Allah akan menguji iman masa mudamu dengan didatangkannya sosok yang dulu pernah diminta. Seseorang yang selalu riuh dalam doa, dipuja, serta kerapkali dijadikan sebagai tujuan utama.
Dihadapkan pada dua pilihan, bukan perihal dia lagi yang harus diperjuangkan, melainkan Dia-lah yang jauh lebih pantas untuk dipertahankan. Hati bersorak agar kukuh pada pendirian, tapi bisikan setan tak kalah gencar melakukan perlawanan.
Perkara cinta dan dunia memang tak dapat dipisahkan, terlebih jika sudah menyangkut ihwal iman yang kadangkala turun tanpa pemberitahuan.
Lantas siapakah yang kini harus diprioritaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sejenak Berbincang
...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...
..."Jodoh adalah takdir yang harus diikhtiarkan, kita tidak bisa hanya menunggu dan berpangku tangan."...
...°°°...
Anin menjatuhkan dirinya di karpet ruang keluarga, tubuhnya sedikit rontok dan pegal-pegal karena pulang pergi mengendarai motor seorang diri. Sudah lama dia tak berkendara jauh, jadi sekarang tubuhnya kaget dan memberontak.
"Capek banget kelihatannya," cetus Arini ikut duduk di samping sang putri.
Mata yang semula terpejam kini terbuka, dan dengan segera dia pun menjadikan kaki sang ibu sebagai bantal. "Bukan kelihatannya tapi emang capek, Ma."
Arini melepas peniti yang ada di bawah dagu sang putri, dan membuka khimar yang dikenakannya. Dengan lembut beliau mengelus surai sang putri. "Kan Mama udah bilang, mending rental mobil plus supir. Jadi, kamu tinggal duduk manis aja di belakang."
"Gak asik dong kalau gitu mah, Anin suka ketiduran kalau naik mobil," kilahnya.
Arini mendengkus. "Ya udah selamat menikmati rasa sakitnya kalau gitu."
Anin malah tertawa kecil melihat raut wajah kesal sang ibu.
"Oh, iya, Ma tadi di Pangalengan Anin ketemu temen baru, perempuan. Dia itu baru membuka studio foto, dan dia juga nawarin Anin untuk jadi fotografer di sana," katanya mulai bercerita panjang lebar.
"Daripada kerja sama orang lain, mending kamu bangun mini studio sendiri, Nin," saran sang ibu.
"Maunya Anin juga gitu, Ma, tapi budget-nya belum cukup."
"Gak usah terlalu besar ataupun yang makan budget banyak. Mending gunain lantai dua kafe kamu, space-nya bisa dibagi dua. Menurut Mama itu lebih efektif dibandingkan hanya dijadikan sebagai kafe khusus untuk pasangan halal aja," sahut Arini mengemukakan pendapat.
Anin bangkit dari berbaringnya dan duduk berhadapan dengan sang ibu. "Bagus juga sih ide, Mama. Anin setuju."
Arini mengangguk singkat. "Bikin aja mini studio, adain juga photobox biar kekinian. Terus bikin galery kecil-kecilan yang memajang hasil foto kamu."
Anin tersenyum sumringah. "Kok Mama pinter banget sih, makin sayang deh Anin sama Mama," ungkapnya lantas memeluk erat sang ibu.
Arini membalas pelukan sang putri dan menciumi puncak kepalanya. "Mama ingin usaha kamu semakin berkembang, daripada harus kerja sama orang kayak Ayah. Waktunya dihabiskan di tempat kerja, untuk keluarga hanya sisaan saja."
Anin mengurai pelukannya lalu mengecup lembut pipi sang ibu. "Kalau usaha Anin stabil dan semua berjalan sesuai harapan, Anin akan minta Ayah berhenti kerja dan habisin waktu sama kita."
"Aamiin, semoga Allah selalu mempermudah dan memperlancar rezeki dan usaha kamu yah."
Anin mengangguk dan tersenyum lebar.
...°°°...
"Kenapa, Bang?" tanya Arhan saat melihat kemunculan Haidar di balik pintu kamarnya.
"Lagi sibuk gak?" seloroh Haidar tanpa menjawab kalimat tanya sang adik.
Arhan menutup laptopnya terlebih dahulu lantas berucap, "Gak. Kenapa memangnya?"
Haidar memilih duduk di pinggiran ranjang, berada tak jauh dengan posisi Arhan yang kini sudah memutar kursi hingga mereka saling berhadapan.
"Abang ada urusan ke luar kota, mungkin dalam waktu yang cukup lama. Bisa minta tolong sesuatu?"
"Urusan apa? Abang gak betah yah tinggal di sini?"
Haidar menggeleng dan tersenyum samar. "Betah kok, betah banget malah. Hanya saja ada beberapa urusan yang harus Abang selesaikan."
Arhan hanya mengangguk singkat. "Semoga urusannya segera selesai dan Abang bisa kembali pulang ke sini."
Haidar tersenyum lebar sebagai respons. Lantas dia pun merogoh saku celananya. "Titip ini buat Anin. Abang gak bisa berpamitan langsung sama dia."
Arhan membeku di tempat, menatap nyalang pada sebuah amplop putih yang disodorkan sang kakak dengan perasaan campur aduk.
"Ar?!"
"Hah? Iya kenapa, Bang?" Dia dibuat gelagapan karena tertangkap basah tengah melamun dalam waktu yang cukup lama.
"Harusnya Abang yang nanya gitu sama kamu, Ar. Kamu kenapa?" tanya Haidar keheranan.
Arhan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan menggeleng pelan. Meyakinkan sang kakak bahwa dirinya baik-baik saja.
"Titip ini buat Anin," ulang Haidar.
Arhan menerima dengan ragu benda tersebut. "Kenapa gak Bang Haidar aja yang langsung kasih ke Anin?"
"Maunya gitu, tapi besok pagi-pagi banget Abang udah harus berangkat. Gak sempet kalau harus ketemu Anin dulu, lagi pula kafenya juga belum buka kalau jam segitu."
"Kenapa gak coba telepon atau kirim pesan gitu?"
Haidar terkekeh pelan. "Jangankan nomor ponsel, Ar mau tahu namanya aja susahnya minta ampun. Kalau bukan karena sesi wawancara waktu itu, mungkin sampai sekarang Abang belum berhasil dapetin namanya."
Arhan hanya manggut-manggut saja. Ternyata hubungan antara Anin dan kakaknya tidak sejauh apa yang dia pikirkan. Terbukti dari mereka yang tidak saling bertukar nomor ponsel, sama seperti dengan dirinya.
"Memangnya urusan apa sih, Bang? Sampai harus ke luar kota, dan makan waktu juga."
"Gak usah khawatir gitu. Tenang, Abang gak akan macam-macam," sahutnya tanpa menjawab pertanyaan Arhan.
Arhan mengangguk singkat, dia tak ingin mendesak Haidar untuk berterus terang. Bisa dibilang dia pribadi yang sangat menghargai privasi orang lain, dan tidak ingin mencari tahu sesuatu yang memang tidak patut untuk diketahui.
"Di zaman seperti sekarang, menemukan sosok perempuan yang baik dan berpegang teguh pada agama adalah sesuatu yang langka. Siapa pun yang berhasil mempersunting Anin, laki-laki itu pasti sangat beruntung."
Arhan tertegun mendengar penuturan Haidar, tapi dia pun mengiyakan apa yang baru saja didengarnya.
Anin tidak hanya bagus rupa, tapi akhlaknya pun benar-benar dia poles dengan sedemikian rupa. Di tengah besarnya fitnah, dia bisa berdiri teguh dan menjadi sebaik-baiknya muslimah.
Perempuan yang pandai menjaga aurat, selalu menundukkan pandangan kala bertemu dengan lelaki yang bukan mahram. Tidak bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, dan tentu saja tersembunyi dari sorot media sosial.
Di mana biasanya perempuan sangat senang memajang potret diri di jejaring maya. Mendapat banyak like serta pujian di kolom komentar adalah sebuah pencapaian yang dikejar mati-matian oleh sebagian besar perempuan.
Berbeda dengan sosok bernama Anindira Maheswari, raganya tersembunyi, dan tak mudah dijangkau oleh sembarang lelaki.
"Tapi sayang, Anin terlalu sulit untuk Abang dapatkan. Kamu yang lebih memiliki peluang besar, Ar." Sebuah senyuman tipis Haidar berikan.
Arhan berkawan geming, mencerna dengan seksama apa yang baru saja dikatakan oleh kakaknya. Apakah dia tidak salah mendengar?
"Bang Haidar mencintainya, dan aku rasa Anin adalah perempuan yang pantas untuk diperjuangkan."
Haidar mengangguk setuju. "Anin memang sangat pantas untuk diperjuangkan, tapi perbedaan di antara kita terlalu sulit untuk diterjang."
Ldr yang paling menyakitkan memang long distance religion. Bukan jarak lagi yang memisahkan, melainkan kepercayaan dan juga keyakinan.
"Kita gak pernah tahu takdir akan membawa kita ke mana. Sesuatu yang tidak mungkin, bisa menjadi mungkin jika memang Tuhan telah menghendaki," tutur Arhan berusaha membesarkan hati sang kakak, walau jauh di lubuk hati terdalam sana dadanya sesak tak terkira.
Haidar manggut-manggut lantas berujar, "Rasa hati ingin berjuang, tapi logika melarang. Keduanya saling berperang."
"Kalau jodoh gak akan ke mana, Bang."
"Jodoh emang gak ke mana, tapi saingan di mana-mana," sahut Haidar seraya tertawa kecil.
Arhan ikut larut dalam tawa. Walau tak dapat dipungkiri, bahwa perkataan sang kakak ada benarnya juga.
Jodoh adalah takdir yang harus diikhtiarkan, kita tidak bisa hanya menunggu dan berpangku tangan.
...—BERSAMBUNG—...