Berandal Sekolah Kesayangan Ketos

“Hubungannya, tuyul it—”

“Ck, dah ‘lah, gak usah dijawab!” sela Neo mengantisipasi percakapan tak berfaedah di antara mereka. “Ja! Tungguin gue, elaah!”

“Perasaan gue yang ditinggal, kenapa dia yang teriak minta ditungguin?” gumam Rance mengikuti langkah Neo dari belakang.

Senja dan Langit akhirnya tiba di parkiran sekolah. “Emangnya beneran Hengky yang bikin rem motor Neo blong?” tanya Senja penasaran.

“Belum ada bukti, tapi aku yakin ini ulah dia. Cuma dia yang begitu gila lakuin hal bahaya menyangkut nyawa orang kayak gini. Dia itu sering kalo tawuran, pasti bawa celurit atau benda tajam lainnya. Itu anak gila, jadi bukan gak mungkin dia yang bikin rem motor Neo blong. Buktinya juga dia dateng sambil ngejekin Neo tadi.”

Senja menghembuskan napas panjang. “Dia kayak gitu pasti karna lingkungan komplek perumahan dia. Temen dia preman semua, aku liat mereka emang suka bawa sajam. Makanya aku gak mau kamu kalo terus berurusan sama dia. Kamu sendiri tau dia gila, aku gak mau nanti dia main licik, terus lukain kamu pake sajam,” tutur Senja khawatir.

Langit tersenyum dan mengusap pipi Senja. “Aku berusaha gak terlibat, Sayang. Dia yang terus mancing aku, kamu tau sendiri ‘kan selama ini selalu dia yang cari masalah.”

“Terus kalo nanti beneran diusut tentang rem blong itu, dia bisa marah. Aku bener-bener khawatir sama kalian. Apalagi kalian masih sering keluar malem tanpa sepengetahuan aku.”

“Kalo ketahuan dia sama temen-temennya, ya bagus, biar diringkus polisi sekalian.” Langit menarik helm kecil untuk Senja.

“Tapi tetep aja bahaya.”

Langit terkekeh. “Iya, gak usah mikirin itu. Masalah rem blong itu juga yang ngurus Papi, bukan kami, kok. Kamu tenang aja.”

“Ace bangke emang.”

Langit dan Senja menoleh ke arah Neo yang berjalan sembari menggerutu. Pemuda itu melangkah pincang, menahan lututnya supaya tidak sakit, ia tampak begitu hati-hati. Sebentar lagi akan turnamen basket, jadi Neo harus betul-betul menjaga lukanya supaya sembuh total menjelang turnamen.

“Kenapa lo misuh-misuh?” tanya Senja heran.

“Itu si Ace, bilang gue jalan kayak bebek, anying gak?” gerutu Neo membuat Langit dan Senja tertawa. “Malah ketawa, sama aja kalian.”

“Gue cuma mau jujur, emang lo jalannya kayak bebek. Liat aja dari belakang kalo lo gak percaya,” balas Rance tanpa beban.

“Gimana bisa gue liat diri sendiri jalan dari belakang, hah? Lo kira gue siluman?” celoteh Neo kesal.

“Kalo gitu biar gue video-in. Coba jalan ke situ, biar lo bisa liat bebek lagi jalan versi manusia,” ujar Rance membuat tawa Langit dan Senja semakin pecah.

“Emang bangke lo! Siluman sesungguh lo, Aceee!”

***

“Sekarang lagi ajuin cuti, jadi selama liburan di sini, Mbak Gesyila akan tinggal di rumah kita.”

Fema tersenyum, kemudian melirik Senja yang balik tersenyum. “Semoga betah selama di sini, Mbak. Kalau ada apa-apa yang kurang, beritahu saja kami. Kami yakin, rumah sederhana kami ini tidak seberapa dibandingkan rumah Mbak,” tutur Fema terkekeh kecil.

Gadis cantik di seberang sofa tamu itu tersenyum kepada Fema. “Biasa saja, Tante. Rumah ini bagus, aku suka, nyaman dan sepertinya lebih ramai karena di komplek, ya?”

“Oh, iya. Ini di komplek perumahan, jadi cukup ramai. Memang berbeda dengan rumah Mbak Ge yang luasnya hanya untuk satu halaman milik keluarga Ratama saja,” balas Arditya ramah.

Gesyila tersenyum dan mengangguk, ia melirik Senja yang sedari tadi diam sembari tersenyum ramah kepadanya. “Namanya Senja tadi, ‘kan? Salam kenal, ya, Senja.”

“Iya, Kak. Semoga betah di sini, kalau ada hal apa pun, bisa beritahu gue aja. Mau keliling komplek ini juga bisa gue temenin,” balas Senja tampak santai.

Gesyila mengangguk. “Aku yang lebih tua rupanya, ya? Maaf, ya, kalau bahasa aku sedikit kaku, soalnya belum terbiasa di lingkup Jakarta.”

“Gak papa, santai aja, Kak. Lo lebih tua 1 tahun dari gue, soalnya gue masih kelas 2 SMA. Malah masih keren lo bisa bahasa Indonesia, padahal dari kecil tinggal di Los Angeles,” kata Senja.

Gesyila terkekeh. “Papa sama Mama masih sering pakai bahasa Indonesia kalau lagi di rumah. Jadi gak terlalu lupa.”

“Senja, anter Mbak Gesyila ke kamar tamu. Maaf kalau kamar tamunya gak terlalu luas, Mbak,” ucap Arditya.

“Gak masalah, Om. Oh, iya, panggilnya Gesyila atau Gege aja, Om, Tante. Gak usah terlalu kaku gitu, santai aja, he-he.”

Arditya dan Fema tersenyum tenang menanggapi itu. Mereka memperlakukan Gesyila dengan cukup formal, karena gadis itu anak atasan Arditya. Gesyila tengah cuti dan memilih jalan-jalan ke Indonesia, sehingga atasan Arditya menitipkan sang putri selama liburan di sana.

“Ayo, Kak. Ikut gue,” ajak Senja.

“Aku permisi, Om, Tante.” Gesyila berpamitan dengan sopan.

“Iya, Mbak—eh, maksudnya Gege.”