Seorang dokter jenius dari satuan angkatan darat meninggal karena tanpa sengaja menginjak ranjau yang di pasang untuk musuh.
Tapi bukanya ke akhirat ia justru ke dunia lain dan menemukan takdirnya yang luar biasa.
ingin tau kelanjutannya ayo ikuti kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Pagi itu, langit diselimuti awan tebal. Kabut tipis sudah menggantung di atas permukaan laut, meski matahari belum sepenuhnya terbit. Kapal nelayan tua itu berderit saat mereka naik satu per satu.
Nelayan tua memberi mereka sekantong bekal. Bai He langsung mengintip.
“Astaga… ikan asin lagi.”
Lan’er hampir tertawa tapi buru-buru menutup mulutnya. “Kalau kau tak mau, serahkan padaku.”
Yue Lan mendorong Bai He ke haluan kapal. “Kalau kau masih mengeluh, aku akan melemparkanmu ke laut biar Hai Mo yang gendong sampai Pulau Kabut.”
"Sebelum kau melemparku, aku duluan yang akan membuang mu" kesal Bai He
Ombak mulai meninggi begitu mereka meninggalkan dermaga. Kabut yang awalnya tipis berubah menjadi tebal, dingin, dan berat, sampai-sampai suara percakapan mereka terdengar teredam.
Shui Ying berdiri tegak di haluan, matanya mengamati setiap gerakan ombak. “Tetap waspada. Di perairan ini… arah mata angin sering menipu.”
Tiba-tiba, air di sisi kapal beriak. Sosok besar muncul perlahan Hai Mo, sang penjaga laut, mengiringi mereka dari bawah permukaan. Sekali-sekali, siripnya memecah air, lalu ia menghilang lagi di kedalaman.
Shui Ying tersenyum tipis. “Sepertinya kita mendapat pengawal pribadi.”
Bai He mengangguk. “Bagus, tapi kalau dia lapar, aku akan lempar Yue Lan dulu.”
"Yue Lan menatapnya tajam. “Coba saja.”
Beberapa jam kemudian, dari balik kabut, mulai tampak bayangan daratan tebing hitam tinggi menjulang dengan pepohonan berdaun perak di puncaknya. Suara aneh seperti bisikan terdengar setiap kali ombak menghantam batu.
Nelayan tua yang mengemudi kapal tiba-tiba menghentikan dayungnya. “Sampai di sini saja… Aku tidak bisa menginjak Pulau Kabut. Ingat pesan saya, jangan percaya semua yang kalian lihat di sana.”
"Kami mengerti, terima kasih" ujar Li Xiaoran
Lalu satu persatu mereka menuruni kapal ke dermaga batu yang licin. Setiap langkah memunculkan gema aneh, seolah batu itu sedang berbicara dalam bahasa yang tak mereka mengerti.
Lan’er berbisik pada Li Xiumei, “Kalau dermaganya bisa ngomong, semoga dia nggak gosip soal kita.”
Li Xiumei hanya tersenyum tipis. “Di sini, bahkan gosip pun bisa membunuh.”
Sedangkan Li Xiaoran menatap semua tempat dengan waspada
Begitu mereka melewati gerbang batu besar berukir pusaran air, suhu mendadak turun. Kabut di hutan bergerak seperti tirai hidup kadang menutup jalan, kadang membuka lorong sempit yang seolah mengundang.
Li Zhen melangkah duluan… lalu berhenti kaget. “Eh, kenapa ada dua tuan Yue Lan?”
Yue Lan asli mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Semua menoleh memang, di depannya berdiri sosok Yue Lan lain, identik sampai cara memandangnya.
Ruan Tian menghunus pedang. “Itu ilusi.”
Yue Lan asli tidak bicara panjang, langsung menendang kembarannya. Sosok itu berubah menjadi kabut dan lenyap.
Lan’er menelan ludah. “Kalau aku lihat kembaranku di sini, apa aku juga harus—”
“Ya, dan cepat,” potong Yue Lan.
Mereka melangkah lebih jauh, tapi gema langkah mereka terdengar seperti ada puluhan orang mengikut. Di kejauhan, kabut mulai membentuk siluet tinggi dengan mata merah menyala.
Li Xiaoran menggenggam pedangnya erat. “Sepertinya… Tuan Bayangan sudah menunggu.” dan di angguki oleh yang lain
Sedangkan kabut di depan mereka berputar pelan, seolah mengikuti napas dari makhluk yang berdiri di baliknya. Dua mata merah itu bergerak, memandang satu per satu dari rombongan tanpa suara.
Li Xiumei berbisik pelan, “Kalau itu cuma efek cahaya, aku janji nggak akan makan ikan asin lagi.”
Lan’er menahan tawa. “Jangan janji, nanti malah kesampaian.”
Tiba-tiba, sosok itu memudar, berganti menjadi jalan setapak berbatu yang sebelumnya tidak ada. Bau tanah basah bercampur wangi aneh seperti bunga yang layu menguar dari arah sana.
Shui Ying memberi isyarat. “Tetap rapat. Di tempat seperti ini, satu langkah salah bisa berarti hilang selamanya.”
Mereka berjalan, tapi setiap beberapa menit, posisi mereka seperti bergeser kadang Li Xiaoran yang tadinya di tengah tiba-tiba sudah di depan, atau Bai He yang di belakang malah muncul di sisi Ruan Tian.
“Ini bukan jalannya yang berubah,” kata Yue Lan lirih, “tapi pikiran kita yang diacak-acak.”
Baru saja ia selesai bicara, Lan’er menjerit kecil. “Kenapa kalian semua berubah jadi Mentri Li ?!”
Li Xiaoran terkejut. “Ayahku?!”
Lan’er menggeleng cepat. “Bukan sungguhan, tapi wajah kalian… sama semua. Sangat… menyebalkan.”
Bai He langsung menepuk bahunya. “Kalau aku berubah jadi ayah Xiaoran, setidaknya aku pasti lebih tampan.”
Yue Lan memutar mata. “Tidak, kau akan tetap menyebalkan.”
Langkah mereka berhenti ketika kabut terbelah, memperlihatkan dataran lapang dengan batu-batu hitam besar membentuk lingkaran. Di tengahnya, berdiri sebuah kursi tinggi seperti singgasana, tapi kosong.
Li Xiaoran merasakan hawa dingin merayap dari bawah tanah, seperti ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan batu. “Dia… ada di sini.”
Suara berat menggema dari segala arah, tanpa terlihat pemiliknya.
“Kalian yang mengganggu lautku… datang juga akhirnya. Selamat datang di Pulau Kabut… tempat di mana nama kalian akan hilang, dan ingatan kalian akan menjadi milikku.”
Bai He mengangkat tangan. “Kalau kau mau ingatan, hati-hati… punya Ruan Tian itu cuma penuh resep masakan.”
Ruan Tian menatapnya datar. “Kalau aku masak sup dari naga, kau yang pertama kali kucoba.”
"Lakukan jika berani " ujar Bai He sinis
Kabut di sekitar mulai berputar lebih cepat, membentuk dinding tinggi seperti penjara. Bayangan-bayangan bergerak di dalamnya, masing-masing meniru wajah mereka sendiri—senyum dingin, mata tanpa cahaya.
Yue Lan menghunus pedangnya. “Dia tidak akan muncul langsung. Kita harus memecah lingkaran ini.”
Li Xiaoran menutup mata sejenak, memanggil kekuatan sumpahnya. Riak cahaya biru mulai mengalir dari ujung pedang, menyusup ke sela-sela batu hitam. Saat cahaya itu menyentuh tanah, kabut di sekitarnya berteriak… ya, benar-benar berteriak, seperti makhluk yang kesakitan.
“Menarik,” suara Tuan Bayangan kembali terdengar, kali ini lebih dekat. “Kita lihat… apakah kau mampu melawan bayanganmu sendiri.”
Seketika, dari kabut di hadapan Li Xiaoran, muncullah dirinya versi yang sama persis, tapi dengan mata hitam legam dan senyum yang dingin.
Bersambung
semangat Xiaoran dan yang lain...
semangat kak author dan sehat selalu