlahan mulai menenangkan diri, tangannya masih erat menggenggam tangan perempuan itu. Di bawah terik matahari yang mulai meredup tertutup awan putih yang tebal, keduanya terdiam sejenak—antara kemarahan, kepedihan yang membaur.

Mata Ben dan Lya bertemu, Ben berharap bisa menyalurkan ketenangan pada Lya. Lya menatap wajahnya dengan pedih. Perlahan, ekspresinya melembut; amarah yang membara kini tergantikan oleh rasa sakit yang sulit dijelaskan, meninggalkan keheningan yang berat namun penuh makna.

“Ayo kita berteduh dulu, ya Lya? Keringatmu terlalu banyak menetes…” usul Ben. Lya tetap diam, tak menjawab. Dengan tenang, Ben menarik tangannya, membimbingnya menuju pepohonan rindang di dekat situ.

Mereka duduk di tanah, bersandar pada pohon besar yang kokoh. Ben menatap langit biru yang cerah, sesekali melirik wajah Lya, yang masih tampak menyusun pikirannya. Pandangan mereka bergantian antara langit dan satu sama lain, sunyi namun penuh arti.

Di bawah naungan pohon yang rindang, Ben dan Lya duduk dalam diam—keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sunyi yang mengikat mereka terasa berat, namun sekaligus menenangkan. Ben menunggu dengan sabar, tanpa sepatah kata pun, sampai kekasihnya siap bercerita. Hanya suara peluh yang terus menetes, meski mereka kini sudah berada di bawah bayangan pohon yang melindungi dari terik matahari siang itu.

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!