Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Atau menerima tanpa cinta yang menjadi bumbu kemesraan? Aku takut salah melangkah, mengambil keputusan yang tak tepat lagi. Dan menyakiti aku, Kak Adam juga Sila.
"Kita istikharah dulu, Kak! Aku takut salah lagi. Ada Sila yang menjadi pertimbangan kita,"ucapku.
"Kamu sudah baca novel yang aku tulis sebelum aku ke Amerika? My Lovely Princesses, dimana tokoh Aldebaran jatuh cinta pada Alexa yang hanya anak pembantu. Itu gambaran hatiku, Alisha. Kamu Alexa-ku. Cinta mereka berakhir tragis karena Aldebaran dijodohkan. Tak ubahnya tragis cintaku yang jatuh cinta pada kekasih sahabatnya sendiri. Awalnya aku hanya menjadikan Sellyn sebagai pelampiasan tapi pada akhirnya aku bisa jatuh cinta juga. Tetapi tidak bisa membuat aku lupa akan kamu!" terang Kak Adam.
Novel Kak Adam yang berjudul My Lovely Princesses, membuat aku benar-benar menangis histeris. Bahkan membuat aku jatuh sakit karena terlalu masuk ke dalam alur cerita. Apa itu cara Kak Adam menyampaikan duka laranya karena aku? Bahkan aku tak tahu itu. Menulis salah satu cara curhat yang terbaik.
"Aku harap tak akan patah lagi untuk kedua kalinya, Alisha. Menjauh darimu sama seperti aku menolak gelora menulisku. Lima tahun aku vakum, karena tak sanggup menanggung lara dalam aksara. Aku selalu ingat kamu jika menguntai kata menjadi kalimat dan paragraf," ucap Kak Adam.
"Maaf, Kak! Aku terlalu menyakiti kamu. Kita sama-sama terluka karena cinta. Berlari jauh tapi tetap saja menoleh ke belakang,"jawabku tak kalah pilu.
Karena Azam juga aku vakum menulis, tak sanggup melihat bayangan dia di depan layar ponsel ataupun laptop. Lucu memang seorang penulis dalam putus cinta.
"Temani aku di sisa akhir masaku, dan biarkan Sila merasakan kasih sayang seorang ibu, Alisha!" ucap Kak Adam menatap lekat aku.
Gamang hati ini harus menjawab apa? Karena ada Sila yang menjadi pertimbangan lebih dalam mengambil keputusan ini.
"Insya Allah aku.."
Drrt, suara ponsel menghentikan ucapanku.
Ku ambil ponsel di dalam tas selempang, pandanganku juga Kak Adam menatap lekat barisan huruf yang tertera di ponsel.
Azam Al Ghani, ada apa dia menelponku?
Beberapa saat aku dan Kak Adam terdiam, sampai panggilan itu mati. Pada panggilan kedua aku tersadar. Ragu aku menyentuh panel hijau di layar. Hati bertanya ini Azam atau Aisha yang menelpon.
"Angkat dulu Alisha, siapa tahu penting. Ini sudah magrib mungkin orang rumah khawatir!" saran Kak Adam.
Dengan rasa berdebar aku menekan panel hijau, menggesernya lalu menempelkan di telinga.
"Kak Alisha... Dimana sekarang? Ini di tungguin Ayah."
Hatiku lega saat tahu yang menelpon Aisha, bukan Azam.
Bentar lagi kakak pulang! sampaikan ke Ayah, ya!" jawabku.
"Ok, iya udah, kakak hati-hati! Wassalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kuturunkan ponsel dari telinga saat panggilan berakhir.
"Ada apa?" tanya Kak Adam penasaran.
"Aku ditunggu Ayah, Kak? Sudah magrib ini, aku pulang!" ucapku.
"Aku antar! Biar Sila disini,"ucap Kak Adam.
Karena badan yang sudah terlalu capek, aku tidak menolak tawaran Kak Adam. Mobil avanza Kak Adam mulai melaju, jalanan terang karena lampu yang menyala. Gemerlap kota Cirebon terpancar indah. Baik aku atau Kak Adam sama-sama diam. Hanyut dalam pikiran masing-masing.
Aisha, dia menelponku lewat ponsel Azam, apa kabar yang memberitahu? Dia punya nomorku. Aku memejamkan mata, terlalu berat sudah kepala ini. Seharian tidak bisa rebahan, yang ada pikiran yang terus memikirkan hal-hal berat.
"Kamu baik-baik saja kan, Alisha?" tanya Kak Adam.
"Cuma lelah saja kak! Ngantuk banget rasanya," jawabku dengan mata masih terpejam dan bersandar di kursi.
"Muka kamu pucat banget. Kalau ada vitamin habis makan malam di minum dulu!" ucap Kak Adam.
Aku hanya bergumam kecil, kantuk benar-benar melandaku.
"Alisha..."
Aku terbangun kala Kak Adam menepuk pelan lenganku. Entah berapa menit aku tertidur, ternyata sudah sampai di gerbang Darul Arkom.
"Makasih, kak! Aku masuk dulu. Hati-hati di jalan!" ucapku lalu bergegas keluar mobil.
"Jangan terlalu kamu pikirkan. Kita jalani sebisanya, Alisha! Aku tidak memaksamu, hanya menunggu kamu sampai siap,"ujar Kak Adam.
Aku hanya menganggukan kepala, setelah aku memasuki gerbang mobil avanza Kak Adam kembali membelah jalan.
Rasanya ingin segera mandi dan tidur. Aku merasa badanku kurang enak. Dengan gontai aku melangkahkan kaki, hampir saja diri ini oleng jika tidak berpegangan pilar teras.
Tubuh yang lelah di tambah pikiran yang menguras emosi, membuat kekebalan tubuhku semakin menurun. Semua baik-baik saja sebelum Aisha dan Azam menikah. Rasa egois untuk mengatakan yang sebenarnya selalu mengusik relung hati. Namun, otakku masih waras memikirkannya.
Kembali aku berpikir, apa yang aku dapatkan dari kebenaran itu? Aisha, dia akan terpuruk, juga Ayah dan ibu akan marah padaku. Apa aku akan sanggup, merangkai kisah indah di atas air mata adik dan juga orang tuaku?
Allah, aku telah berjalan jauh. Sejauh yang aku bisa, jangan kau buat aku menoleh ke belakang lagi. Di depan sana ada lelaki yang sedia menungguku, meski cinta itu sulit aku berikan. Jangan Engkau goyahkan hatiku, dengan bayangan semu kisah masa lalu.
Meski nama Adam Akbari , tak bisa berubah jadi Azam Al-Ghani. Aku Alisha Alfatunnisa, ingin memulai membuka hati untuk Kak Adam. Kenangan itu hanya untuk di kenang bukan untuk di ulang kan?
Sesampainya di kamar aku langsung bergegas mandi dan salat magrib. Untung di sekitar pesantren sepi, karena semua sedang melaksanakan salat magrib di masjid.
Aku membaringkan badan di atas ranjang, kepala masih berdenyut nyeri. Sungguh migrain ini menyiksaku, seperti rasaku yang masih tertuju pada Azam.
Satu hal yang membuat aku ingin menertawakan diri, aku masih mati-matian membunuh rasa cintaku pada Azam. Sedang lelaki itu sudah berdamai dengan keadaan. Lucu bukan memikirkan orang yang tak pernah memikirkan kita.
Namun, aku bersyukur setidaknya hanya aku yang merasakan sakit ini. Tidak dengan Aisha.
"Kak Alisha..." suara panggilan diikuti ketukan pintu membuat aku mau tak mau beranjak dari ranjang. Sebelumnya ku kenakan jilbab instan berwarna navy.
"Inayah.." ucapku setelah tahu siapa yang mengetuk pintu.
"Ditunggu ayah di ruang tamu, Kak!" ucap Inayah.
"Oh, iya udah nanti kakak ke sana. Kamu duluan sana!" ujarku pada Inayah. Inayah pun beranjak pergi.
Aku kembali masuk, mematut diri di depan cermin untuk membubuhkan bedak di wajah. Bukan untuk menggoda Azam, tapi untuk menyamarkan pucatnya wajah. Baru empat hari di sini bajuku sudah longgar. Bagaimana jika sudah satu bulan nanti?