“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Awal Mula Bertemu
Hujan turun deras sore itu. Langit kelabu menggantung, dan udara dingin seolah menusuk kulit.
Andin baru saja pulang dari bekerja di warung kecil tempatnya membantu sang pemilik, Bu Reni. Ia menenteng payung dan berjalan cepat di trotoar yang mulai tergenang air hujan.
Namun langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok seseorang tergeletak di pinggir jalan. Seorang pria muda, tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat, dengan bibirnya membiru.
“Hah? Astaga…” Andin terkejut dan segera berlari mendekat.
“Mas! Mas, bangun!”
Ia menepuk pipi pria itu pelan, namun tak ada reaksi. Nafasnya lemah, membuat Andin merasa khawatir.
Tanpa berpikir panjang, Andin menaruh payungnya di tanah dan berusaha menarik tubuh pria itu ke tempat yang lebih teduh.
Hujannya semakin deras, membasahi rambut dan pakaian Andin.
“Ya Tuhan, kenapa nggak ada orang lewat!” keluhnya lirih menatap disekeliling.
Tatapannya gelisah, namun di dalam hatinya muncul dorongan kuat: ia tidak bisa meninggalkan orang itu di sana.
Dengan tenaga seadanya, Andin akhirnya berhasil menghentikan sebuah becak yang lewat.
“Bang, tolong bantu saya. Ada orang pingsan.”
“Ayo, bawa aja naik, Mbak. Rumah Mbak jauh?”
“Dekat kok, Bang. Di ujung gang itu.”
Mereka pun membawa pria itu pulang.
Sesampainya disana. Andin keluar dari dalam beca menatap rumahnya yang reot.
Rumah Andin sederhana—dindingnya dari papan, atap seng yang bocor di beberapa bagian. Tapi di sanalah ia hidup seorang diri sejak ayahnya meninggal.
Ia menidurkan pria itu di kamar tamu, melepas bajunya yang basah, lalu menutupinya dengan selimut hangat.
Setelah beberapa saat, pria itu mulai membuka mata.
“Di… mana aku?” suaranya serak.
Andin tersenyum lega. “Syukurlah kamu sadar juga. Kamu pingsan di jalan, kehujanan. Ini rumah saya.”
Pria itu menatapnya bingung, lalu berusaha bangun. “Aku… terima kasih, ya. Aku cuma—”
“Jangan dulu bangun. Kamu masih lemah.” Andin menahannya pelan.
“Namamu siapa?”
“Raka.” Ia menatap Andin dengan mata coklat gelap yang teduh. “Aku nggak tahu harus gimana balas budi kamu.”
Andin tersenyum kecil. “Nggak perlu dibalas. Aku cuma nggak tega lihat orang pingsan di pinggir jalan.”
Raka menatap wajah gadis itu lama, seolah mencari sesuatu di balik ketulusannya. Ada kehangatan di sana—sederhana tapi nyata.
---
Beberapa hari berlalu.
Raka memutuskan tinggal sementara di rumah Andin sampai benar-benar pulih. Ternyata, ia adalah pria perantau yang kehilangan pekerjaan dan rumah kontrakannya.
“Kalau kamu mau, kamu bisa bantu aku di warung, biar nggak nganggur,” ucap Andin suatu pagi sambil menyiapkan teh hangat.
Raka tersenyum. “Kamu nggak takut aku jahat? Kitakan baru kenal?”
Andin mengangkat bahu. “Entah kenapa, aku percaya sama kamu.”
Raka terdiam sesaat, menatap wajah Andin yang polos namun kuat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang hangat—perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Hari-hari berjalan dengan cepat.
Raka mulai bekerja, membantu Andin membersihkan rumah, memperbaiki atap bocor, dan mengantar belanjaan ke warung.
Malam-malam mereka sering diisi tawa ringan di teras, ditemani kopi dan suara jangkrik.
“Kalau suatu hari kamu sukses, jangan lupakan aku ya,” canda Andin sambil tertawa kecil.
Raka menatapnya serius. “Aku malah pengin kamu ada di hidupku waktu aku sukses nanti.”
Andin tertegun. Pipinya memanas, jantungnya berdebar tak karuan. “Jangan bercanda, ah.”
“Aku nggak bercanda.” Raka tersenyum lembut.
“Kamu baik, Din. Aku… ngerasa tenang di dekat kamu.” Raka menatap teduh kearah Andin. Hati Andin bergetar, entah kenapa sesuatu seolah menjalar dan membuatnya merasa bahagia.
Malam itu, entah kenapa, Andin tak bisa tidur. Kata-kata Raka terus berputar di kepalanya. Ia tahu seharusnya tidak cepat percaya, tapi hatinya terlalu lembut untuk menolak perasaan hangat itu.
Beberapa bulan kemudian, keduanya semakin dekat.
Raka melamar Andin dengan cara sederhana—hanya cincin murah dan janji yang terdengar tulus.
“Andin… aku mungkin bukan siapa-siapa, tapi aku janji akan berjuang buat kamu.”
Andin tersenyum dengan air mata haru. “Aku nggak butuh harta, Rak. Aku cuma butuh kesetiaan. Berjanjilah kamu akan setia kepadaku"
Raka mengangguk seolah setuju, "Aku janji, Din"
Dan di bawah langit sore yang keemasan, mereka resmi menjadi suami istri.
Tanpa tahu bahwa kisah bahagia mereka… hanyalah awal dari sebuah mimpi buruk yang perlahan menanti di ujung jalan.
.
.
.
Bersambung.