NovelToon NovelToon
Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Time Travel / Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Naniksay Nay

Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.

Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.

Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 – Tak Sama

Wisnu masih menatap kalung zamrud itu. Sebelum akhirnya ponsel di meja bergetar pelan, memecah keheningan kamar. Dia perlahan bangkit dari kasurnya.

Nada dering yang familiar membuatnya mendengus pelan. Ia menatap layar, “Kenanga”.

Alisnya terangkat.

“Kenanga…?” bisiknya lirih.

Sekilas, bayangan Kencana dalam mimpi tadi menari di benaknya, tatapan tajam, selendang yang berayun, dan suara lembut dibuat-buat.

“Kebetulan macam apa ini…” desisnya pelan, setengah tak percaya.

“Tumben Video call?” gumamnya heran.

Ia menjawab panggilan itu.

Begitu wajah adiknya muncul di layar, suara ceria langsung memenuhi ruangan.

“Mas Wisnu! Lama banget angkatnya. Baru bangun ya?” cerocos Kenanga sambil memiringkan kepala.

“Hei Mas, kok malah bengong? Ibuk mau ngomong, nih!”

Wisnu berkedip, seolah baru sadar.

“Ah, iya… iya. Bawel amat dari pagi,” gumamnya, tapi sudut bibirnya ikut terangkat.

Kenanga menoleh ke samping.

“Ibuk, sini lho. Udah diangkat sama Mas Wisnu. Di sini aja lampunya terang, biar Mas Wisnu kelihatan.”

Dari arah belakang terdengar suara lembut namun berwibawa.

“Sebentar, nduk. Pagi-pagi sudah teriak-teriak saja,” sahut sang ibu pelan.

Wisnu terdiam beberapa detik, hanya memandangi layar.

Pagi itu, sinar matahari memantul di rambut adiknya, dan entah kenapa, wajah Kenanga tampak begitu mirip dengan Kencana.

Bukan hanya rautnya, tapi juga caranya berbicara, caranya memiringkan kepala, bahkan senyum tipisnya.

Hatinya mendadak bergetar aneh.

“Mereka… tak mungkin sama,” gumam Wisnu pelan.

"Hallo, Le…”

Wajah Ibunya muncul di layar, senyumnya sumringah. Di sampingnya, tampak Bapak ikut duduk, wajahnya teduh seperti biasa.

“Ibuk, gimana kabar Ibuk dasambil menahan senyum.

“Baik, Le. Bagaimana di Solo? Betah?” tanya Bapak dengan nada hangat.

“Betah, Pak. Makanannya masih sama seperti di rumah,” jawab Wisnu, suaranya pelan tapi tulus.

Entah kenapa, hatinya terasa sedikit lega.

Bapaknya sama sekali tidak mirip Jagatpati, dan Ibunya pun tidak menyerupai istri sang adipati di mimpinya.

Hanya Kenanga… hanya adiknya itu yang terasa terlalu mirip Kencana.

“Le…” suara Ibunya memecah lamunannya, “kemarin kebun mangga kita sudah dipanen.”

“Mangga?” Wisnu spontan tertawa agak keras, masih teringat adegan dirinya kejatuhan mangga.

“Mas Wisnu! Malah ketawa sendiri!” protes Kenanga, memeluk Ibunya dari samping.

Wisnu cepat-cepat menahan tawa. “Maaf, Pak, Bu… kebetulan Wisnu sedang… emm, kepikiran mau beli mangga.”

Bapaknya ikut terkekeh kecil. “Tidak usah beli, Le. Ini malah mau Bapak kasih kabar— Pak Tris mau ke Solo besok, jadi Bapak titip mangga buat kamu.”

“Pak Tris? Tetangga depan rumah itu, Pak?” tanya Wisnu.

“Iya,” jawab Ibunya. “Katanya mau ke Kebun Binatang Jurug. Dekat dengan kampusmu, kan, Le?”

“Dekat, Bu. Tapi tidak perlu repot-repot, sungguh,” sahut Wisnu cepat.

Bapaknya hanya tersenyum. “Kamu kan dulu bantu Bapak nanem, jadi kalau panen ya harus ikut makan juga.”

Wisnu tertawa kecil. “Iya, Pak…”

Tapi di hatinya, kalimat itu terasa aneh.

Ia jelas mengingat, Wira juga memetik mangga, memakan bersama Puspa di bawah cahaya sore.

Dan kini, di dunia nyata, ia kembali mendengar tentang mangga.

“Ibu doakan cepat lulus ya, Le… Biar bisa segera kerja di tempat Pakdhe-mu. Pakdhe-mu itu lho, sudah nanyain terus, ‘Wisnu kapan daftar jadi dosen di sini?’” ujar Ibunya sambil tersenyum bangga.

Bapaknya menimpali, “Biarin Wisnu sendiri yang menentukan mau kerja di mana, Bu. Kerja itu cari gaji yang sepadan dan lingkungan yang nyaman.”

“Tapi, Pak…” Ibunya masih mencoba meyakinkan. “Kalau jadi dosen di kampus tempat Pakdhe-nya mengajar, kan dekat dengan kita.”

Bapaknya terkekeh. “Wisnu juga harus mikir masa depan, Bu. Harus menikah, membangun rumah tangga… Nggak selamanya di sini, kan?”

Kenanga langsung nyerocos, “Ini Bapak Ibu malah debat sendiri. Lagian siapa sih yang mau sama Mas Wisnu yang galak itu?”

“Hei hei! Lebih galakan kamu, Dek! Kamu itu Mas-nya deket sama siapa aja langsung curiga!” Wisnu tertawa melihat adik dan orang tuanya mulai ramai sendiri.

“Mas Wisnu…” Kenanga menatap nakal, “insting wanita itu kuat, lho. Yang deketin Mas Wisnu itu, pasti ceweknya gatel.”

“Hus! Saru!” seru Ibunya, mencubit pipi Kenanga pelan. “Eh, ngomong-ngomong, jadi kapan Ibu dikenalin pacarmu, Mas?”

“Belum ada, Bu…” Wisnu terkekeh, agak salah tingkah.

“Lha, sama anaknya Pak Tris aja, gimana? Siapa tuh… Nadin?” pancing Ibunya.

“Bu…” Wisnu tertawa kecil. “Tadi ngomongin kerjaan, sekarang jodoh…”

Bapaknya ikut menimpali sambil terkekeh, “Biar Wisnu milih sendiri, Bu. Ibu dulu juga kan mau dijodohin sama anak Pak Lurah, tapi akhirnya nikah sama Bapak.”

Ibunya langsung tertawa, “Lha ya emoh Pak…”

“Nah, ya sudah,” sahut Bapaknya. “Ibu saja dulu nggak mau dijodohin, apalagi anak-anak kita.”

Wisnu ikut tertawa. Rasanya hangat sekali melihat keluarganya bercanda seperti itu.

“Pak, Bu… tolong lemarinya Kenanga disidak deh,” katanya tiba-tiba dengan nada menggoda. “Jangan dibolehin pakai baju yang kurang bahan.”

“Apaan sih, Mas Wisnu!” protes Kenanga, matanya melotot. “Aku nggak pernah pakai baju kayak gitu!”

Bapaknya tertawa sampai terbatuk kecil. “Dia itu malah lebih sering pakai kaosmu yang gombrong, Le.”

“Apa?!” Wisnu kaget. “Pantesan tiap aku pulang, bajuku kok keliatan makin buluk, ternyata dipakai juga!”

“Bapak… Mas Wisnu jadi tahu kan…” Kenanga mendengus sambil manyun, tapi sudut bibirnya menahan tawa.

Wisnu ikut tertawa, Sebenarnya juga merasa lega.

Ia tahu, selama ini Kenanga, adik satu-satunya itu tidak pernah suka dengan pakaian yang terlalu terbuka atau seksi.

Jelas, dia berbeda dengan Kencana.

“Ya sudah, Le…” suara Ibunya terdengar lembut. “Ini Kenanga juga mau siap-siap sekolah. Hati-hati ya di Solo.”

“Iya, Bu. Bapak Ibu juga jaga kesehatan, ya… dan sabar ngadepin kelakuan Kenanga.” Wisnu tersenyum lebar.

Bapaknya tertawa pelan. “Nanti kalau Pak Tris sampai Solo, biar telepon kamu. Kalian janjian di mana gitu. Kalau bisa bawa temanmu, ya… Soalnya mangganya bukan satu dus.”

“Daa… daa, Mas Wisnu!” Kenanga tiba-tiba melet ke arah kamera, lalu cepat-cepat menekan tombol end call sebelum Wisnu sempat membalas.

“Ta—tapi Pak… satu dus…?” gumam Wisnu pelan, menatap layar ponselnya yang sudah gelap.

Ia terbayang harus menghabiskan satu dus penuh mangga sendirian selama seminggu.

Dan tanpa sadar, senyum kecil muncul di bibirnya.

Mangga lagi… pikirnya.

Wisnu meletakkan ponselnya pelan di meja. Suara tawa Kenanga dan ibunya masih terngiang samar di kepalanya, seperti gema yang menutup mimpi panjang yang belum benar-benar usai.

Ia menarik napas dalam, mengusap wajahnya yang masih terasa hangat karena tawa barusan.

Di hadapannya, buku catatan milik Nayla tergeletak terbuka. Wisnu menatapnya lama, lalu menarik kursi, duduk perlahan.

Ia membuka halaman baru. Pensil mekanik di tangannya mulai menari pelan, menuliskan baris demi baris catatan baru, lebih rapi, lebih sistematis dibanding tulisan Nayla yang cenderung terburu-buru.

Setelah kemarin dia menuliskan tiga batuan di mimpinya, dan ketiganya mirip bebatuan di Karangkamulyan. Kini ia melanjutkan pada bagian berikutnya.

“Sendang Pangurasan – tempat pemandian sakral dan khusus para pangeran.”

“Batu Palinggihan – seperti tempat untuk meletakkan sesuatu di luar sendang.”

“Alun-Alun Kerajaan Galuh – lokasi latihan prajurit dan arena ujian pangeran.”

Wisnu berhenti sejenak, menatap coretan tangannya. Setiap kata yang tertulis membuat bayangan dalam mimpinya terasa makin nyata, tanah lembab, suara bambu tertiup angin, dan wajah Puspa yang terbakar oleh cahaya senja.

Ia menghela napas, menutup mata sejenak, lalu membalik halaman.

Tepat di sana, di halaman yang pernah ditulis Nayla, ada kalimat yang membuatnya tercekat.

“Jagatpati merencanakan jebakan untuk Puspa.

Akhirnya Puspa difitnah dan dibakar tanpa pengadilan kerajaan.”

Wisnu menatap kalimat itu lama. Dadanya terasa sesak tanpa sebab. Ia menelusuri huruf demi huruf dengan ujung jarinya, mencoba memahami kenapa kalimat itu membuatnya begitu gelisah.

“Apakah… Kencana berani bertindak sejauh itu?” gumamnya lirih.

Ia bersandar di kursi, memejamkan mata, membiarkan pikirannya berkelana di antara realitas dan bayangan mimpi.

Sosok Kencana di mimpinya kembali muncul, mata tajam, senyum licin, tapi juga tatapan yang menyimpan rasa iri.

Kemudian ingatannya melompat ke Kenanga.

Wajah adiknya yang ceria, tawa kerasnya, gaya bicaranya yang blak-blakan… semua begitu berbeda dari Kencana. Tapi entah kenapa, bayangan dua sosok itu sekarang bertumpuk di benaknya.

“Kenanga pernah bertemu Nayla…” desis Wisnu pelan.

Ia ingat, waktu itu adiknya ikut Rendi ke kafe. “Apakah Nayla juga melihat kemiripan itu? Atau cuma aku yang berlebihan?”

Ia menatap ke arah tempat tidur. Rendi masih terlelap di kasur di belakangnya, mendengkur pelan dengan tangan memeluk guling.

“Coba nanti kutanyakan ke Rendi…” bisik Wisnu lagi, suaranya hampir tak terdengar.

Tapi kalimat itu menggantung di udara.

“Maaf, Nayla…” suara Wisnu nyaris tak terdengar, seolah takut mengusik keheningan pagi.

Ia menatap buku itu lama sebelum pandangannya beralih pada kalung zamrud di tangannya. “Ku harap kau mengizinkanku membawa kalungmu lagi. Setidaknya… sampai aku tahu bahwa Kencana tidak membuatmu celaka.” gumamnya yang ditujukan pada Nayla

Ia menggenggam batu itu perlahan.

“Tapi jika tulisanmu benar…” bisiknya lagi, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Bahwa Kencana yang membuat Puspa kehilangan nyawa…”

Ia menelan ludah, suaranya nyaris pecah.

“…aku harap kau hanya menganggapnya sebagai mimpi, Nayla. Jangan… jangan sampai kau turut membenci seseorang yang mungkin hanya mirip dengannya.”

1
SENJA
terserah nayla katanya 😂😂😂
SENJA
laaah yah memang sejarah kan gitu banyakan mitos, legenda dan bualan di banding berdasarkan penelitian, bukti konkrit dan sebagainya 😳😌
SENJA
wakaaka pasti bingunglah kamu ga masuk dalam mimpi 🤣
SENJA
naaah ga jelas kan ini cowok! usir nay! tuman nih orang ga tau malu! 🥴😤
SENJA
ck ... jangan lemah hati oiii ga bener itu orang 😤
SENJA
ahhh payah lu cemen! balas dulu penderitaan puspa! ratain kadipaten jagatpati 😳
Naniksay Nay: bentar kak..... nanti aja rata2innya🤣.....
total 1 replies
SENJA
terserah apa citamu tapi balas dulu kematian puspa! jagatpati harus mati jugalah
SENJA
hukum semua harusnya yang ada di kadipaten itu wira 😳
SENJA
jadi tempat puspa dibakar itu ibu kota kadipaten atau ibu kota galuh? lupa aku 😂 wilayah jagatpati ya?
SENJA
kamu harus tindak tegas itu jagatpati, ga beres ini 😤
SENJA
wilayah yang suram 🥱 kalau di jepang di jaman feodal juga mungkin ini wilayah Shinbata Katsuie yang kaku dan kejam 🥴 beda dengan wilayah Kinoshita Tokichiro yang bebas lepas apa adanya 😂
SENJA
naaah iya harus tegas! mau wilayah jagatpati kek kalau ga beres yah tegur 😌🥱
SENJA
sekarang jagatpati lagi keblinger 😂😂😂
SENJA
di wilayah sunda mungkin gelarnya rakeyan jadinya, kalau di jateng jatim dan wilayah lain rakai atau rakryan yah 🤔
Naniksay Nay: Tergantung pada literatur yang dibaca kak
Sejauh yang saya tahu, “Rakryan” dan “Rakeyan” merupakan dua bentuk ejaan yang sama-sama merujuk pada gelar kebangsawanan di Kerajaan Sunda.
Namun, “Rakryan” lebih sering digunakan dalam sumber-sumber historis, sedangkan “Rakeyan” kadang muncul dalam konteks yang lebih umum atau sebagai bagian dari nama tokoh tertentu.
Gelar tersebut digunakan di kerajaan-kerajaan Jawa dan Sunda pada masa lampau
total 1 replies
Naniksay Nay
🤭diawasi pun licin kaya belut kak🙏
SENJA
naaah ini harus extra pengawasannya 🤭😂
SENJA
daaaan ada kencana si ular beludak 😌
SENJA
kaya reels gitu yah di otak langsung 🤭
SENJA
kaya kamu nay 😁
Yoseph Kun
balik lah guys. puspa mau dibakar... dia wanita. bukan singkong 🤣🤣🤣
Naniksay Nay: 🤭bentar bara api nya belom besar
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!