Keberanian tidak akan pernah absen dari ketakutan.
Orang berani bukan berarti mereka tidak pernah merasa takut, akan tetapi mereka berhasil menaklukkan rasa takut itu.
Hanya karena kau pernah gagal lalu terluka di masa lalu, bukan berarti semua yang kau hadapi sekarang itu sama dan menganggap tidak ada yang lebih dari itu.
Kau salah . . . . . !!!
Briana Caroline MC.
Yang arti nya KEBERANIAN, TANGGUH, KUAT DAN PENAKLUK DUNIA.
Tidak seperti arti dari namanya yang diberikan orang tuanya. Justru malah sebalik nya.
Bayang-bayang dari masa lalunya membuat dia TRAUMA. Itulah yang membuatnya selalu menghindari apapun yang akan masuk ke dalam hidupnya.
Dia lebih memilih untuk lari ketimbang menghadapinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fidha Miraza Sya'im, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
#Niiinuuu.... Ninuuu... Ninuuuu.....
Terdengar nyaringnya suara bunyi sirine yang membuat suasana pada area itu menjadi menegangkan. Riuh para warga yang berlomba ingin masuk ke dalam gedung sekolah membuat para petugas keamanan kewalahan mengatasinya.
Untuk pertama kalinya Briana meraih tangan Ryo lalu menggenggamnya begitu erat. Sontak membuat Ryo kaget dan menoleh ke arah Briana yang terlihat ketakutan.
Ryo mendekatkan dirinya pada Briana dan memberi isyarat agar ia bisa tenang. Ryo menggenggam tangan Briana dengan erat lalu menuntunnya masuk ke dalam gedung sekolah.
"Kalian mau kemana? Kalian dilarang masuk ke dalam". Salah satu petugas keamanan menghalangi jalan mereka.
Ryo mengeluarkan kartu pelajarnya dan menunjukkannya pada petugas itu.
"Kami pelajar di sekolah ini pak. Kedatangan kami disini karena di suruh pak kepala sekolah". Ryo berkata bohong.
Petugas itu mengembalikan kartu pelajarnya dan sesekali melirik Briana yang begitu tegang.
"Ya sudah. Kalian silahkan masuk ke dalam". Kemudian menahan mereka kembali ketika ia melihat Briana. "Dia kenapa? Apa dia sedang sakit?".
"I... Iya pak. Dia sedang tidak enak badan. Dia terpaksa kesini karena atas perintah pak kepala sekolah". Ryo tersenyum getir.
"Ya sudah, setelah urusan kalian selesai suruh dia minum obat dan istirahat yang cukup". Perintah polisi tersebut.
"Iya pak, terimakasih. Kami masuk dulu ya pak, permisi". Dengan langkah kaki seribu Ryo membawa Briana ke dalam sekolah.
"Briana kamu enggak apa-apa kan?". Ryo menatap wajah Briana yang pucat.
"Gue takut sama suara sirine". Untuk pertama kalinya Briana mengatakan pada seseorang apa yang ia takuti sembari ia menutup telinganya.
Ryo melihat sekeliling tempat itu. Ia berusaha untuk menenangkan rasa ketakutannya.
"Briana, kamu lihat aku. Kamu tenang ya. Ada aku disini. Aku ada di samping kamu dan aku enggak akan melepaskan tangan kamu. Jadi kamu enggak usah takut, lagian itu hanya suara. Anggap saja itu suara dari musik yang kamu suka". Ryo menggenggam tangan Briana sembari menatapnya. Kemudian meletakkan earphone miliknya pada kedua telinga Briana setelah ia memutarkan musik klasik yang ada di ponselnya.
Ryo merasakan tangan Briana yang membeku. Briana menatap wajah Ryo yang begitu meyakinkannya sembari mendengarkan musik tersebut hingga akhirnya ia jauh lebih tenang.
"Sekarang kita ke parkiran, ambil mobil kamu terus kita pulang. Oke?". Ujarnya dengan lembut.
Briana mengangguk pelan menuruti Ryo.
"Ya sudah yuk". Ryo menggandeng tangan Briana sampai menuju parkiran mobil sekolah.
"Nak Ryo.. Nak Ryo..". Tiba-tiba pak satpam sekolah menghampiri mereka dengan nafasnya yang sedikit terengah-engah.
Ryo dan Briana menoleh ke belakang.
" Iya pak?".
"Huh. . Huh.. Kalian tahu enggak? Huh.. Huh...". Ucapnya terbata-bata sambil mengatur nafasnya.
"Coba bapak atur nafas dulu baru bicara". Tutur Ryo.
"Huuh... Kalian tahu enggak nak Anya teman sekelas kalian berdua tewas di taman belakang sekolah". Lanjutnya.
Berita itu membuat Ryo kaget dan merinding , sedangkan Briana seperti mati rasa.
"Serius pak? Jadi keramaian ini karena kasus ini?". Ryo bertanya.
"Iya nak Ryo".
"Terus bapak tahu enggak kejadian apa yang terjadi?". Ryo penasaran.
"Bapak belum tahu jelas kejadian yang sebenarnya. Cuma menurut petugas kebersihan yang pertama kali melihat mayatnya, itu di sebabkan bunuh diri. Karena ia menemukan mayatnya tergantung di pohon yang paling besar di taman belakang. Tapi tadi bapak ngeliat mayatnya dari dekat terus bapak melihat ada luka sayatan pada lehernya dan itu bukan seperti sayatan dari tali tambang yang menggantung pada lehernya. Malah seperti sayatan dari sebuah benda tajam. Menurut bapak ini bukan kasus bunuh diri tapi kasus pembunuhan yang sengaja di buat seolah ini bunuh diri". Satpam itu menceritakan menurut versinya.
"Ouhmm... Tapi pak. Bisa saja itu luka dari bekas talinya pak. Kita enggak bisa sembarangan menyimpulkan kalau kita enggak ada bukti". Ryo tidak sepahaman dengan pak satpam.
"Iya juga sih nak Ryo. Kalau lah nak Anya di bunuh, ini pasti karena ada orang yang dendam sama nak Anya. Tapi kira-kira siapa ya pelakunya". Asumsinya seperti detektif.
Ryo merasakan genggaman tangan Briana semakin erat. Ia melirik Briana yang sudah mengeluarkan keringat pada wajahnya.
"Eh he he mana saya tahu pak. Kita tunggu saja laporan dari penyelidikannya. Karena mereka lebih tahu soal ini. Cepat atau lambat semuanya pasti terungkap. Oh ya pak, saya enggak bisa lama-lama di sini soalnya saya mau ngantar Briana pulang. Dia lagi enggak enak badan he he he".
Pak satpam melirik Briana.
"Oh.. Ehh tapi kalian enggak mau masuk dulu? Lagian teman-teman kalian juga ada di dalam lagi di minta keterangan sama polisi".
"Umm... Enggak usah deh pak. Kasihan sama Briana nya. Lihat nih Briana nya sudah lemas gitu. Bapak mau Briana kenapa-kenapa disini? Lagian kalau cuma dimintain keterangan kan masih bisa besok-besok. Kan enggak mungkin gara-gara keterangan kami berdua tidak ada, penyelidikan di batalkan he he he". Ryo berkata sembari tersenyum namun menyimpan kecemasan pada Briana yang nyaris pingsan.
"Iya juga sih. Ya sudah! Kalian balik saja cepat keburu nanti ada yang lihat kalian ada disini. Eh tapi kalian jangan lewat dari depan. Lewat dari gerbang sebelah kiri, di situ tidak ada petugas keamanan". Saran Pak satpam yang ingin membantu mereka.
"Baik pak. Makasih banyak ya pak. Jangan sampai ada yang tahu kalau kami kesini ya pak". Ryo bergerak cepat membukakan pintu mobilnya untuk Briana.
"Oke siap... Kalian hati-hati. Nak Briana semoga lekas sembuh ya".
Briana tersenyum pada pak satpam. Dengan cepat Ryo melarikan diri keluar dari gedung sekolah dari arah yang di sarankan oleh pak satpam. Mereka pergi menjauh dari ketegangan itu.
"Hmm... Kamu masih ngerasa takut Bri?". Ryo meraih tangan Briana lalu menggenggamnya.
Briana hanya diam dengan pandangan kosong.
"Kamu mau aku antar pulang atau mau jalan-jalan lagi ke suatu tempat? Atau kamu mau balik ke rumah aku lagi?". Ryo memberikan beberapa pilihan.
"Antar gue pulang saja". Ucapnya dengan nada lemah.
"Tapi kan aku enggak tahu alamat rumah kamu dimana he he he".
Briana melirik Ryo, lalu tangannya merogoh ke dalam tas kecilnya. Dahinya mengerut dan mengeluarkan isi yang ada di dalam tas.
"Kamu nyari apa? Kok sampai di keluarin gitu isi tasnya?". Ryo keheranan.
"Ponsel gue". Briana masih mencari dan memeriksa ke seluruh mobilnya.
"Kemarin loe waktu bawa gue ke rumah loe ngeliat ponsel gue enggak?".
Ryo menaikkan alis matanya sebelah, mengisyaratkan bahwa dirinya sedang mengingat.
"Kayaknya enggak ada deh. Aku cuma nemuin tas kamu saja yang tinggal di bangku taman depan dan aku juga enggak tahu ponsel kamu ada atau enggaknya di dalam"
Briana mencoba mengingatnya kembali namun ingatannya tak sampai ke sana sehingga terasa sakit pada kepalanya.
"Mungkin jatuh di sekolah atau mungkin jatuhnya di rumah aku. Apa kita cari saja dulu ke rumah aku? Mana tahu ponsel kamu enggak sengaja jatuh di kamar aku". Usulnya.
Briana mengangguk.
"Ya sudah, kita coba cari di rumah loe".
Sebuah nada dering terdengar dari ponsel Ryo. Ryo merogoh saku celananya lalu mengangkat panggilan tersebut dengan menyalakan loud speaker ponselnya sebab ia sedang menyetir sehingga Briana terpaksa mendengarkan pembicaraan mereka.
"Assalamualaikum Bunda, ya bun". Jawabnya.
Briana meliriknya.
" Waalaikumussalam, Ryo kamu masih di rumah nak?". Terdengar suara sang bunda.
"Ryo sudah di luar bun he he he".
"Hmm kebiasaan banget ya kamu nya enggak bilang dulu ke bunda. Padahal tadi sudah diingatkan kalau kamu mau keluar kamu wajib bilang ke bunda hmm".
Ryo tertawa getir. "He he he maaf bun, tadi Ryo buru-buru karena mau nolongin teman Ryo".
"Hmmp, ya sudah lah! Rencananya bunda mau minta tolong sama kamu, tolong belikan bunda makanan karena tiba-tiba teman-teman bunda mau datang ke rumah".
"Lho bukannya bunda bilang mau pulangnya malam ya?". Ryo mengingatkan beliau.
"Iya tadi rencana nya gitu. Eh bunda baru ingat kalau bunda ada janji sama teman arisan bunda kalau hari ini mereka mau ke rumah"
"Ouh gitu! Tapi Ryo lagi di luar bunda. Gimana nih? Apa Ryo pesankan saja melalui online? Bunda tinggal kirim saja sama Ryo list yang mau di beli". Ryo merasa tidak enak kepada ibunya.
" Enggak usah deh, biar bunda saja yang beli. Bunda coba cari di depan komplek pas mau pulang. Mana tahu ada yang jual makanan enak disana".
"Hmm maaf ya bunda, Ryo enggak bisa bantu bunda he he he". Ryo merendahkan suaranya.
" Iya enggak apa-apa. Kamu jam berapa pulangnya nanti?".
"Masih belum tahu sih bun. Nanti kalau Ryo enggak pulang Ryo pasti kabari kok ke bunda".
"Ya sudah, tapi kamu jangan macam-macam ya nak. Apa lagi macam-macam sama perempuan".
"He he he iya bun. Ryo janji enggak akan macam-macam. Ryo cukup satu macam saja". Ryo melirik Briana yang juga melirik dirinya.
"Hmm ya sudah bunda tutup telponnya, kamu hati-hati kalau di jalan"
"Iya bun, bunda juga hati-hati bawa mobilnya".
" Iya assalamualaikum".
"Waalaikumussalam". Ryo mematikan panggilannya dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
"Bri kayaknya kita enggak bisa sekarang deh ke rumah aku. Kamu kan dengar sendiri barusan?! Kalau teman-teman arisan bunda bakal ngumpul di rumah. Jadi gimana Bri apa kita nunggu acara mereka selesai baru ke rumah aku atau aku saja yang balik ke rumah nyari ponsel kamu?".
Briana mengendus pelan.
"Gue pinjam ponsel loe bentar".
Briana mengambil ponsel yang disodorkan oleh Ryo.
" Password ponsel loe?". Briana menyodorkannya kembali.
"Kami ketik saja sendiri. Aku agak susah ngetiknya sambil nyetir gini. Password nya nama kamu".
Briana mulai mengetik, tapi...
"Password salah".
"Salah? Perasaan aku enggak ganti password lah. Kamu sudah benar kan pengetikannya?". Ryo mengerutkan dahinya sembari sekali melirik ke arah Briana.
Briana memutar bola mata nya.
"Ya benar lah. Gue sudah ketik password yang loe bilang, NAMA KAMU kan passwordnya?". Ucapnya sembari mengetik ulang dihadapan Ryo.
Ryo menepuk jidatnya sembari tertawa geli.
"Buah ha ha ha ha".
" Kok loe ketawa?".
Ryo merasa gemes melihat Briana.
"Ya iya lah aku ketawa. Abisnya kamu itu lucu banget. Aku bilang password aku nama kamu, ehh kamu malah ngetik tulisan NAMA KAMU ha ha ha. Maksud aku itu nama kamu. B R I A N A, Briana bukan di ketik tulisan nama kamu ha ha ha".
Briana sedikit merendahkan suaranya namun tetap dengan kejutekannya "Ya kali gue kepedean".
Ryo mencoba untuk mengulum tawanya sambil menutup mulutnya dan sesekali melirik Briana.
Ia pun mengetik namanya sendiri pada ponsel Ryo dan ponsel berhasil terbuka. Briana mengutak-ngatik ponsel itu lalu memberikannya pada Ryo.
"Nih, kita ke rumah gue saja. Loe ikutin saja apa kata si mbak ini". Mbak yang di maksud Briana itu suara cewek yang ada di google.
" Hmmp oke siap princess hi hi hi". Ucapnya sembari meletakkan tangannya ke dahinya sebagai tanda hormat pada Briana.
Briana melirik Ryo dengan sinis.
"Kenapa password ponsel loe pakai nama gue?".
"Biar aku selalu ingat sama kamu setiap saat. Ha ha ha". Ryo malah menggombal Briana.
"Elo mau kita mati di tengah jalan?". Briana mengancamnya.
Ryo memanyunkan bibirnya.
" Ya elah Bri. Aku kan bercanda doank, biar enggak tegang kali suasananya kayak di sekolah tadi he he he".
"Enggak lucu". Ketusnya.
"Oh ya kamu mikir enggak sih kayaknya ada kesamaannya deh sama kejadian Anya dan kejadian Chiko setahun yang lalu? Dari kesimpulan yang aku dengar dari pak satpam, itu sama persis sama kejadian Chiko. Karena aku sempat melihat mayatnya Chiko kayak gitu juga. Gantung diri tapi ada sayatan benda tajam di lehernya. Menurut kamu sama enggak sih? Dan lagi ini tanggal.....". Ryo mencoba mengingat.
"Ya ampun...! Ini tanggal 20 bulan mei, sama tanggalnya sama kejadian Chiko setahun yang lalu". Ryo kaget mengingat tanggal yang sama serta kejadian yang sama terulang kembali.
Ryo melirik Briana yang tak bergeming, ia juga melihat gelagat Briana yang berusaha menutupi tangannya yang kembali gemetar.