Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Saat Moira melangkah masuk ke rumah besar keluarga Evander, suara langkahnya terhenti mendadak. Di ruang tamu, berdiri Tuan Evander, sang ayah, dengan wajah merah padam menahan amarah. Di sampingnya ada seorang gadis muda berpenampilan anggun, dengan senyum miring yang menusuk senyum yang jelas bukan ramah, melainkan penuh ejekan.
“Moira!” suara Tuan Evander bergemuruh.
Belum sempat Moira berkata apa-apa, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Tubuhnya terhuyung, pipinya panas, tapi matanya tetap menatap lurus, dingin.
Plakkkk!!
“Anda kenapa nampar saya hm?” suara Moira terdengar dingin.
Tuan Evander menunjuknya dengan tatapan penuh tuduhan.
“Jangan pura-pura sok dingin! Berani-beraninya kau bikin malu keluarga dengan berusaha membatalkan pertunanganmu dengan Arlend Kaiden Gavintara putra tunggal keluarga Bagaskara! Apa kau pikir keluarga kita bisa hidup kalau mereka menarik dukungan?”
Moira membeku. Nama itu Arlend Kaiden Gavintara tersimpan jelas dalam ingatannya yang baru. Jadi dia Tunangan Moira, lelaki yang terang-terangan merendahkannya, seolah dia hanyalah beban tak berharga.
Sementara itu, gadis di samping ayahnya dengan senyum puas menatapnya penuh kemenangan.
“Kasihan sekali, Moira,” ucapnya lembut namun menyengat. “Bahkan keluarga lo sendiri sudah tahu kalau lo tidak pantas untuk Arlend.”
Pipi Moira masih terasa perih, tapi hatinya sama sekali tidak runtuh. Sebaliknya, dalam hati Hanabi yang kini menjadi Moira, api menyala semakin besar.
Jadi ini permainan kalian? Kalian pikir Moira Evander akan terus jadi korban? Salah besar.
Dia menunduk sejenak, menyembunyikan kilatan tajam di matanya.
“Baiklah, kalau ini yang kalian mau…” gumamnya dalam hati. “gue akan bikin kalian semua nyesel udah meremehkan gue.”lanjutnya dalam hati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruangan itu hening sejenak setelah tuduhan Tuan Evander terlontar. Moira menegakkan tubuhnya, pipinya masih memerah bekas tamparan, namun tatapannya dingin seperti es.
Dengan langkah perlahan tapi mantap, ia berjalan mendekati Tuan Evander. Setiap langkah membuat suasana di ruang tamu semakin tegang. Gadis di samping Tuan Evander sempat terkejut, senyumnya perlahan memudar, tapi Moira tidak menghiraukannya.
“Nada suara Papah terlalu cepat menyalahkan,” ucap Moira datar, namun penuh tekanan. “Siapa bilang aku membatalkan pertunangan itu?”
Dia berhenti tepat di hadapan Tuan Evander, menatap lurus ke matanya tanpa gentar. Aura yang terpancar dari Moira berbeda bukan lagi gadis penakut yang biasa mereka hina.
“Kalau Papah menamparku hanya karena omongan orang lain tanpa bukti,” lanjutnya, nada suaranya dingin menusuk.
“Maka sebenarnya yang memalukan di sini bukan aku… tapi Papah sendiri, karena begitu mudah dipermainkan.”
Ucapan itu membuat suasana kaku. Tuan Evander terdiam, genggaman tangannya mengeras, sementara gadis di sampingnya—yang tadinya tersenyum smirk mendadak menggigit bibirnya kesal.
Dalam hati, Hanabi yang kini hidup sebagai Moira tersenyum tipis. ‘Kalian pikir gue akan terus jadi boneka yang bisa diinjak? Salah besar. Dan pastinya di sebelah Tuan Evander itu saingan Moira oke gue akan layani kalian.’
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah kejadian di ruang tamu, Moira kembali ke kamarnya. Dia melepaskan sepatu dan melemparkan tubuhnya ke ranjang, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, baru saja dia ingin merebahkan diri, suara pintu berderit terbuka tanpa ketukan.
“Ck” decak Moira.
Seorang gadis melangkah masuk begitu saja, lalu duduk santai di sisi ranjang Moira. Senyum manis mengembang di wajahnya, seolah-olah tak ada ketegangan apa pun yang baru saja terjadi.
“Moira…” ucapnya lembut. “Lo nggak apa-apa? Gue tadi lihat Papah lo marah banget. Gue cuma khawatir.”
Moira menoleh, menatapnya datar. Gadis itu Stella. Gadis yang tadi berdiri di samping Tuan Evander.
Hanabi baru ingat namanya saat kepingan memori milik Moira terlintas diotaknya.
Stella menyentuh punggung tangan Moira, matanya tampak tulus, meski Moira bisa membaca ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan itu.
“Lo tahu, kan? Arlend itu orangnya keras kepala. Kalau lo terlalu dingin atau menolak, dia bisa salah paham. Gue cuma nggak mau hubungan kalian berantakan karena kesalahpahaman kecil.”
Moira terdiam, membiarkan Stella bicara. Dia ingin tahu cara bicara Stella di depan Moira, tapi menusukkan racun di balik kata-kata manisnya.
Dengan nada pelan namun tajam, Moira akhirnya menjawab, “Stella… orang yang terlalu peduli sama urusan orang lain biasanya punya kepentingan pribadi. Jadi gue tanya sekali sebenarnya, lo peduli sama gue… atau sama Arlend?”
Senyum Stella menegang sejenak, tapi cepat-cepat dia tertawa kecil untuk menutupinya.
‘Ck sudah gue duga lo pasti demen sama Arlend dan gak mau Moira yang mendapatkan nya kan?’ucap Hanabi dalam hatinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Begitu sampai di rumahnya, Stella menghempaskan pintu kamar dengan kasar. Nafasnya memburu, wajahnya merah penuh amarah. Dia menatap meja rias yang dipenuhi dengan aneka make up mahal lalu tanpa pikir panjang, dia menyambar satu per satu dan membantingnya ke lantai. Pecahan kaca, bedak, dan lipstik berhamburan, memenuhi lantai kamarnya.
“Arlend bukan buat Moira! Dia harus jadi milik gue!” teriak Stella dengan mata berkilat penuh dendam.
Tangannya bergetar, dada naik turun. Selama ini, bayang-bayang Moira selalu menghantuinya. Dulu, keluarga Evander begitu menyayangi Moira kecil nenek dan kakeknya selalu membanggakan Moira, membandingkan setiap pencapaian Stella dengan sepupunya itu. Apa pun yang Moira inginkan, selalu ada. Apa pun yang Moira lakukan, selalu dipuji.
Sementara Stella… selalu dianggap pelengkap. Tak pernah cukup.
Api iri itu tumbuh menjadi kebencian. Baginya, semua yang dimiliki Moira harus dirampas. Termasuk Arlend Kaiden Gavintara sosok yang Stella anggap jalan untuk mengalahkan Moira sekali untuk selamanya.
Dia menatap wajahnya sendiri di cermin yang retak, lalu tersenyum miring meski air matanya masih mengalir.
“Moira lo udah bikin gue hidup di bawah bayangan lo terlalu lama. Gue nggak peduli harus kayak gimana, gue bakal rebut semuanya dari lo.”
Dan di dasar hatinya, ada kebencian yang lebih dalam.
Gara-gara Stella juga, Tuan Evander sejak dulu selalu menyalahkan Moira atas kematian istrinya saat melahirkan. Stella lah yang meniupkan racun itu, membuat sang paman percaya bahwa Moira adalah penyebab hilangnya wanita yang dia cintai. Sejak itu, kasih sayang Tuan Evander pada putrinya berubah jadi dingin dan penuh tuduhan.
Stella menutup matanya sejenak, lalu bergumam dengan nada penuh ambisi.
“Kalau harus jatuhin Moira, gue bakal mulai dari ngerampas hatinya… dan bikin keluarganya sepenuhnya milik gue.”
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/