Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Tawa Leon, Luka Laura
Laura masih terdiam. Dia tetap mengerucutkan bibir dengan alis yang bertautan. Tak lama kemudian, bocah laki-laki tersebut menggeleng.
"Nggak! Paman Noah bukan ayahku! Jadi aku besok tidak mau ke sekolah sama Paman! Papaku itu Papa Jordan!" Leon tak lagi melanjutkan makan malamnya.
Leon turun dari atas kursi, lalu berlari cepat masuk ke kamarnya. Dia langsung meringkuk di bawah selimut sambil menangis sesenggukan. Bocah laki-laki tersebut sangat kecewa karena sang ibu tidak menuruti kemauannya.
Akhirnya malam itu Leon tertidur dengan berlinang air mata. Sementara Leon merajuk, Laura berusaha menenangkan Noah yang kecewa. Dia berusaha menggenggam tangan calon suaminya itu, tetapi Noah langsung menarik lengannya.
"Noah, tolong jangan tersinggung dan kecewa. Dia hanyalah anak-anak yang merindukan sosok seorang ayah." Laura menatap nanar Noah yang masih mengunci bibirnya sejak bentakan Leon keluar.
Suasana ruangan itu menjadi hening. Hanya terdengar suara gemericik air dalam akuarium. Begitu terdengar hela napas berat, Laura menoleh ke arah Noah.
"Apa kehadiranku selama ini tidak pernah kalian anggap dan tidak berharga? Apa kehadiranku masih kurang untuk menutup kekosongan hari Leon dari kerinduan akan sosok seorang ayah?" Noah tersenyum kecut tanpa melirik sedikit pun ke arah Laura.
"Noah, kamu salah paham kehadiranmu ...." Belum sempat Laura melanjutkan ucapannya, Noah beranjak dari kursi.
"Aku memanglah bukan siapa-siapa dalam kehidupanmu dan Leon, Laura. Aku hanya orang asing yang kebetulan bertemu dan merawat luka lamamu. Aku pulang dulu. Aku butuh udara segar untuk menjernihkan pikiran." Noah akhirnya melangkah meninggalkan Laura yang kini hanya bisa menatap lelaki itu semakin menjauh.
Laura akhirnya mengembuskan napas kasar. Dia tidak bisa lagi memaksakan kehendaknya ketika Leon sudah memiliki keinginan kuat. Leon sangat mirip dengannya jika soal sifat.
Menghadapi Leon selama ini sama seperti tengah berkaca pada kelakuan diri sendiri. Laura tersenyum kecut. Akhirnya dia harus mengalah dan menyakiti hati lelaki lain yang selama ini menjaganya.
Keesokan harinya, Jordan datang menjemput seperti biasa. Namun, ada yang berbeda dengan penampilannya. Lelaki tersebut berdiri tenang di depan mobil dengan cahaya matahari pagi yang cukup mendukung penampilan Jordan pagi itu.
"Papa!" seru Leon dengan mata berbinar dan langsung berlari ke arah sang ayah.
Jordan memancarkan pesona yang tak bisa diabaikan meski hanya mengenakan pakaian kasual. Kaos hitam yang membalut tubuhnya tampak sederhana, tetapi justru mempertegas garis bahu dan dadanya yang bidang, memberi kesan maskulin. Jaket denim yang dikenakannya tergulung hingga siku, memperlihatkan lengan kokoh yang seolah menyimpan kekuatan tersembunyi.
Celana jeans hitam membalut rapi kaki jenjangnya, berpadu sempurna dengan sneakers putih yang tampak kontras dan bersih, seperti cerminan kepribadiannya yang santai. Rambut Jordan sedikit berantakan, tetapi justru itulah yang membuatnya tampak semakin menarik, seperti sorot matanya yang teduh dan menyimpan misteri. Jordan hanya berdiri di sana, tersenyum tipis, dan dunia seolah melambat sesaat.
"Kami berangkat dulu!" pamit Jordan sambil tersenyum lembut ke arah Laura.
Lamunan Laura seketika berhenti. Dia mengerjap beberapa kali kemudian tersenyum canggung. Leon melambaikan tangan sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.
"Hati-hati di jalan!" teriak Laura sambil melambaikan tangannya.
Siti yang menyadari sang majikan sedang terpesona, kini tersenyum simpul. Laura menoleh ke arah Siti sebelum akhirnya perempuan tersebut menelan kembali senyumnya. Laura menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibir.
"Apa yang sedang Mbok Siti pikirkan?" tanya Laura.
"Ng-nggak, Bu. Saya cuma ...." Siti menggerakkan bola matanya berulang kali seakan sedang mencari-cari sesuatu.
"Saya hanya senang melihat Leon menjadi lebih ceria sekarang!" Siti tersenyum canggung dengan mata berbinar sambil menepuk telapak tangannya sekali.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu. Saya pulang, ya? Nanti setelah Leon kembali dari sekolah saya akan datang lagi." Siti pun bergegas mempercepat langkah kakinya.
Perempuan tersebut enggan berdebat lebih lama lagi dengan Laura. Setelah Siti keluar dari tempat parkir, Laura pun kembali masuk ke apartemen. Dia hari ini diizinkan bekerja secara daring.
---
Suara peluit panjang menggema di lapangan TK tempat Leon bersekolah. Sorak sorai anak-anak pecah, sementara para ayah berdiri dengan ekspresi campur aduk, antara semangat dan gugup.
“Game pertama: Estafet Kucing Lompat!” seru guru olahraga, Miss Karen, penuh antusias.
Leon menggenggam tangan Jordan erat-erat. Matanya berbinar.
“Ayah siap jadi kucing?” tanya Leon dengan mata berbinar.
“Siap, Kucing Super Ayah akan menang hari ini!”
Permainan pun dimulai. Anak-anak duduk di punggung ayah mereka sambil mengeong keras. Jordan, yang biasanya hanya tahu rapat dan grafik saham serta kode-kode untuk sistem game, kini meloncat-loncat di lapangan dengan Leon di punggungnya.
“Meooong! Lebih cepaaaat, Yah!” seru Leon sambil mengangkat tinju ke udara.
“Perintah dari anak harimau, harus patuh!” Jordan pun mempercepat langkah kakinya.
Sorakan penonton menggema. Salah satu ayah terpeleset, yang lain salah jalur, tetapi Jordan dan Leon tetap fokus. Meskipun napasnya mulai ngos-ngosan, Jordan tak mengeluh. Demi Leon, dia terus melompat sampai garis finish.
“Pemenangnya … Tim Jordan dan Leon!”
Leon memeluk ayahnya erat. Keringat membasahi dahi Jordan, tetapi senyum Leon membuat rasa lelahnya hilang.
“Ayah keren banget!” ujar Leon dengan senyum mengembang sepenuhnya.
“Kamu sumber kekuatan Ayah, Leon.” Jordan mengacak rambut Leon dan berakhir dengan cubitan kecil pada pipinya.
Permainan selanjutnya adalah Bola Balon Peluk Erat. Ayah dan anak harus membawa balon dengan dada dan perut mereka, tanpa boleh jatuh serta tanpa bantuan tangan. Leon dan Jordan tertawa terpingkal saat balon mereka hampir jatuh tiga kali.
“Perut Ayah empuk banget kayak bantal!”
“Itu otot cinta, Nak!” ujar Jordan sambil memasang wajah pura-pura tersinggung.
Saat lomba terakhir dimulai, Tebak Langkah Anak, semua ayah ditutup matanya. Anak-anak diminta berjalan, dan ayah harus menebak langkah mana yang milik anak mereka.
Jordan berdiri, telinganya fokus. Derap langkah kecil terdengar, beberapa cepat, beberapa pelan. Namun, setelah lebih sering bersama Leon dia semakin hafal dengan cara berjalan putranya tersebut.
“Itu Leon. Langkah kecil, lima kali … lalu ada satu lompatan. Dia selalu begitu saat senang," tebak Jordan tanpa ragu.
Topeng dilepas. Benar. Leon berdiri sambil tersenyum lebar, penuh dengan rasa bangga kepada Jordan.
“Ayah tahu aku!” ujar Leon sambil melompat kegirangan dan bertepuk tangan.
“Ayah akan selalu tahu, bahkan kalau kamu jalan dari jarak satu kilometer.”
Tepuk tangan menggema. Kamera orang tua lain menangkap momen itu. Akan tetapi, Jordan tak peduli. Baginya terpenting hanyalah tawa Leon yang memantul di antara langit biru, ini kemenangan yang sesungguhnya.
Sore mulai turun saat Jordan menggendong Leon menuju gerbang. Anak itu tertidur lelap di pelukannya, lelah setelah seharian tertawa dan berlari. Laura sudah menunggu di sisi mobil, tersenyum melihat keduanya.
Jordan menyerahkan Leon perlahan, membenarkan selimut kecil di pundaknya. “Dia bahagia hari ini,” ucap Jordan lirih.
Laura menatap Jordan dalam diam sejenak, lalu menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna biru tua.