Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Bagaimana Bisa?
Kevia terpejam, terseret deras arus yang tak mampu ia lawan. Air matanya jatuh, bercampur dengan erangan yang tak bisa ia bendung. Malam itu, di ruang yang hanya diterangi remang samar, Kevia hanyut dalam gelombang hasrat bersama pria misterius itu. Pria yang bahkan wajahnya pun tak ia lihat.
Dan batinnya, lirih berbisik, "Tuhan… apa yang sudah kulakukan?"
Kevia terbaring lemas, dadanya naik turun cepat. Air mata masih menetes, entah karena sakit atau perasaan hampa yang tiba-tiba menyeruak. Pria itu menunduk, jemarinya menyapu lembut pipi Kevia, berbeda dengan sikapnya yang barusan.
“Sekarang kau bukan hanya menjual kesucianmu, Kevia. Kau sudah menyerahkan dirimu sepenuhnya padaku,” suaranya rendah, dalam, mengalun seperti mantra kepemilikan.
Kevia menoleh, menatap gelap. Hanya siluet samar yang menutupi wajah pria itu, seakan malam bersekongkol menyembunyikan identitasnya.
“Kau salah…” suaranya pecah, getir. “Aku hanya menjual sesuatu yang tak bisa kembali. Tapi hatiku… tidak akan pernah jadi milikmu.”
Keheningan menggantung. Pria itu tak membantah. Senyum tipis saja yang terbit di sudut bibirnya, samar terlihat di antara remang.
“Kita lihat nanti,” bisiknya, sebelum bibirnya singgah di kening Kevia, meninggalkan jejak hangat yang terasa lebih menusuk daripada luka manapun.
Kevia menjerit dalam hati. Ia merasa terperangkap, antara harga diri yang telah runtuh, misteri tentang siapa pria ini, dan perasaan asing yang muncul saat disentuhnya. Namun, dekapan pria itu, hangat dan berat, membuat tubuhnya yang nyaris kehilangan tenaga akhirnya menyerah, larut dalam tidur.
***
Cahaya mentari pagi menyelinap dari celah gorden, menusuk kelopak mata Kevia. Ia menggeliat pelan, namun seketika meringis, tubuhnya perih, seolah habis dihajar kenyataan.
“Ssshh… perih sekali…” desisnya, meraba pinggangnya, setiap otot terasa ngilu.
Pelan, ia membuka mata. Kamar itu sepi. Sunyi. Hanya dirinya sendiri yang terbaring di ranjang kusut.
“Di mana dia?” gumamnya, berusaha bangkit meski tubuhnya seakan memberontak.
Ia kembali terpejam sejenak. Ingatan semalam menyerbu. Suara berat pria itu yang memanggil namanya di sela erangan, sentuhan lembut yang anehnya membuatnya menggigil, dan gelombang hasrat yang menyeretnya berulang kali hingga tubuhnya remuk tak berdaya.
Kevia menghela napas kasar, getir.
“Jangankan namanya… wajahnya pun aku tak tahu,” gumamnya dengan bibir bergetar.
Pandangan matanya lalu jatuh pada sebuah paper bag di meja samping ranjang. Di atasnya, selembar kertas putih ditindih sebuah kartu ATM berkilat.
Dengan jemari gemetar, Kevia meraih kertas itu. Tulisan tangan rapi terbaca jelas:
> Gunakan kartu ini sesukamu. PIN-nya adalah tanggal lahirmu. Jika ada apa-apa, hubungi aku di nomor ini.
Di bawahnya, tertera deretan angka. Nomor ponsel.
Kevia membeku. Napasnya tercekat.
“Dia tahu… tanggal lahirku?” bisiknya lirih, bulu kuduknya meremang.
Matanya menatap kosong ke arah secarik kertas itu, antara kengerian dan rasa penasaran yang kian menjerat.
“Siapa sebenarnya… dia?”
Kevia kembali menggeliat pelan sebelum akhirnya beranjak dari ranjang. Tubuh polosnya buru-buru ia lilit dengan selimut, namun langkahnya terhenti saat pandangannya jatuh pada bercak merah di atas seprei. Dadanya sesak, tanda kesuciannya telah hilang.
Bayangan semalam segera menyeruak. Ia teringat bagaimana pria itu menyentuhnya dengan kelembutan yang tak terduga, seolah memuja tubuhnya, meski gairahnya membuncah. Bahkan di tengah derasnya hasrat, pria itu seperti takut menyakitinya.
Kevia buru-buru menggeleng kuat, menepuk pipinya agar kesadaran kembali. "Aku harus segera ke rumah sakit."
Tangannya meraih paper bag berisi pakaian yang tertata rapi di atas nakas. Dengan langkah tertatih, ia melangkah ke kamar mandi. Namun saat menatap bayangannya di cermin, Kevia tercekat. Bekas-bekas yang ditinggalkan pria itu masih nyata di kulitnya.
“Dia... arghh!” Kevia mengacak rambutnya frustrasi. Tubuhnya bergetar di antara malu dan marah.
Usai membersihkan diri, ia kembali berdiri di depan cermin. Lehernya tetap memamerkan jejak samar yang mustahil bisa disembunyikan hanya dengan pakaian. Dan di saat itu pandangannya jatuh pada peralatan makeup yang tersusun lengkap di meja, masih tersegel seolah baru dibeli.
Kevia terpaku. Meski tak akrab dengan dunia makeup, ia sering mendengar teman-temannya membicarakan foundation yang mampu menutupi bekas jerawat atau bopeng. Ia bahkan menemukan benda itu di antara perlengkapan tersebut.
“Dia... menyiapkan semua ini? Pakaian... makeup...” Kevia menelan ludah kasar, dadanya terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang. Perlahan, potongan memori semalam berkelebat. Suara berat pria itu… desahannya… panggilannya.
Namanya.
Kevia baru tersadar, di tengah gelombang hasrat yang menenggelamkannya, ia sama sekali tak sempat memikirkan hal itu. Tapi kini, saat kepalanya jernih, ia merinding.
“Dia... semalaman mendesahkan namaku. Dari mana... dia tahu namaku?”
Tenggorokannya tercekat. Dada Kevia naik-turun tak beraturan, semakin sesak oleh rasa panik yang merayap.
“Namaku... dan PIN ATM itu katanya tanggal lahirku. Bagaimana dia bisa tahu? Siapa sebenarnya dia?”
Kevia baru saja selesai menutupi jejak samar di lehernya dengan foundation saat suara ketukan pintu membuatnya tersentak. Ia menahan napas, lalu perlahan mendekat dan mengintip lewat lubang kecil di pintu. Seorang petugas hotel berdiri di sana, membawa nampan berisi sarapan.
Adegan itu langsung menyeret ingatannya pada malam tempo hari, saat ia nyaris kehilangan kendali karena obat bius, dan pria misterius itu menyelamatkannya. Sama. Persis seperti ini. Pakaian dan sarapan telah disiapkan.
Usai menyantap sarapan seadanya, Kevia memberanikan diri keluar dari kamar. Namun langkahnya langsung terhenti. Dua pria bertubuh kekar berdiri menunggu di koridor. Bukan pria yang mengantarnya ke kamar semalam, tapi wajah mereka tidak asing.
Kevia memicingkan mata, mencoba mengingat.
“Kalian… yang waktu itu, bukan?” tanyanya ragu.
Dua pria itu saling melirik, lalu mengangguk sopan.
“Tuan meminta kami mengantar Nona pulang dengan selamat,” jawab salah satu dengan nada datar.
Kevia menatap mereka lebih lama. Ada satu pertanyaan yang sejak tadi mengganjal.
“Siapa Tuan kalian itu?”
Namun jawaban mereka tetap sama, tenang dan mengunci rasa ingin tahu Kevia.
“Nona bisa tanyakan langsung pada Tuan.”
Wajah Kevia mengeras. Jawaban itu mengecewakannya, dingin sekaligus menambah rasa penasaran. Ia merapatkan tasnya ke bahu.
“Tak perlu mengantar aku,” ucapnya cepat, mencoba terdengar tegas meski tubuhnya masih nyeri.
Ia melangkah pergi dengan dagu terangkat, berusaha terlihat normal. Namun, di balik setiap langkahnya, jantung Kevia berdegup tak karuan. Bayangan pria misterius itu terus menghantui pikirannya.
Kevia melangkah cepat menuju mesin ATM di sudut jalan. Card holder kecil itu terasa berat di genggamannya, seolah menyimpan rahasia yang siap meledakkan jantungnya kapan saja. Sesekali ia menoleh ke kiri dan kanan. Bayangan dua pria kekar tadi masih membekas di matanya.
Benarkah mereka sudah pergi? Atau masih ada mata lain yang mengawasinya dari jauh?
Tangannya bergetar saat memasukkan kartu ke mesin. Jantungnya berdentum keras, seperti hendak menembus rongga dada. Ia menekan tombol-tombol angka dengan pelan, takut salah, namun entah mengapa keyakinan bahwa pria misterius itu tidak berbohong justru terasa begitu kuat.
Saat angka terakhir PIN tertekan, layar ATM menampilkan jumlah saldo.
Kevia tertegun. Bibirnya bergetar. Matanya membesar, tubuhnya refleks terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan.
“Li… lima ratus juta?” bisiknya tercekat.
Tangannya spontan menutup mulut, menahan suara terkejut yang nyaris pecah. Ia memejamkan mata, mencoba mencerna kenyataan itu.
"Semalam… bukankah hanya menawar tiga ratus juta? Dari mana sisa dua ratus juta itu?"
Napasnya terasa berat, dada sesak, seolah ruang ATM menyempit menekannya. Dengan gerakan gugup, Kevia menekan tombol transfer, memindahkan tiga ratus juta ke rekening pribadinya. Rekening yang selama ini hanya menampung beasiswa. Ia butuh kepastian bahwa uang itu benar-benar ada dalam genggamannya, bukan hanya selembar kartu asing yang bisa ditarik kembali kapan saja.
Baru setelahnya ia menarik secukupnya. Hanya beberapa juta, cukup untuk menebus obat ibunya dan keperluan mendesak lain.
Kertas-kertas uang itu berpindah ke tangannya. Kevia meremasnya erat, seakan takut semua itu hanya mimpi yang bisa menguap bila ia lepaskan. Namun kali ini, ia tahu persis langkahnya.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
>Kalau kau blokir nomorku, aku akan menemui orang tuamu dan mengatakan kalau semalam kita sudah melakukan malam pertama. Dan kau yang berinisiatif menciumku duluan.
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰