Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Dengan jantung berdegup tak karuan, Deon buru-buru menyembunyikan semua dokumen ke dalam tas laptopnya. Suara ketukan di pintu makin keras, seperti ingin merobohkan seluruh daun pintu. Ia menelan ludah, lalu membuka pintu perlahan.
Gwen berdiri di sana, wajahnya gelap, mata tajam menatap langsung ke wajah Deon bukan dengan tatapan teman, tapi seperti seseorang yang sedang menginterogasi targetnya.
“Lo buka file itu, ya?” tanya Gwen tanpa basa-basi.
Deon mengangkat alis, berpura-pura bingung. “File apa?”
Gwen mendekat, mendorong tubuh Deon masuk ke dalam ruangan. “Jangan main-main sama gue, Agra. Gue udah liat kamera pengawas di ruang arsip. Cuma lo satu-satunya yang masuk ke sana hari ini.”
Deon mundur selangkah, mencoba mengontrol napas. Tapi Gwen malah mendekat lagi, jaraknya kini hanya beberapa jengkal dari wajahnya.
“Dengerin baik-baik,” bisik Gwen tajam. “Kalau lo nemuin sesuatu lo harus siap nerima risikonya.”
Deon membalas tatapannya, lalu tersenyum miring. “Gue udah mati sekali, Gwen. Risiko apapun nggak akan lebih parah dari itu.”
Gwen terdiam. Matanya membesar sesaat, seolah kalimat Deon barusan menusuk sesuatu di pikirannya.
Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara ledakan keras terdengar dari luar. Kaca jendela pecah, dan satu granat asap kecil menggelinding masuk ke dalam kontrakan mereka.
Refleks, Deon menarik Gwen ke lantai, menutupinya dengan tubuhnya. Asap tebal menyelimuti ruangan, suara langkah kaki mendekat.
Dalam kabut, siluet tiga orang berpakaian serba hitam mulai muncul dan mereka tidak terlihat datang untuk ngobrol santai.
Deon menggertakkan gigi. Detak jantungnya berpacu dengan waktu. Tiga bayangan itu mendekat dengan langkah pasti, sepatu mereka menginjak pecahan kaca dengan suara nyaring yang menggema di antara kabut asap. Gwen di bawahnya mulai batuk, matanya berair, tapi tetap mencoba tenang.
Deon menyentak, menarik lengan Gwen, dan berlari menembus asap menuju pintu belakang kontrakan.
Namun sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, satu tembakan terdengarbpelurunya menancap tepat di kayu pintu, hanya beberapa sentimeter dari wajah Deon.
“Mereka nggak main-main.” gumamnya rendah, lalu menoleh pada Gwen. “Lo siap lari?”
Gwen, meski masih setengah panik, mengangguk. “Gue lahir buat ini.”
Dengan sigap, Deon menendang pintu belakang hingga terbuka, dan keduanya melesat keluar ke lorong sempit di antara bangunan kontrakan.
Napas mereka berat, kaki mereka terus bergerak. Di kejauhan, terdengar suara sirene samar dan suara orang-orang yang mulai sadar ada kekacauan.
Saat mereka berhasil menyelinap ke gang gelap di belakang gedung, Deon menghentikan langkahnya sejenak, lalu menatap Gwen tajam. “Lo yakin gak ada yang lo sembunyiin dari gue?”
Gwen menatap balik, lalu menghela napas. “Oke! Mungkin ada satu dua hal kecil. Tapi, percaya deh, kalau lo tau semuanya sekarang, kepala lo bisa meledak.”
Deon mendecak pelan. “Terlambat, Gwen. Kepala gue udah meledak sejak gue bangun di tahun 2015.”
Agra atau lebih tepatnya, Deon menatap Gwen dengan pandangan penuh curiga. Keringat dingin masih mengucur di pelipisnya, sisa ketegangan dari penyusupan ke kontrakannya yang nyaris merenggut nyawa.
"Gwen," ucapnya tajam, "jawab jujur, gimana lo bisa tau kontrakan gue?"
Gwen yang sedang duduk santai di sandaran sofa dengan tangan menyilang, hanya melirik sebentar. "Dari biodata lo, lah. Di kantor semua anak magang wajib ngisi data lengkap. Nama asli, tempat tinggal, bahkan golongan darah. Gimana sih."
Deon mengernyit. "Tapi itu kan kontrakan baru. Bahkan gue sendiri baru pindah kemarin."
Gwen mengangkat alis. "Terus lo kira siapa yang ngisi formulir online itu? Lo lupa udah tanda tangan semuanya pas masuk? Data lo otomatis ke-update. Lagian lo emang suka asal tanda tangan tanpa baca, ya?"
Deon terdiam. Matanya menyipit.
"Tapi kenapa lo bisa langsung muncul pas kejadian? Pas gue diserang?"
Gwen menyeringai, suaranya merendah. “Kebetulan atau insting. Lagipula, lo bukan satu-satunya orang yang mereka incar, mungkin.”
Deon mencengkeram sandaran kursi. "Mereka siapa, Gwen? Jangan kasih gue jawaban muter lagi."
Gwen terdiam sesaat, lalu menatap mata Deon dalam-dalam.
“Mereka orang-orang yang harusnya gak lo ganggu. Tapi sayangnya lo udah kepalang basah.”
Deon menghela napas panjang. “Dan lo tahu ini semua dari biodata juga?”
Gwen tersenyum sinis. “Dari biodata dan dari mulut orang-orang yang gak sengaja kebanyakan ngomong. Lo gak sadar, Deon kadang informasi paling penting datang dari yang paling lo anggap remeh.”
"Maksud lo?" tanya Deon sambil menyipitkan mata, nadanya serius namun bingung.
Gwen mendengus pelan, mengalihkan pandangan sejenak ke jendela. “Ahhh, gue juga gak tau deh apa yang barusan gue omongin. Lagian mereka itu siapa sih? Gue juga sebenernya gak mau repot-repot nyariin lo. Kalau bukan karena hal itu, gak mungkin gue capek-capek dateng ke sini, apalagi sampai ikut-ikutan dapet masalah.”
Deon mengangkat alis, heran. “Gwen, lo sehat?”
Gwen langsung menatapnya tajam, suaranya naik satu oktaf. “Kita gak sedekat itu, Deon, buat lo nanya-nanya soal kesehatan gue. Yang penting sekarang bukan itu!”
Ia melangkah mendekat, menunjuk dada Deon dengan telunjuknya.
“KENAPA BISA-BISANYA LO, ANAK MAGANG BARU SEHARI, UDAH BERANI NGUBEK FILE-FILE RAHASIA ITU, HAH?! APA LO GILA?!”
Deon terkesiap, terdiam sejenak menatap Gwen yang benar-benar meledak kali ini. Tapi di balik semua itu, satu hal pasti Gwen tahu sesuatu. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar file. Dan dia berusaha menyembunyikannya.
Deon menatap Gwen dengan sorot mata yang mulai berubah bukan lagi kebingungan, tapi kecurigaan. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, lalu tersenyum miring.
“Lo marah, tapi kenapa gue ngerasa lo juga nyimpen sesuatu?”
Gwen mendelik. “Jangan mulai, Deon.”
“Nggak, serius. Lo bisa tau lokasi kontrakan gue dari biodata di kantor, oke. Tapi lo tau jam gue pulang, tau apa yang gue akses di komputer kantor padahal gue lakuin itu pas udah sepi. Lo anak magang, bukan hacker. Jadi siapa sebenernya lo?”
Gwen terdiam. Sekejap suasana menegang.
Deon berdiri, perlahan mendekat. “Gue gak bodoh, Gwen. Gue emang baru magang, tapi bukan berarti gue bisa dibodohi. Kalau lo tau lebih banyak, kasih tau gue sekarang, atau...”
Belum sempat Deon menyelesaikan ancamannya, Gwen menyela dengan suara rendah tapi dingin.
“Kalau gue kasih tau, hidup lo gak bakal sama lagi, Deon.”
Mata mereka bertemu, tajam dan penuh teka-teki. Detik itu, Deon sadar ini bukan cuma soal file rahasia. Ini soal rahasia besar yang bisa mengubah segalanya. Dan Gwen ada di tengah-tengahnya.
Deon menyipitkan mata, sorot tajamnya menembus Gwen seperti ingin membongkar apa pun yang sedang disembunyikannya. Ia melangkah mundur, lalu terkekeh pelan namun dingin.
“Jadi bener, lo nyembunyiin sesuatu,” gumamnya. “Dan tebak, Gwen gue benci kejutan.”
Gwen bangkit dari duduknya, ekspresi santainya perlahan tergantikan dengan ketegangan yang coba dia sembunyikan. “Gue nyelametin lo tadi, jangan kebanyakan nuntut.”
“Tapi lo juga yang bikin gue makin banyak pertanyaan,” balas Deon cepat. “Lo tau terlalu banyak, lo muncul di saat yang tepat, lo bahkan bisa ngelacak gerak-gerik gue. Kalau lo bukan temen jadi lo itu musuh.”
Gwen mendekat, berdiri hanya beberapa inci dari wajah Deon. “Dan kalau gue musuh, kenapa lo masih hidup?”
Deon terdiam. Sekilas, bulu kuduknya berdiri. Gwen menatapnya dalam senyuman tipis terukir di bibirnya, bukan ancaman tapi semacam tantangan.
“Lo boleh terus main jadi detektif, Deon,” ucap Gwen pelan namun tajam, “tapi jangan kaget kalau suatu hari nanti, lo malah nyadar lo selama ini cuma pion.”
Seketika, hawa ruangan berubah. Dan dalam diam, Deon mulai sadar permainan ini jauh lebih dalam dari yang ia kira.
Gwen memutar bola matanya malas, lalu melipat tangan di dada. “Udah deh, jangan bawa-bawa gue ke teori konspirasi lo itu.”
Deon menatap tajam. “Lo ngelak terus. Tapi ekspresi lo berubah waktu gue sebut soal file itu. File yang jelas-jelas bukan buat anak magang baca.”
Gwen mendengus. “Ya jelas aja gue kaget! Itu file rahasia, Deon. Bahkan pegawai tetap aja gak semua bisa akses itu, apalagi lo anak baru yang bahkan belum punya ID tetap.”
“Gue nemu itu gak sengaja,” bela Deon cepat.
“Nggak sengaja?!” Gwen berseru, suaranya sedikit meninggi. “Lo mikir ini kayak nemu coklat jatuh di pantry?! Itu file yang isinya bisa ngejatuhin nama besar perusahaan bokap lo!”
Deon terdiam, tapi sorot matanya makin tajam.
“Dan sekarang, lo nanya kenapa gue panik?” lanjut Gwen. “Lo ngerti gak sih, sekali lo buka file itu, lo udah masuk ke wilayah berbahaya. Lo pikir ini game? Ini bukan tentang lo doang, Deon. Ini soal nyawa, termasuk nyawa lo sendiri.”
Hening sejenak. Deon mencengkeram sisi meja kontrakan, rahangnya mengeras.
Gwen menatapnya penuh tekanan. “Jadi sebelum lo makin sok jadi Sherlock Holmes mending pikirin, mau lanjut, atau berhenti sekarang sebelum semuanya terlambat.”
Deon memejamkan mata sejenak, berusaha mencerna tiap kata Gwen. Tapi bukannya mundur, tatapannya justru semakin tajam.
“Gue udah kelewat jauh buat berhenti sekarang,” gumamnya pelan, namun penuh tekad. “Gue udah lihat terlalu banyak, Gwen.”
Gwen menghela napas berat, lalu berdiri dari duduknya. “Lo keras kepala banget, ya.”
“Bukan keras kepala. Ini soal rasa penasaran dan kebenaran.” Deon berdiri, menatap Gwen dari dekat. “Dan lo, Gwen lo tau lebih banyak dari yang lo mau aku tahu.”
Gwen mendengus. “Cih, mulai sok jadi detektif.”
“Gak sok. Gue emang lagi nyari jawaban.”
Gwen diam sejenak, lalu tiba-tiba mendekat, jarak mereka hanya sejengkal.
“Kalau lo emang mau tahu segalanya pastiin lo siap buat kehilangan semuanya,” bisiknya dingin, lalu berjalan pergi, menyisakan Deon yang kini benar-benar sadar permainan ini jauh lebih besar, lebih kelam, dan lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan.
"Ahhh siallll!!!!" geram Deon.