NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Tubuh Arlena terkulai lemah, tak sadarkan diri setelah dipukul keras di bagian kepala.

Darah mengalir pelan dari pelipisnya, membasahi wajah pucatnya yang sudah penuh luka.

Tanpa belas kasihan, Ryan dan Dimas menyeret tubuh adiknya yang tak berdaya ke luar dari gudang.

Debu dan kerikil kasar menggores kulit Arlena saat tubuhnya diseret di atas tanah.

"Cepat! Jangan buang waktu!" bentak Ryan, membuka pintu mobil dengan kasar.

"Juragan Aldo udah nunggu. Katanya makin cepat makin banyak bayarannya!" sahut Dimas dengan mata yang berbinar, bukan karena kebanggaan, tapi karena imajinasi akan tumpukan uang yang akan mereka dapatkan.

Mereka melempar tubuh Arlena ke bagasi mobil seperti barang tak bernilai.

Bagasi ditutup dengan keras, dan suara mesin segera meraung memecah kesunyian malam.

Mobil itu melaju kencang meninggalkan gudang, membelah jalan sempit berbatu menuju sebuah lokasi terpencil di mana Juragan Aldo, pria yang dikenal licik dan haus kekuasaan, telah menunggu.

Dalam perjalanan, tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan rasa bersalah. Ryan malah tertawa kecil sambil berkata, "Dulu dia sok jagoan… sekarang lihat dia! Habis sudah!"

Sementara itu, jauh di tempat lain, Aldric tengah menatap layar peta digital dalam mobilnya bersama Raka dan Paman Arlena.

“Arahkan semua tim ke barat daya. Gunakan sinyal terakhir ponsel Arlena sebagai titik pencarian. Kita harus temukan dia sebelum mereka menjualnya!”

Tatapan mata Aldric tajam dan penuh amarah. Ia tak hanya marah karena Arlena diculik.

Ia marah karena seseorang yang mulai mengisi ruang hatinya disakiti, direndahkan, dan dianggap tidak berharga.

“Tunggu aku, Arlena… aku akan datang.”

Malam semakin larut, dan angin dingin berhembus pelan ketika mobil Aldric berhenti di sebuah bukit sunyi yang menghadap ke arah kota.

Ia turun dari kendaraan, menatap ke kejauhan dengan rahang mengeras dan mata yang merah karena kelelahan dan amarah yang ditahan.

Sudah lebih dari dua belas jam pencarian dilakukan. Setiap sudut, setiap sinyal, setiap laporan warga telah diperiksa. Tapi jejak Arlena menghilang seolah ditelan bumi.

Raka mendekat dengan wajah suram.

"Kami sudah periksa gudang, pelabuhan, jalan-jalan kecil, hutan sekitar... Tidak ada tanda-tanda Arlena, bahkan sidik jari pun nihil."

Aldric mengepalkan tangan.

"Mereka menghancurkan semua CCTV, menghapus jejak. Ini kerja orang yang tahu cara menyembunyikan manusia."

Paman Arlena yang berdiri tak jauh dari mereka akhirnya bersuara, suaranya berat oleh rasa bersalah.

"Itu pasti ulah kakak saya... dan... orang-orang busuk di sekitarnya. Mereka tega... bahkan setelah semua yang sudah Arlena lakukan."

Aldric tidak menjawab. Ia berjalan menjauh sebentar, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk.

Kilasan wajah Arlena muncul di pikirannya senyumnya saat membuatkan kopi, tawanya yang lembut saat memasak, air matanya yang diam-diam jatuh ketika tak sanggup bicara jujur.

"Di mana kamu, Arlena..." bisiknya.

"Kamu janji tidak akan lemah. Kamu janji akan bertahan."

Ia kembali ke mobil dan memberi perintah singkat:

"Kita cari cara lain. Kontak semua koneksi underground, siapa pun yang pernah kerja sama dengan Aldo. Saya tidak akan berhenti sampai Arlena ditemukan. Hidup atau mati... saya akan bawa dia kembali."

Dan malam itu pun berlanjut, menjadi awal dari pencarian yang lebih dalam bukan hanya untuk menemukan Arlena, tapi juga untuk mengungkap rahasia kelam yang selama ini tersembunyi di balik nama keluarganya dan masa lalu Arlena yang ternyata jauh lebih rumit dari yang mereka bayangkan.

Hujan turun pelan membasahi jalan-jalan kota saat Aldric kembali turun dari mobilnya.

Matanya merah karena kurang tidur, jasnya basah, tapi ia tak peduli.

Sudah dua hari sejak Arlena menghilang dua hari tanpa kabar, tanpa jejak yang pasti. Setiap menit adalah siksaan.

Ia sudah menghubungi semua kontak, menyuap beberapa petugas, bahkan menyewa detektif bayangan. Tapi Arlena masih belum ditemukan.

Raka datang dengan berkas di tangannya. “Tuan, kami menemukan satu kendaraan mencurigakan yang lewat di kamera jalan tol arah timur. Di dalamnya... ada karung besar di jok belakang. Tidak jelas isinya, tapi waktunya cocok dengan saat Arlena menghilang.”

Aldric meraih berkas itu dan memeriksanya. Matanya menyipit saat melihat pelat nomor yang samar terlihat.

“Lacak mobil itu. Siapkan tim. Kita berangkat malam ini.”

Di tempat lain...

Tubuh Arlena tergeletak lemah di sebuah ruangan gelap berbau apek.

Luka di wajahnya masih mengering, dan darah di pelipisnya mulai menghitam. Ia mulai sadar perlahan. Tubuhnya sakit, tapi lebih sakit lagi hatinya. Tangis tertahan, ketakutan menghantui.

“Kenapa kalian lakukan ini...” bisiknya lirih, meski tak ada yang menjawab.

Pintu kayu tua itu terbuka dan dua orang lelaki menyeretnya keluar.

Mereka melemparkannya ke dalam sebuah mobil anak buah juragan Aldo membawa Arlena menuju tempat baruke rumah Juragan Aldo.

Di ruang tamu rumah besar Juragan Aldo yang penuh dengan aroma cerutu dan suara ketukan jam dinding antik, dua lelaki—Ryan dan Dimas—duduk dengan tangan menganga rakus.

Juragan Aldo berdiri di hadapan mereka, memandangi tubuh Arlena yang terbaring lemah di pojok ruangan, tangannya masih terikat, wajahnya penuh luka dan rambut kusut menutupi sebagian wajah.

“3 miliar,” ucap Juragan Aldo sambil mengangkat tiga jari.

“Itu harga yang pantas untuk gadis secantik ini.”

Ibu Arlena hanya tersenyum sinis. “Ambil saja. Kami tidak butuh dia lagi.”

Aldo mendekati Arlena, matanya penuh nafsu dan keserakahan.

“Sayang... kamu akan menghasilkan banyak uang. Wajahmu ini... terlalu berharga untuk hanya jadi pelayan.”

Arlena mencoba menjerit, namun pita suara yang lelah dan tubuh yang melemah membuat suaranya hanya terdengar lirih.

“Apa salahku?” gumamnya. “Aku hanya ingin hidup tenang…”

Juragan Aldo tertawa. “Salahmu adalah lahir di keluarga yang bisa dijual.”

Juragan Aldo menoleh tajam ke arah anak buahnya yang berjaga di sudut ruangan.

“Bersihkan dia. Ganti bajunya. Malam ini dia harus bekerja,” ucapnya dingin, suaranya tak menyisakan rasa iba sedikit pun.

Dua pria bertubuh kekar mengangguk dan segera mendekati Arlena yang masih terbaring lemah. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar. Ia mencoba menyingkir, namun tenaganya nyaris habis.

“Jangan sentuh aku…” lirihnya, namun suara itu tak didengar.

Salah satu dari mereka menarik tangannya, sementara yang lain membuka koper berisi pakaian yang mencolok dan riasan tebal.

Juragan Aldo menyalakan cerutunya dan menghembuskan asap. “Lepas semua luka dan ratapannya. Yang kulihat malam ini hanya wajah manis yang akan menghasilkan uang.”

Setelah memandikan Arlena secara paksa, dua anak buah Juragan Aldo menarik tubuhnya yang lemah kembali ke ruangan sempit di lantai dua gudang itu.

Dengan tangan yang kasar, mereka mengikat pergelangan tangan dan kaki Arlena menggunakan tali nilon tebal, memastikan tidak ada celah untuk melarikan diri.

“Jangan coba-coba kabur. Sekali kau bergerak aneh, perintah berikutnya bukan cuma ikat tapi bekukan,” salah satu dari mereka mengancam sambil menarik simpul tali lebih kencang hingga Arlena meringis.

Tubuh Arlena menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi juga karena ketakutan dan rasa tak berdaya.

Gaun tipis yang dipaksakan padanya bukan sekadar penghinaan, tapi juga simbol bahwa malam ini, sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika tak ada yang datang menolong.

Ia menatap ke jendela kecil di pojok ruangan, berharap pada bulan, pada langit, pada siapa pun di luar sana yang masih menyayanginya.

“Jika malam ini menjadi malam terakhirku,” bisik Arlena dalam hati, “setidaknya aku tahu aku telah berjuang.”

Tapi jauh dari sana, langkah penyelamatan sedang dipercepat. Aldric tak tidur malam itu, dan ia takkan berhenti sampai Arlena kembali dalam pelukannya—selamat, dan tanpa satu luka pun lagi.

1
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!