Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 20
💠 Versi Revisi
---
Pagi itu terasa berbeda.
Udara masih segar, tapi ada hawa dingin yang tidak berasal dari cuaca. Alea menuruni tangga dengan langkah pelan, seolah takut menimbulkan suara di rumah yang tiba-tiba terasa asing.
Di ruang makan, Faizan sudah duduk. Wajahnya datar, dingin, seperti biasa—tatapan kosong pada secangkir kopi yang belum disentuh.
“Pagi, Mas Faiz…” suara Alea nyaris seperti bisikan yang gugur di udara.
Faizan tidak menoleh. Hanya gumaman singkat keluar dari bibirnya. “Hem.”
Ibu Maisaroh yang duduk di sampingnya melirik tajam, memberi isyarat agar putranya bersikap lebih manusiawi. Tapi Faizan tetap diam, pandangannya tak beranjak dari kopi yang kini mulai mendingin.
Alea duduk di seberang, tangannya meremas ujung gaun tidurnya. Teh di depannya masih mengepul, tapi tak sanggup menghangatkan dada yang terasa sesak.
“Faiz…” suara Ibu Maisaroh memecah keheningan. “Mama harap mulai hari ini kamu bisa bersikap lebih baik pada Alea. Dia istrimu, ibu dari anakmu. Apa susahnya memberi sedikit ketenangan untuknya?”
Faizan menatap ibunya, mata itu dingin tapi menyimpan kelelahan. “Faiz sudah bilang, Mah. Faiz akan bertanggung jawab. Tapi jangan paksa Faiz berpura-pura semuanya baik-baik saja.”
Alea menunduk. Kata-kata itu seperti duri yang menembus dadanya. Ia tahu Faizan masih marah karena masa lalu, tapi mendengar nada dingin itu langsung darinya terasa seperti dipukul di tempat yang sama berulang kali.
“Faiz,” suara Ibu Maisaroh mengeras, “Mama nggak minta kamu pura-pura bahagia. Mama cuma minta kamu berhenti menghukumnya dengan sikapmu.”
Tanpa menjawab, Faizan bangkit dari kursinya. “Faiz harus ke kantor, Mah. Ada meeting pagi ini.”
Ia lalu melangkah pergi, meninggalkan dua perempuan itu dalam diam.
Alea menatap punggung Faizan sampai menghilang di balik pintu. Ada luka di sana, ada marah, tapi juga tekad—bahwa ia tak akan menyerah semudah itu.
🌆 Beberapa jam kemudian, di kantor
Suasana kantor berjalan seperti biasa: sibuk, kaku, dan penuh formalitas. Faizan langsung menuju ruangannya, membuka laptop, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan.
Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar di pintu.
“Pak Faizan, ada tamu yang ingin bertemu,” ucap sekretarisnya dari balik pintu.
“Saya nggak ada jadwal tamu hari ini. Bilang saya sibuk.”
“Dia bilang namanya Nadia, Pak.”
Gerakan tangan Faizan seketika berhenti. Pandangannya berubah tajam. “Suruh dia masuk.”
Pintu terbuka perlahan.
Nadia melangkah masuk, anggun tapi tegang. Wajahnya tampak tenang, namun matanya menyimpan sesuatu—campuran amarah dan kerinduan yang belum sembuh.
“Faiz,” katanya pelan. “Kita perlu bicara.”
Faizan menyandarkan tubuh di kursinya, matanya menatap tajam. “Kalau kamu datang hanya untuk membicarakan masa lalu, sebaiknya—”
“Ini tentang masa lalu dan masa depan,” potong Nadia cepat. “Sesuatu yang nggak bisa kamu abaikan.”
Tatapan mereka saling mengunci. Ruangan terasa mengecil, udara menjadi berat oleh hal-hal yang belum terselesaikan.
Faizan menarik napas panjang. “Nadia… semua itu sudah selesai. Nggak ada gunanya diungkit lagi.”
Nadia tersenyum tipis. “Berakhir? Mungkin di pikiranmu, tapi bukan di hatiku.”
Faizan menahan diri agar tidak terpancing. “Aku nggak mau mengulang semuanya, Nad. Hidupku sudah cukup berantakan.”
“Makanya aku datang,” ucap Nadia lembut. “Karena aku percaya, orang yang dulu aku kenal masih ada di sini. Kamu cuma terlalu takut mengakuinya.”
Faizan terdiam. Bayangan masa lalu berkelebat sekilas—tawa, perjalanan, janji—semuanya muncul lalu lenyap dalam satu kedipan mata.
“Kamu salah, Nadia,” katanya pelan namun tegas. “Orang itu sudah nggak ada.”
Namun Nadia tidak mundur. “Kalau aku menyerah hari ini, aku mungkin kehilanganmu selamanya. Dan aku nggak siap untuk itu.”
Ia melangkah mendekat, suaranya merendah seperti bisikan. “Aku akan tetap di sini, Faiz. Sampai kamu sadar, kita masih punya kesempatan.”
Faizan menatapnya lama. “Kesempatan itu sudah mati, Nadia.”
Keheningan tebal menggantung di udara.
🚪 Ketukan kembali terdengar di pintu.
“Masuk,” suara Faizan terdengar datar.
Pintu terbuka perlahan.
Alea muncul, membawa tas kain berisi bekal makan siang. Senyum tipis sempat terbit di wajahnya, tapi langsung memudar ketika melihat ada wanita lain di ruangan itu.
“Mas Faiz…” suaranya pelan, nyaris goyah. “Ini… Ibu minta aku antarin makan siang buat Mas.”
Ia meletakkan tas itu di meja, berusaha tersenyum meski matanya menyiratkan kebingungan.
Faizan sempat melirik ke arah Nadia sebelum menatap Alea.
“Makasih, Alea. Seharusnya kamu nggak perlu repot datang ke sini. Aku nggak mau kamu capek—kasihan bayi kita nanti.”
Nada suaranya datar, tapi jelas ada penekanan, seolah kalimat itu bukan hanya untuk Alea, tapi juga untuk didengar seseorang yang lain.
Alea menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Mas. Ibu yang minta,” jawabnya tenang, meski di dalam hati ia mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. Sandiwara kecil itu terlalu jelas untuk tidak disadari.
Nadia masih berdiri di tempatnya, menatap Alea tajam. Ada rasa penasaran, ada penilaian, dan sedikit rasa tak terima.
Suasana menegang, hingga akhirnya Faizan memutuskan, “Nadia, kita sudah selesai. Maaf, aku ada urusan lain.”
Nadia menatapnya lama, matanya meredup. “Baiklah, Faiz. Tapi ingat… aku belum selesai.”
Ia lalu melangkah keluar, meninggalkan keheningan yang terasa berat.
Alea menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu beralih pada Faizan. “Mas… siapa dia?” tanyanya lirih, ragu, tapi tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Faizan menarik napas panjang, wajahnya tetap dingin seolah sedang menyembunyikan badai di dalam kepalanya. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas di tengah keheningan yang menekan.
“Kamu nggak perlu tahu siapa dia. Dan sekarang… pulanglah. Anggap saja kejadian tadi cuma sandiwara.”
Jleb.
Kata itu menggema di kepala Alea seperti petir di langit yang gelap.
Alea terdiam. Kata-kata Faizan seperti belati yang menusuk tanpa ampun. Sandiwara? Jadi semua sikap dinginnya selama ini… juga bagian dari itu?
...----------------...
Bersambung...
***
🌙 Hai, para pembaca setiaku! 🌙
Terima kasih banyak sudah sabar nungguin cerita ini. Semoga kalian selalu betah dan terus jatuh cinta sama alurnya sampai di bab 20 nya. I love you sekebon buat kalian semua! 🥰
Sampai jumpa di update selanjutnya, ya. Selamat malam dan selamat membaca! 🌟
See you, guys! 💌
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/