Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Deva baru saja tiba di kampusnya pukul delapan pagi, namun ia langsung berhadapan dengan Fia. Dari ingatan pemilik tubuh, Fia merupakan mantan Gallen dan sahabat protagonis utama, Sera.
"Eh, Dev, gue mau bicara sama lo!" ujar Fia menghadang langkah Deva di parkiran.
Satu alis Deva terangkat naik. "Gue nggak mau, gimana dong?"
Namun, dari arah lorong muncul Dito dan Haikal. Mereka berdua menghampiri Fia dan Deva. Baru melihat wajah mereka saja, rasa lelah Deva langsung naik.
'Bakal panjang nih urusannya.' Batinnya pasrah.
"Lo nggak ada kapok-kapoknya jadi orang jahat, ya! apa sekarang lo mau menindas Fia hah?" tuduh Dito sinis.
"Kayanya otak lo beneran kosong deh, lo lihat tuh wajah Fia masih utuh, dasar idiot!" sahut Deva malas.
Tanpa Deva duga, Dito menggeram marah lalu ia melayangkan tamparan pada pipi Deva.
PLAK.
Gadis itu terkejut, ia memegang pipinya yang terasa perih. Padahal baru kemarin memarnya sembuh, tapi sekarang ada lagi dan itu di buat oleh orang asing.
Deva menghela nafas berat, ia menatap wajah Dito yang memerah menahan kesal. "Wow, siapa lo sampai berani banget nampar wajah gue?"
"Manusia kejam kayak lo nggak pantas di perlakukan baik, Dev!" geram Dito, terlihat puas melihat sudut bibir Deva robek.
Deva terkekeh, ia menyisir rambut panjangnya yang menjuntai di wajah ke belakang, lalu ia mengangguk pelan menyetujui ucapan Dito.
"Benar kata lo, berarti nggak masalah dong kalau gue juga memperlakukan lo seperti lo memperlakukan gue, hm?"
Dito mengernyit bingung, saat ia sedang mencerna ucapan Deva, saat itu juga tangan gadis itu melayangkan tinjunya pada wajah Dito.
Bugh!
"Arrgh." Dito menoleh ke samping, ia menggeram marah menahan sakit di pipinya, tonjokan Deva mampu melepaskan satu gigi geraham miliknya.
Dito meludah ke samping kiri, darah keluar dari mulutnya. Bau karat memenuhi rongga mulut Dito, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan seluruh mahasiswa yang ada di sekitar mereka sedang melihat ke arahnya dengan berbagai pandangan, ada yang iba, miris, dan takut.
Deva tersenyum remeh. "Itu bonus dari gue, makanya punya tangan di jaga! jangan suka main gampar aja, lo kira gue nggak sakit di gampar mulu."
Dito menatap gadis itu dengan kebencian. "Lo keterlaluan, Dev!"
"Haha, keterlaluan yah? terus yang lo lakuin tadi sama gue apa? coba jelasin!" ujar Deva santai.
Dito terdiam tak berkutik, ia mengamati gadis itu yang mengusap darah di bibirnya yang tadi ia tampar. Ternyata tamparan Dito tidak main-main, ia merasakan giginya sakit, untungnya tidak lepas seperti milik Dito.
'Sial! lama-lama wajah gue bisa penyok kalau kayak gini mulu,' batin Deva dengan kesal.
Ia membenarkan ranselnya dan berniat untuk menuju kelas, namun sebelum itu ia menatap Fia dan berbicara padanya.
"Heh, karung goni! gue nggak nyangka pertemuan kita bakal semeriah ini! lain kali, lo ajak aja satu kampung ke sini biar gue sekalian bisa olah raga pagi." Ujar Deva sarkas, ia meludah ke samping tubuh Fia yang menegang dan pergi begitu saja.
Deva tak memperdulikan tatapan julid, dan mencemooh dari para mahasiswa yang ada di sana.
"Dev, lo-"
"Apa? lo mau juga hm?" potong Deva pada ucapan Haikal. Ia menyeringai, begitu melihat kedatangan kakak pertamanya dan teman-temannya.
Senyuman Deva semakin lebar saat dia melihat Gallen dan teman-temannya mendekat, seolah-olah siap untuk ikut terlibat dalam drama yang sedang berlangsung.
"Wih, drama pagi udah mau dimulai nih," batin Deva, merasa dongkol dengan situasi yang terjadi.
Ia tahu Gallen dan yang lainnya pasti akan menambah suasana semakin runyam. Deva bisa melihat dengan jelas, kalau kini Gallen sedang menahan amarahnya.
Gallen menghampirinya dengan tatapan tajam. "Apa lagi yang lo lakuin hah?"
Deva melirik Gallen, berusaha menjaga ketenangan. "Lo nggak lihat? ini semua gara-gara si karung goni yang menghalangi jalan gue," jawabnya sinis sambil menunjuk Fia yang masih berdiri di tempatnya.
"Dev, cukup. Bisa nggak sehari aja lo nggak bikin masalah di kampus?" tegur Gio tampak muak dengan keberadaan Deva.
"Gue mulu yang di salahin, mentang-mentang lo benci sama gue. Seandainya lo nginjak tai kucing lo juga bakal nyalahin gue, Gi?" sahut Deva terpancing emosi.
Ucapan Deva membuat beberapa mahasiswa menahan tawa. Mereka takut Gio akan mendengarnya, dan berujung marah.
Gio terkejut mendengar jawaban tersebut, sekarang tidak pernah ia dengar lagi Deva memanggilnya kakak. Ia selalu menyebut namanya, tanpa ada embel-embel kakak di depannya.
"Itu karena lo emang salah, coba lo bersikap lebih baik. Nggak mungkin orang-orang di sini pada menghakimi lo, Dev." ujar Haikal menimpali.
Dito ikut nimbrung, ia menyeka darah di mulutnya menggunakan punggung tangan. Dito menggeram marah dan menunjuk wajah Deva.
"Nggak tau malu! jalan* kaya lo harusnya jauh-jauh dari kita semua." sentak Dito.
Deva menyipitkan kedua matanya, lalu menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara kasar.
"Barusan lo bilang apa? jalan*?" tanya Deva, sambil melangkah mendekati Dito.
"Iya, jalan* murahan! lo nggak pantes bersanding dengan Elliot! harusnya lo sadar diri, lo nggak pernah diharapkan di sini, Deva!" sahut Dito, menatap Deva dengan penuh cemoohan.
Deva terkekeh, ia sudah tahu bahwa kehadirannya tak pernah diharapkan. Mau mengelak pun percuma, karena dari mereka tidak ada satu pun orang yang akan membelanya termasuk Elliot, tunangannya sendiri.
"Sebelum lo ngomongin gue, mending lo ngaca deh. Dan gue juga ogah bersanding sama Elliot!" Deva menatap semua mahasiswa yang mengelilingi mereka saat ini.
"Kalian semua yang ada di sini!" teriak Deva membuat atensi semua orang mengarah padanya. "Dengerin gue baik-baik, kalian akan jadi saksi kalau hari ini! Gue, Deva Claudia sudah memutuskan pertunangan gue dengan Elliot Regantara!"
Ia menunjukkan jari manisnya yang sudah tidak ada cincinnya. "Tuh lihat, cincin pertunangannya udah gue balik sama Elliot, jadi hubungan gue dan dia udah selesai."
"Apa maksud lo, Dev?" tanya Elliot syok.
Deva tersenyum cerah, "Gue setuju buat batalin pertunangan kita, bukannya itu yang lo mau sejak dua minggu yang lalu."
Dari ingatan yang ia dapat, dua minggu sebelum ia merasuki tubuh Deva, Elliot sempat mengutarakan niatnya membatalkan pertunangan mereka.
Hal itu juga yang membuat Deva marah dan berujung pingsan hingga jiwanya menghilang dan diganti jiwa Deva si bodyguard petakilan. Bahkan, acara makan malam dengan orang tua Elliot tidak pernah ia hadiri dan ia tak peduli dengan reaksi Elliot yang terlihat marah padanya.
Akan tetapi, tak ada tanggapan dari Elliot atas pernyataannya saat ini, namun mimik wajah pemuda itu benar-benar rumit hingga Deva sendiri tak tahu mengapa Elliot nampak tak suka dengan keputusannya.
Deva menoleh ke arah Dito, "Dit, ada baiknya mulut sama sikap lo juga di sekolahin, biar nggak malu-maluin orang di sekitar lo!"
Mendengar ucapan Deva, Dito merasa tertampar. Ia mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. "Seenggaknya gue masih punya harga diri, nggak kaya lo!"
Deva tersenyum sinis. "Oh yah? berapa harga diri lo? sini, gue beli sekalian."
Dito menatap Deva dengan mata melebar, terkejut dengan balasan tajamnya. Suasana di sekitar mereka semakin tegang, teman-teman yang lain mulai memperhatikan dan berbisik satu sama lain. Dito merasa darahnya mendidih, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.
"Lo pikir ini lucu?" balas Dito, suaranya sedikit bergetar.
Deva mengangguk, dia menepuk pundak Dito cukup keras. "Ya, gue rasa ini cukup bagus. Lain kali, bukan cuma harga diri lo yang gue beli, tapi juga nyawa lo, Dito."
Bulu kuduk di punggung Dito naik, ia merinding mendengar ancaman dari Deva.
Tak ingin menambah keributan, Deva berjalan menuju kelasnya. Dia memijit pelipisnya pelan. Perasaannya pagi ini benar-benar buruk, entah mengapa ia merasa seperti akan terjadi badai besar yang siap menenggelamkannya.