NovelToon NovelToon
Cinta Monyet Belum Usai

Cinta Monyet Belum Usai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Teman lama bertemu kembali / Office Romance / Ayah Darurat / Ibu susu
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ly_Nand

Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.

"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?

"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...

Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.

Kini sosok itu ada di depannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Masih Sama Seperti Dulu

Suasana ruangan Damar yang memang biasanya sunyi dan tenang, kali ini terasa aneh. Pertanyaan Damar yang tiba-tiba tadi membuat Abas salah tingkah, ia berdiri serba salah di hadapan bosnya.

“Bas, bagaimana menurut kamu?” Damar kembali menekan, tatapannya tajam.

Abas menghembuskan napas pelan, mencoba menimbang kata. “Bisa saja itu terjadi, Pak.”

Alis Damar berkerut. “Tapi bukankah dia sudah bilang suka? Bahkan… sampai mengekori orang itu, mengenal keluarganya. Bukankah itu artinya dia hanya bisa menjadi milik orang yang dia kejar?”

Abas menelan ludah, wajah serius bosnya membuatnya takut salah jawab.

“Tidak semudah itu, Pak. Kita harus tahu, apakah orang yang mengejar itu sudah mendapat jawaban dan kepastian? Kalau belum, sah-sah saja dia berpindah ke lain hati. Tidak ada manusia yang mau digantung perasaannya, apalagi wanita. Mereka selalu ingin kepastian.”

Begitu kata-kata itu keluar, Abas buru-buru menutup mulutnya. Ia sadar hampir saja terlalu jauh bicara, tapi firasatnya kuat: bosnya sedang bicara tentang dirinya sendiri.

“Lalu…” suara Damar lebih rendah, hampir bergumam. “Bagaimana kalau orang yang dulu mengejar itu sekarang sudah benar-benar memiliki seseorang yang penting di hidupnya?”

Abas menghela napas, kali ini lebih mantap. “Ya, artinya dia sudah berhenti mengejar. Bisa dikatakan, dia menyerah. Dia memilih bersama orang yang bisa memberi kepastian.”

Rahangan Damar mengeras. Tangannya mengepal di atas meja, urat di pelipisnya terlihat menegang. Perasaannya campur aduk, tak karuan.

“Keluarlah, Bas. Nanti kalau Pak Hadi datang, langsung bawa ke ruang meeting dan kabari saya.”

“Baik, Pak.” Abas menunduk cepat, lalu melangkah keluar. Dalam hati, ia makin yakin: sesuatu sedang terjadi pada bosnya.

Setelah beberaapa waktu, di tengah kesibukannya, Stasia tiba-tiba bangkit dari kursinya.

“Kenapa, Si?” tanya Max, karena posisinya cukup dekat.

“Mau ke toilet.”

“Oh, ke lantai lain saja. Katanya saluran air di toilet lantai ini bermasalah. Teknisi baru datang, jadi sepertinya belum selesai perbaikan.”

“Baiklah, terima kasih.”

Stasia segera bergegas. Ia memutuskan naik lift menuju toilet lantai lain. Saat pintu lift terbuka, kondisi cukup sepi. Dengan leluasa ia menekan tombol, turun ke lantai satu, lalu bergegas menuju toilet.

Selesai dari toilet, ia melangkah santai kembali ke arah lift. Namun langkahnya terhenti begitu saja.

Di dekat pintu lobi, berdiri seseorang—sosok pria matang yang dulu meninggalkan luka dalam hingga membuatnya tak lagi ingin berlama-lama di negeri ini. Dan di samping pria itu, seorang wanita muda seusianya bergelayut manja di lengannya.

Wanita itu… salah satu orang yang berperan merebut kebahagiaannya, merusak keluarganya, menghancurkan rumah yang seharusnya penuh cinta.

Stasia membeku. Ternyata sakit itu masih ada, segar, meski bertahun-tahun sudah berlalu. Air matanya tumpah tanpa bisa ia cegah. Tangannya mengepal, tubuhnya bergetar hebat menahan emosi.

Pintu lift di sampingnya berbunyi. Dari dalam, Damar melangkah keluar dan mendapati Stasia berdiri membelakanginya.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya heran.

Stasia tak menjawab, tak juga menoleh. Damar penasaran, ia melangkah mendekat. Begitu wajah Stasia terlihat, ia terkejut.

Wajah itu merah, basah oleh air mata. Pemandangan yang mengembalikannya pada kenangan sebelas tahun lalu—beberapa kali ia mendapati Stasia seperti ini, menangis diam-diam tanpa pernah tahu sebabnya.

“Stacy…” suaranya melembut, lalu tanpa banyak bicara ia menggenggam tangan gadis itu. Tangan yang dingin, rapuh.

“Ikut aku.”

Damar menarik Stasia masuk ke dalam lift. Sampai di lantai kantor Damar, ia kembali menuntunnya masuk ke ruang kerjanya.

“Duduk.” Ia menuntun Stasia ke sofa, lalu menuangkan segelas air putih. “Minumlah sampai kamu merasa lebih baik.”

Tanpa menunggu jawaban, Damar berbalik, menghubungi Abas.

“Atasi dulu klien hari ini. Jangan ada yang datang ke ruanganku. Kalau dia minta yang macam-macam, batalkan saja kerja sama. Aku tidak suka klien yang tidak profesional.”

Sambungan diputus sepihak. Damar kembali menghampiri Stasia, menunduk sedikit agar bisa melihat wajahnya.

“Sudah lebih baik?” tanyanya pelan.

Stasia mengangguk ragu.

“Istirahatlah di sini kalau kamu masih merasa tidak enak badan.”

“Maaf… aku merepotkanmu.” Stasia buru-buru berdiri. “Aku harus kembali bekerja.”

Damar menghela napas kasar, ikut berdiri. “Apa kamu yakin bisa bekerja dengan kondisi seperti ini?”

Stasia terdiam, sedikit goyah.

“Istirahat saja. Aku yang akan menelepon manajer pengembangan, bilang kalau kamu sedang membantuku mengerjakan sesuatu.”

“Tapi, Pak—”

“Aku tidak mau dibantah.” Suaranya tegas, dingin tapi ada keteguhan di dalamnya.

Damar kembali ke kursinya, sementara Stasia, dengan wajah canggung, akhirnya duduk lagi di sofa.

Stasia akhirnya menyerah. Tubuhnya yang terasa berat memaksanya kembali duduk. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Setidaknya… Damar ada di dekatnya. Entah kenapa sejak dulu, cukup berada di sisi pria itu saja, segala hal sedih, luka, juga beban hidupnya seolah menguap.

Damar, dengan segala ketegasan dan dinginnya, tetaplah Damar yang pernah membuatnya merasa memiliki rumah. Pria itu mungkin tampak kaku dan tak banyak bicara, namun ada sisi hangat yang selalu membuatnya nyaman.

Beberapa menit Stasia hanya bersandar, memejamkan mata, mencoba mengatur perasaan yang kacau. Tanpa disadari, kelopak matanya semakin berat, hingga akhirnya ia terlelap begitu saja di sofa.

Dari balik meja kerjanya, Damar memperhatikan. Awalnya ia hanya diam, tak ingin membuat Stasia semakin canggung. Namun setelah yakin Stasia benar-benar tertidur, ia bangkit dari kursinya dan mendekat.

Perlahan, ia merapikan posisi tubuh Stasia agar lebih nyaman. Tangannya bergerak hati-hati, seakan takut membangunkan gadis itu.

Damar duduk di sisi sofa, tepat di dekat kepala Stasia. Pandangannya jatuh pada wajah lelap yang tampak begitu damai. Ada sesuatu yang menusuk dadanya—perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata.

Jemarinya terulur, menyibak helaian rambut yang menutupi wajah cantik itu. Lalu dengan ragu, ia mengusap lembut pipi Stasia.

“Stacy…” lirihnya, nyaris tak terdengar. “Ada apa denganmu sebenarnya? Sudah sebelas tahun, dan kamu masih seperti ini. Apakah kepergianmu tidak pernah menuntaskan lukamu?”

Ia menarik napas panjang, matanya tak lepas dari wajah Stasia yang tertidur. “Kalau dengan pergi semua masih sama… maka jangan lakukan itu lagi.”

Damar menunduk, melepas jas yang dikenakannya. Dengan hati-hati, ia menyelimuti tubuh Stasia. Ia bahkan meluruskan kaki Stasia dan melepas sepatunya agar tidurnya lebih nyaman. Syukurlah, Stasia mengenakan celana. Setidaknya Damar tidak merasa canggung, berbeda bila gadis itu memakai rok.

Kini, ia hanya bisa duduk di sana. Menatapnya. Menjaga dalam diam. Sesekali ia akan melihat Stasia yang bergerak dan menggeliat untuk memastikan gadis itu tidur dengan nyaman.

1
Erna Fadhilah
sangat sangat sangat banyak kan malah
Erna Fadhilah
menang di Damar kalau posisinya kaya gitu 😁😁
Nittha Nethol
lanjut kak.jangan pakai lama
Sri Wahyudi
lanjud kak
Erna Fadhilah
asiiik 😂😂😂skrg gantian Damar yang ngejar Stacy ya😄😄
Erna Fadhilah
pada shock semua ini denger Ares manggil Damar dengan panggilan papa 😁😁
Erna Fadhilah
kamu ikuti aja Stacy nan pas akhir pekan biar kamu tau siapa orang yang di panggil sayang sama Stacy
Erna Fadhilah
Stacy bingung dia mau sama Ares tp di suruh sama Damar ketemu mama Rini
Erna Fadhilah
kirain tidur di kamar di dalam ruangan Damar 😂😂
Erna Fadhilah
tenang res sebentar lagi kamu bakal punya papa yang bakal sayang sama kamu
Erna Fadhilah
jangan jangan orang yang di maksud Stacy itu pak hadi sama hana 🤔🤔
Erna Fadhilah
yang di panggil sayang sama Stacy itu Ares ponakannya bukan orang special lainnya Dam 🤦‍♀️😁
Erna Fadhilah
makanya Dam ingat kata mama Rini ya kamu jangan gedein gengsi nanti bakal nyesel baru tau rasa
Erna Fadhilah
kirain wulan atau ayu eeeh ternyata mama Rini yang masuk ruangan Damar
Erna Fadhilah
siapa tu yg datang, wulan atau ayu kah🤔🤔
Sri Wahyudi
lanjud kak
Erna Fadhilah
begitu Damar masuk langsung liat pemandangan yang buat dia kebakaran
Erna Fadhilah
hana PD sekali mengaku calon istri Damar, masih untung Damar ga langsung ngomong sama para karyawan kalau hana bukan calon istrinya, kalau sampai itu terjadi bisa malu pakai banget pasti
Erna Fadhilah
aku seruju banget kalau wulan sama Andre
Erna Fadhilah
aku penasaran adam belum nikah ya thor, padahal kan dia lebih tua dari wulan dan Damar, wulan aja malah udah punya anak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!