Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.
Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?
Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.
Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehangatan Hati
"Lo suka yang mana, Tan?"
"Gue nggak mau kue."
"Emang bukan buat lo."
Tania berdecak sebal. Dia melipat tangannya di depan dada. "Kalau bukan buat gue kenapa nanya ke gue?"
"Ya 'kan siapa tahu aja pilihan lo membantu gue."
Tania mendengus kesal. Dia menunjuk asal kue rainbow di dalam etalase tanpa meliriknya sekali pun.
"Oke, yang ini, Mbak," kata Kevin.
"Baik. Ditunggu, ya." Pelayan itu mengeluarkan kue rainbow dari dalam etalase lantas membungkusnya.
Kevin ikut melipat tangannya di depan dada. Dia menyilangkan kakinya dan bertengger di etalase. Matanya menyorot pada Tania yang sedang kesal. Gadis itu memilih menatap ke luar dari balik dinding kaca daripada melihat aneka kue.
Menyadari Kevin yang terus memperhatikannya yang seolah itu adalah ledekan, Tania melirik tajam. "Jangan natap-natap, nanti suka lagi."
"Bukannya udah suka?"
"Siapa?"
"Lo."
Tania mendesis kasar. Dia pikir Kevin akan menyatakan perasaannya sekarang. Tetapi ternyata tidak sama sekali. Kalau ada nominasi orang tidak peka, maka itu pantas disematkan kepada Kevin.
Kevin terkekeh sembari mengacak rambut Tania membuat sang empunya berkali-kali berdecak sebal.
"Ini, Mas, kuenya."
Kevin kembali ke posisi semula. Dia mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Yang diberikan adalah uang pas sejumlah lima puluh ribu rupiah.
"Makasih, ya," ujar Kevin.
"Iya, terima kasih kembali."
Kevin mengangkat kantong plastik besar berisikan satu kotak kue. "Ayo, Tania." Dia kembali merangkul Tania—menariknya keluar dari dalam toko kue.
Tania risi, tangan Kevin terus menggelayut di pundaknya. Terlebih tangannya selalu memainkan pipi chubby Tania.
"Ih, Kakak jangan cubit-cubit dong."
"Alah, waktu kecil lo seneng dicubit gue kayak giniii." Kevin mencubit gemas pipi Tania.
Nyaris saja kulit pipi Tania lepas karena Kevin begitu kuat mencubitnya hingga badannya sedikit terangkat. "Awh! Sakit!"
Kevin melepaskan cubitannya. Melihat Tania dengan wajah kesal serta pipi merahnya adalah pemandangan terbaik bagi Kevin, tidak ada yang bisa mengalahkannya, bahkan pemandangan indah dari atas bukit atau hamparan laut sekali pun.
Kevin beralih mengelus pipi Tania yang kemerahan karena ulahnya. Dan bukannya Tania menerima, justru menepis hal itu dan segera masuk ke dalam mobil. Hari ini Kevin sungguh menyebalkan.
"Dasar cowok enggak peka," gerutu Tania dari dalam mobil. Dia mengelus pipinya sendiri.
Dari jauh ternyata ada seseorang yang memperhatikan dari balik mobil—Dion. Dia menurunkan kacamatanya. "Tania, sebentar lagi tiba waktunya kamu mengetahui semuanya."
...******...
Rumi membuka pintu apartemen. Dia melihat putrinya sudah berganti pakaian.
"Kamu udah pulang? Mau ke mana?" tanya Rumi sembari melepas sepatunya.
Jean duduk di sofa seraya memakan biskuit. "Nggak ke mana-mana."
"Pokoknya jangan pergi kalau nggak penting."
"Hem."
Rumi membuka plastik hitam besar—mengeluarkan tanaman hias dan memandangnya lekat. Dia mengelus-elus daun bunganya dengan penuh cinta, berharap bunganya akan tumbuh dengan baik. Karena katanya, bukan cuma manusia saja yang butuh kasih sayang, tetapi tanaman, hewan, serta benda lainnya juga butuh.
"Bagus nggak, Jean?" Rumi meletakkan pot tanaman di atas meja.
"Bagus. Mama beli sama siapa?"
"Mamanya Aldo."
Jean mengangguk.
Rumi beranjak berdiri dan menaruh tanaman itu tepat di sudut meja. "Dion mana?"
"Lagi cari makan."
"Oh. Nanti malam jangan ke mana-mana, ya. Pokoknya jangan keluar kalau nggak penting," ucap Rumi sembari mencuci tangan.
Jean berdeham seraya terus mengunyah biskuit. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada Aldo.
Mama nggak izinin gue keluar malam, kesel. :(
...******...
Tania tidak tahu ke mana Kevin membawanya pergi. Pria itu membawanya melewati rel kereta. Pemandangan sekitar begitu kotor ditambah panas matahari yang menyongsong. Tania dan Kevin menyipitkan matanya.
"Kita mau ke mana, sih? Emangnya ada ya restoran di sekitar sini?"
"Nggak ada."
"Ini kita ada di mana?"
"Bumi."
"Kita jalan sampai kapan? Kaki gue pegel."
"Sampai ya sampai."
"Kak!" geram Tania. "Lo sekarang nyebelin, ya!"
Kevin terkekeh geli. Meladeni Tania adalah hobinya dari dulu. Bahkan, sudah ada di dalam draf kehidupannya untuk membuat Tania kesal.
Kevin menghela napas. Dia meminta Tania untuk melihat ke sebelahnya. Tania mengernyit bingung. Sampai akhirnya saat kepalanya diputar Kevin dia melihat pemandangan yang mengharukan. Ada perkampungan kecil di sini ternyata, yang tidak jauh dari rel kereta api. Ini tidak layak disebut tempat tinggal, lebih layak disebut TPA. Bagaimana tidak, banyak sampah berserakan, atap-atap rumah yang mulai menguning, dan dinding yang mulai reyot. Entah terbuat dari apa rumah kecil itu.
Tetapi, ada satu hal yang menyentuh hati Tania. Mereka yang sedang bermain dengan gelak tawa berlari menghampiri Kevin dan berhambur memeluk pria itu.
"Kakakkk!!!"
Kevin berjongkok dan balas memeluk anak-anak itu, yang tadi jumlahnya satu sekarang terhitung ada sepuluh. Tania tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya diam memperhatikan baju kotor anak-anak itu bersanding dengan seragam bersih milik Kevin.
"Apa kabar kalian?"
Anak laki-laki dengan rambut style mangkok menjawab, "Baik, kata Kakak 'kan kita setiap harinya harus selalu baik. Agar masa depan kita jauh lebih baik."
Anak di sebelahnya menyeletuk, "Kakak tahu, nggak? Aku bacanya mulai lancar, lhooo."
Kevin tersenyum semringah. "Wah, bagus tuh."
Seorang anak perempuan dengan dua kepangan menatap Tania. "Kamu siapa?"
Pertanyaannya sukses membuat Tania menjadi sorotan anak-anak itu. Kevin beranjak berdiri, dia merangkul Tania. "Ini namanya kak Tania."
"Kakak yang kemarin?"
Hening. Mengizinkan angin berlalu sebentar.
Tania menatap Kevin. Apa maksudnya?
"Kakak yang kemarin nggak bisa hadir. Jadi, kakak ini yang gantiin."
"Ohhh," seru anak-anak itu.
"Kalian tahu, nggak? Yang pilihin kue ini kak Tania, lho," kata Kevin sembari mengangkat plastik kue.
Seperti melihat keajaiban, seperti itulah mata mereka berbinar cerah. "Wahhh, iya kah?"
Kevin mengangguk. Dia berjongkok. "Tania." Dia menginterupsi Tania untuk ikut berjongkok. Sesaat diam, Tania akhirnya paham. Maklum, kalau panas-panas begini otak Tania agak lambat.
Kevin membuka kotak kue membuat mata anak-anak itu tambah berbinar. Bak melihat harta karun yang selama ini terpendam. "Bagiin."
Tania menurut. Dia tidak bercerocos. Tangannya dan Kevin bersentuhan saat sama-sama mengambil kue untuk dibagikan.
"Makasih Kak Tania."
Tania tersenyum mengangguk. Tahu-tahu sebelah pipinya dicium oleh gadis dengan kepangan dua. Tetapi setelah itu hatinya menghangat.
"Makasih, Kakak cantik dan baik. Doakan Yesi biar bisa jadi dokter dan ngobatin ayah."
Hatinya bertambah hangat. Ini sungguh luar biasa Tuhan. Ini jauh lebih baik dan lebih hangat dari apa pun. Tidak perlu tempat wisata yang bagus dan jauh untuk membuat hati senang. Hanya dengan berbagi kebahagiaan maka semuanya sudah lebih dari cukup. Bahkan, lebih dari cukup.
"Aamiin."
Anak-anak itu kembali bermain setelah mendapat kue. Dan sekarang, hanya tersisa satu potong kue di kotak. Mereka beranjak berdiri.
"Enak ya jadi Yesi," kata Kevin.
Tania menoleh seraya mengernyit. "Lo harus bersyukur, Kak!"
"Bukan, maksudnya enak, dia bisa cium lo sesukanya. Sedangkan gue, harus halalin dulu."
Tania cengo mendengarnya. Seolah ada entakan dahsyat di dadanya. "Apaan, sih." Dia berpaling dan tanpa sengaja melihat Yesi membagi satu potong kue dengan seorang pria yang sedang duduk di kursi roda. Pria itu mengelus rambut Yesi dengan penuh kelembutan. Sesaat hal itu membuat hati Tania terhenyak. Pemandangan yang begitu haru.
Kevin meraih pundaknya lalu mengelusnya lembut—memberi kekuatan penuh.