Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Guncangan
Malam itu Dinda duduk sendirian di kamar mandi dengan jantung berdegup kencang. Tespack di tangannya menunjukkan dua garis merah yang jelas. Tatapannya kosong. Ia ingat dirinya beberapa kali lupa minum pil kontrasepsi yang diresepkan Dr.Livia. Jadwal menstruasinya pun sudah terlambat dua minggu. Perasaannya campur aduk. Takut, bingung, tidak percaya.
Ia tidak keberatan dengan kehadiran bayi di dalam hidupnya. Sama sekali tidak. Ia pasti akan sangat menyayanginya. Tapi Rendra tidak ingin punya anak. Membayangkan responnya membuat Dinda ketakutan.
Ia menunggu sampai Rendra pulang. Pria itu baru tiba sekitar pukul sembilan malam. Masih dengan kemeja kerja yang belum sempat diganti.
"Kenapa?" tanya Rendra sambil membuka dasi. Ia sadar sesuatu sedang terjadi setelah melihat ekspresi wajah Dinda yang terlihat kacau.
Dinda duduk diam di pinggir ranjang, memegangi testpack yang sudah dibungkus tisu. Ia ulurkan pelan kepada Rendra.
"Apa ini?" Rendra mengerutkan keningnya, lalu menarik tisu itu.
Beberapa detik dia diam melihatnya. Lalu matanya naik menatap Dinda.
"Kamu hamil?" Pandangannya kosong, kemudian berubah menjadi gelap, "Tapi kamu minum pil, gimana bisa kamu hamil?"
"Aku nggak tau, mungkin nggak seratus persen efektif." Ia berbohong.
Rendra mencengkram rambutnya, berjalan mondar mandir, "We can't have a baby. I'm not ready for this shit!"
"Aku juga nggak siap. Tapi ini anak kita.." Suara Dinda bergetar.
Rendra menatap Dinda, matanya membara, "Harusnya kamu lebih hati-hati!" Bentaknya.
Dinda terdiam. Ini pertama kalinya Rendra membentak seperti itu. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahan tangisnya.
"Kita berhubungan seks, Mas. Kamu tau seks akan menghasilkan bayi. Dan sekarang kamu nyalahin aku?"
Rendra menutup wajahnya dengan kedua tangan, kemudian duduk lemas di sebelah Dinda, sikunya bertumpu pada lutut. "I can't be a father." Gumamnya pada diri sendiri, suaranya serak. "I just... I can't."
"Mas... kamu nggak bisa kenapa? Kita bisa belajar. Semua orang awalnya juga nggak bisa jadi orang tua." Dinda menyentuh lengan Rendra dengan hati-hati.
Tapi pria itu langsung menepis tangannya dan berdiri, menatapnya dengan mata tajam menusuk. "Kamu pikir semua orang bisa jadi orang tua?! Jangan konyol, Dinda! Kita udah sepakat dari awal! A child will complicate everything! Aku nggak mau deal with diapers, midnight crying, dan semua drama itu! I didn't sign up for this!"
"Tapi ini udah terjadi--"
"IT SHOULDN'T HAVE!" Bentaknya memotong kalimat Dinda. "You had ONE job! Just take the damn pill! Sekarang apa? Hidup kita akan berubah total karena kamu careless?!"
Dinda tersentak. Air matanya mulai jatuh, tapi ia tidak menjawab. Tubuhnya bergetar menahan tangis.
Rendra meraih kunci mobilnya dari meja, gerakannya kasar dan penuh amarah. Ia berjalan cepat menuju pintu.
"Mas--"
"I need to get out." Potongnya dingin tanpa menoleh. "I can't ... I can't think here."
Pintu kamar dibanting keras. Suara langkah kaki Rendra menggema di koridor. Dinda masih terduduk dengan kedua tangan meremas kain sprei, ia menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya melipat, memeluk perutnya yang masih rata.
Malam itu Dinda tidur sendirian. Rendra tidak pulang, entah pergi kemana. Dinda juga tidak berusaha menghubunginya. Terserah. Ia juga marah, dan lebih dari itu ia merasa sedih. Sedih karena anaknya yang belum lahir sudah dibenci oleh ayahnya sendiri.
...***...
"Bu Dinda..." suara Rahma terdengar bersama ketukan pintu.
"Ya.." jawab Dinda, suaranya serak.
"Maaf Bu, saya mau kemasi barang-barang Pak Rendra." Katanya dari balik pintu.
Dinda belum tidur semalaman. Matanya bengkak, rambutnya berantakan, dan tangannya masih gemetaran. Tapi dia tetap bangkit, lalu membuka pintu kamar tanpa bicara.
Rahma masuk dengan koper hitam besar di tangannya. Dengan cekatan, ia mulai masuk ke walk-in closet. Membuka lemari, melipat beberapa pakaian, memasukkan dasi, sepatu kulit, pouch berisi toiletries. Semuanya begitu efisien seperti ia sudah melakukan itu ratusan kali.
Dinda hanya berdiri di ambang pintu closet, memandangi setiap gerakan Rahma dengan tatapan kosong. "Dia mau ke mana?" tanya Dinda pelan. Suaranya hampir berbisik.
Rahma menggeleng, "Kurang tau, Bu. Tadi Mas Heru yang telepon. Katanya Bapak minta disiapkan baju untuk dua hari tiga malam."
Dua hari tiga malam. Angka itu terasa seperti hukuman.
Setelah selesai, Rahma menenteng koper dan dua suit cover berisi jas keluar dari kamar. Dan Dinda kembali duduk di ujung ranjang, tangannya meremas selimut yang masih kusut.
Mau ke mana dia? Apa dia dengan sengaja pergi meninggalkannya sendirian karena masalah semalam? Dinda menggeretakkan giginya, marah sekaligus cemas. Perutnya terasa mual, entah karena kehamilan atau karena emosi yang meluap.
Beberapa menit kemudian Dinda bisa mendengar suara lift pribadi mereka berdenting, menandakan seseorang datang. Suara langkah sepatu kulit terdengar mendekat. Rendra masuk masih dengan pakaiannya semalam.
Kemeja kusut dengan dua kancing terbuka, lengan kemeja digulung tidak rata, dan rambut yang terlihat berantakan. Tatapannya masih kaku dan dingin, tapi ada kantung hitam kelelahan di sana.
Dinda langsung berdiri dari ujung ranjang.
"Kamu dari mana?" Suaranya tidak marah, tapi juga tidak lembut. Hampa. Seperti sudah kehabisan energi untuk bertengkar.
"Kantor." Rendra membuang pandang ke arah lain.
Ia membuka kancing kemejanya satu per satu dengan gerakan mekanis, melempar pakaiannya sembarangan ke keranjang laundry, lalu masuk ke kamar mandi. Suara air terdengar memenuhi ruangan, mengalir deras seperti mencoba membilas sesuatu yang tidak bisa hilang hanya dengan air.
Beberapa menit kemudian ia keluar, tubuhnya masih beruap, handuk melingkar di pinggangnya. Dengan segera ia mengenakan pakaian. Kemeja navy dengan lengan digulung hingga siku, chinos khaki, dan sneakers putih. Dia terlihat santai, casual seperti akan pergi jalan-jalan akhir pekan. Tapi gerakannya kaku, terburu-buru, seperti orang yang sedang melarikan diri.
"Aku harus ke Frankfurt." katanya singkat sambil memakaikan arloji ke pergelangan tangannya.
"Sekarang?" Alis Dinda berkerut. "Kamu serius?"
"Ya. Siang ini. Mungkin tiga hari." Rendra meraih paspor di laci meja dengan gerakan agak kasar.
Dinda berdiri pelan, tangan meremas ujung piyamanya. Dadanya sesak. "Jadi gini cara kamu selesain masalah?" Suaranya nyaris berbisik, tapi matanya menantang.
"I have a job, Dinda! Ada rapat diplomatik mendadak yang harus aku hadiri." Rendra menggeram, ia mencoba menahan emosinya.
Ya. Dia memang tidak berbohong soal rapat diplomatik. Tapi seharusnya bukan dia yang pergi. Dia mengambil alih tanggung jawab Manajer Bisnis untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya sendiri. Menghadapi berita kehamilan Dinda.
Dinda tidak menjawab. Ia ingin bicara lebih banyak. Ingin berteriak. Ingin bertanya kenapa selalu dia yang harus ditinggalkan. Tapi lidahnya berat, tenggorokannya tercekat.
Kemudian Rendra berjalan pelan ke arahnya, berdiri di hadapannya. Tatapan pria itu kosong, tapi ada sesuatu di sana. Marah? Bingung? Merasa bersalah? Semua bercampur menjadi satu.
Dinda mengangkat dagunya sedikit, mencari kesempatan untuk merasakan kehangatan dari suaminya. Ia mendekatkan wajahnya perlahan, setengah berharap, setengah takut ditolak lagi. Namun pria itu menghindar. Halus, tapi cukup jelas.
Sebagai gantinya, ia mencium kening Dinda lama. Seperti permintaan maaf yang tidak terucap. Lalu ia belai pipi Dinda dengan ibu jarinya. "We'll talk. Later."
Setelahnya ia mundur selangkah, melepaskan sentuhannya, lalu berbalik. "Aku pergi sekarang." Tanpa menunggu jawaban, ia bejalan keluar kamar.
Dinda terpaku di tempatnya, memegang perutnya sendiri lalu mengusapnya pelan. Rasanya kosong. Ia tidak tau harus marah atau menangis.
...***...
Seolah belum puas menyiksa, kenyatan pahit lain sudah membentang di hadapan Dinda. Namira tiba-tiba menghubunginya. Ia datang bukan hanya dengan dendam, tapi juga dengan senjata.
Wanita itu menghubungi Dinda lewat telepon yang entah ia dapatkan nomornya dari mana. Kemudian mereka membuat janji temu di Asmosphere, sebuah cafe yang berada di lingkungan Velmore.
Di hadapan Dinda, Namira memutar beberapa potongan rekaman suara yang diambilnya diam-diam tanpa sepengetahuan Rendra saat mereka masih menjalin hubungan. Suara itu jelas dan tak terbantahkan.
'Don't expect anything from me. Hubungan kita cuma sebatas kebutuhan di ranjang. I pay for that, nothing more.'
Jantung Dinda rasanya seperti berhenti. Telapak tangannya mulai dingin.
"Ini suara suami kamu kan?" Namira memiringkan kepalanya, kemudian ia putar lagi tombol play untuk melanjutkan ke rekaman suara kedua.
'Kalau sampai masalah ini bocor ke media, yang akan hancur bukan cuma saya, tapi kamu juga. So think twice before you do something stupid.'
Namira tersenyum sinis, ia tatap Dinda yang mulai pucat, kemudian melanjutkan ke rekaman suara selanjutnya.
'Kamu tau jelas apa yang bisa saya lakuin ke kamu kan? Jadi jangan bikin semuanya jadi lebih rumit.'
Kalimat-kalimat itu menghantamnya keras. Dinda mendengarnya tanpa berkedip, sementara perlahan, sesuatu di dalam dirinya retak. Perutnya mual, tapi ia menahannya. Ia tidak pernah membayangkan Rendra yang sempurna, yang lembut, yang selalu melindunginya, punya sisi gelap seperti itu.
Di akhir rekaman, Namira melontarkan kalimat yang lebih menusuk lagi. "Rendra bukan tipe orang yang bisa tulus sama orang lain. Kamu nggak berpikir dia jatuh cinta beneran sama kamu kan? Cuma orang bodoh yang nggak tau, dia manfaatin kamu dengan pernikahan kalian. Dan menurutku... nggak mungkin dia mengorbankan seluruh hidupnya cuma untuk citra. Pasti ada hal lainnya." Namira hanya asal bicara, tapi rupanya itu masuk ke hati dan kepala Dinda. Dan kedatangannya kali ini bukan sekadar mencari perhatian. Ia marah. Marah karena setelah semua yang terjadi.
"Tim hukum Rendra laporin aku atas pencemaran nama baik setelah skandal waktu itu. Terus tiba-tiba kontrak kerjaku diputus lewat arahan orang-orang atas. Semua tawaran lenyap, semua pintu tertutup. Aku berkali-kali minta belas kasihan dia, tapi dia sama sekali nggak goyah. Dia cuma nontonin karierku runtuh di depan mata."
Namira berhenti sebentar mengatur napasnya, tampaknya emosi karena mengingat kejadian itu. Lalu ia melanjutkan. "Aku mau bongkar rekaman ini dan keterlibatannya menghancurkan karierku ke media. Tapi dia ancam akan bongkar aibku yang lain."
Dinda menatap Namira lekat-lekat, memastikan tidak ada kebohongan di sana. "Tapi kenapa kamu fitnah dia dengan skandal anak di luar nikah waktu itu?" Tanyanya dengan suara bergetar. Bagaimanapun semua ketidakadilan ini berawal dari fitnah Namira.
Namira tertawa pelan, tapi matanya kosong, "Ya, itu kebodohanku. Aku jatuh cinta sama dia. Aku mau lebih, tapi dia langsung pergi. Jadi aku fitnah dia karena sakit hati." Ia menarik napas berat, lalu menambahkan dengan suara nyaris berbisik.
"Anak itu bahkan bukan anakku. Aku cuma pinjam bayi dari orang lain untuk memperkuat cerita. Supaya media percaya. Supaya dia..." ia melirik ke udara seakan mengingat kembali masa lalu, "merasakan sedikit aja rasa putus asaku. Aku cuma cari perhatian, tapi hasilnya... aku yang habis-habisan."
Dia beritahu semua itu kepada Dinda. Itulah kepingan puzzle yang hilang. Namira memang tidak bermoral. Tapi dia bukan satu-satunya pihak yang bejat di sini. Dia juga menyimpan borok Rendra.
Pria yang menjadikan seks sebagai transaksi, menyalahgunakan kekuasaan untuk membungkam fakta, bahkan tidak segan menghancurkan orang yang menghalanginya. Dinda harus tau orang seperti apa suaminya.
"Kamu pikir aku mau rebut Rendra? Aku nggak senaif itu, Dinda. Aku mau dia hancur. Kalau jalannya lewat kamu, anggap aja karmanya datang cepat."
Dinda ingat jelas senyum Namira saat mengucapkannya.
Namira memang ceroboh karena main api dengan orang berkuasa. Tapi sekarang ia punya tujuan. Ketika semua sudah direnggut darinya, satu-satunya sasaran tersisa adalah hubungan Dinda dan Rendra. Ia marah. Marah karena Rendra begitu menghargai perempuan barunya sementara ia dibuang dan diinjak. Namira tau Rendra benci kejutan, maka ia datang untuk mengejutkannya.
...***...
Penthouse mereka terasa lebih dingin dari biasanya. Rendra masih di Frankfurt, pria itu sama sekali tidak menghubunginya. Dan setelah bertemu Namira, Dinda tidak bisa tenang.
Kata-kata wanita itu terus terngiang di kepalanya, seperti bisikan setan yang menolak diam. Ia ingin menyangkal semuanya, berharap itu cuma dendam dari perempuan yang patah hati. Tapi rekaman itu nyata. Dan tatapan dingin Namira waktu memberikannya pun terlalu jujur untuk diabaikan.
Dinda duduk di ruang kerja Rendra. Tangannya gemetar saat menyentuh mouse. Ia tahu ia melanggar sesuatu, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia sangat butuh kepastian.
Dinda pun sadar bahwa Rendra memanfaatkan pernikahan mereka untuk pencitraan. Tapi apa benar ada alasan lainnya seperti kata Namira? Hatinya sekarang terasa seperti tanah yang retak, ia hanya menunggu satu gempa terakhir untuk runtuh total.
Ia buka laptop kerja Rendra. Di rumah, Rendra memang lebih santai dengan security protocols. Jadi ia tidak pernah me-log out akunnya. Laptop ini ia anggap aman karena hanya mereka berdua yang punya akses ke penthouse. Tapi hari itu, sikap acuh tersebut jadi bencana untuknya.
Folder demi folder Dinda buka. Entah mencari apapun yang mungkin ia temukan. Email, dokumen lama, presentasi bisnis. Awalnya nihil. Tapi semakin dalam ia selami, semakin jelas satu pola. Banyak file yang berhubungan dengan tanggal-tanggal penting dalam hidup mereka. Hari saat ia dengar kabar bahwa mereka akan dijodohkan, hari pertama kali mereka bertemu, dan hari-hari menjelang pernikahan. Folder-folder itu berisi hasil meeting dengan bahasa teknis soal pengelolaan narasi publik. Juga ada beberapa foto candid dan data pribadi Dinda di sana. Mereka menguntitnya sebelum perjodohan itu. Mengerikan.
Dan di antara folder terakhir yang Rendra buka, Dinda menemukan sebuah file PDF berlabel "Confidential Letter - B&R".
Jantungnya berdetak lebih cepat. File itu seperti surat resmi, ditulis dengan gaya legal, seolah-olah disusun notaris. Tapi semakin ia baca, semakin jelas kalau ini bukan akta sah, melainkan private agreement yang sengaja dibuat formal untuk menyamarkan motif sebenarnya.
...---...
...Private Agreement - Confidential...
Pihak Pertama dengan ini menyatakan kesediaannya untuk melimpahkan sebanyak empat puluh persen (40%) kepemilikan saham di Mandhala Group kepada Pihak Kedua, dengan pemahaman sebagai berikut:
1. Pihak Kedua bersedia menikah dengan individu yang ditunjuk oleh Pihak Pertama, dan mempertahankan status pernikahan tersebut setidaknya hingga dua tahun terhitung sejak tanggal perjanjian ini.
2. Pihak Kedua wajib menjaga citra baik diri dan pasangan secara konsisten di hadapan publik maupun media, sepanjang periode yang telah ditetapkan.
3. Apabila salah satu atau seluruh ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka kesepakatan ini dianggap batal dan tidak memiliki kekuatan mengikat.
Dokumen ini bersifat privat, hanya mengikat para pihak, dan tidak untuk didaftarkan.
...---...
Dinda terdiam lama. Rasanya seperti menelan pecahan kaca. Tiba-tiba semuanya masuk akal. Kenapa pernikahan mereka begitu tergesa-gesa. Kenapa saat itu Rendra bersikeras menghindari media namun tetap melangsungkan pernikahan. Dan kenapa pria itu marah besar saat tau Dinda hamil.
Tangannya mengepal. Ia ingin marah, tapi yang muncul justru rasa kosong. Dia yang bodoh karena jatuh cinta pada Rendra. Dia tau pernikahan ini dilakukan tanpa cinta. Sejak awal sudah jelas mereka menikah karena kepentingan. Tapi kenapa saat semua terbuka ia merasa sehancur ini?
Ia kira setidaknya Rendra jujur soal alasan pernikahan mereka.
"Umurku udah lebih dari cukup. Kamu cantik dan dari keluarga baik-baik, kenapa aku nggak tertarik? Mungkin ini akan berhasil."
Alasan itu memang terdengar terlalu dangkal untuk kepribadian Rendra, tapi dengan bodohnya Dinda percaya.
Kini ia tau pria itu berbohong dari awal. Ia sudah merencanakan perceraian bahkan sebelum mereka menikah. Tiba-tiba saja, semua perilaku manis Rendra sebelumnya terasa seperti manipulasi.
...***...