NovelToon NovelToon
SETIA (Senja & Tiara)

SETIA (Senja & Tiara)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pihak Ketiga / Keluarga / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ita Yulfiana

"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-

"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.

.

Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?

Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.

Follow IG @itayulfiana

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SETIA — BAB 19

POV Senjal0

"Wah, aku setuju dengan rencanamu itu," kata Kek Mahmud. "Tapi sebenarnya aku tidak bisa memutuskan karena yang lebih berhak adalah anak dan menantuku. Mungkin sebaiknya kita membicarakannya lagi nanti setelah aku membahasnya dengan orang tua Tiara."

Kakekku menganggukkan kepala. "Ya, kamu benar. Lain kali aku akan ke sini lagi membahasnya."

Saat dalam perjalanan pulang, aku terus diam dengan bibir cemberut. Sebenarnya aku tidak tahu harus senang atau sedih dengan keputusan Kakek yang tiba-tiba ingin menjodohkan tanpa bertanya padaku terlebih dahulu. Aku hanya merasa sedikit kesal saja.

"Tentang perjodohanmu, Kakek sudah memilihkan calon istri terbaik untukmu di masa depan," kata Kakek, di sela-sela beliau menyetir mobil Kijang kesayangannya. Aku terdiam, sama sekali tak ingin menjawab dan lebih memilih membuang muka ke arah luar menatap barisan pohon kakao yang kami lewati di wilayah perkebunan.

"Minggu depan kita ke sana lagi, untuk memastikan apakah perjodohan kalian berjalan sesuai rencana atau tidak."

Seperti yang Kakek rencanakan, hari minggu depannya, kami, ditambah dengan ibuku, datang bersama ke rumah Kek Mahmud, ingin membicarakan rencana perjodohan waktu itu. Sesampainya di halaman rumah Kek Mahmud, mobil kami langsung disambut oleh Tiara yang sedang duduk sendirian di teras rumah sambil memasang wajah murung. Namun begitu melihatku turun dari mobil bersama ibu, ekspresinya mendadak berubah drastis.

"Bang Jaja! Bang Jaja!" Dia berlari menghampiriku. Aku langsung membuang muka, keningku berkerut dengan bibir cemberut. Dalam hati menggerutu, dia pasti ingin merepotkanku lagi.

"Bang Jaja...." Dia langsung menarik lenganku, sok akrab. Padahal kami baru ketemu 2 kali. Ibu dan Kakek tertawa melihat kelakuannya.

"Bagus, bagus," kata Kakek di sela tawanya. Aku memutar bola mata, apanya yang bagus, gumamku dalam hati.

"Jadi ini yang namanya Tiara?" Ibu tersenyum menatapnya. Sementara Tiara langsung menyalami tangan beliau.

"Iya, Tante. Namaku Tiara."

"Anak manis," kata Ibu mengusap-usap puncak kepalanya.

"Tiara, apa kakek-nenekmu ada di dalam?" tanya Kakek saat Tiara beralih menyalami tangannya.

"Iya, Kek. Kakek dan Nenek ada di dalam. Ibu, Bapak, dan Adik juga ada."

" Oh, ya? Bagus sekali kalau begitu."

Saat Ibu dan Kakek masuk ke dalam rumah, aku tidak bisa ikut karena Tiara menyeretku secara paksa ke arah belakang. "Kamu ini mau bawa aku ke mana sih?" Aku bertanya dengan wajah dan nada kesal, tapi Tiara hanya tersenyum nakal dan menunjuk pohon besar di depan kami. "Tuh sana, depan. Sedikit lagi nyampe."

Aku langsung memicingkan mata menatapnya, sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. "Jangan bilang kamu mau nyuruh aku manjat layangan lagi," kataku dengan nada tidak percaya. Tiara langsung cengengesan, dan aku tahu dugaanku tidak meleset.

Aku berdecak kesal dan melepaskan tanganku dari genggamannya, menolak memenuhi keinginannya itu. "Tidak mau, aku tidak mau repot-repot memanjat lagi. Nanti baju putihku jadi kotor," kataku dengan tegas.

Tapi Tiara tidak menyerah. Dia terus merengek dan memohon, bahkan sampai menangis saat aku menolak permintaannya berulang kali. Karena merasa kasihan melihatnya, jadi akhirnya aku tidak kuasa menolak lagi. "Baiklah, baiklah. Aku akan ambil layanganmu, tapi jangan nangis."

Tiara langsung berhenti menangis dan tersenyum gembira. Aku menghela napas, lalu mulai memanjat pohon.

"Dikit lagi, Bang Jaja! Dikit lagi!" teriak Tiara, membuatku semakin kesal. Aku sudah berusaha keras memanjat pohon mangga itu, tapi layangan yang tersangkut di ranting atas masih belum bisa diambil dengan mudah. "Ya, maju, ke kanan sedikit!" perintahnya lagi, suaranya melengking tinggi.

Aku menghela napas, berusaha menahan kesal. Tubuhku sudah basah kuyup oleh keringat karena panas matahari yang menyengat. Aku berhati-hati, tidak ingin salah langkah dan menyebabkan dahan yang aku injak patah. Talinya masih melilit di ranting kecil, jadi aku harus ekstra hati-hati agar tidak sampai terjatuh ke tanah.

"Ayo, Bang Jaja! Kamu pasti bisa!" teriaknya lagi mencoba memberiku semangat. Bukannya semangat, aku justru makin kesal melihatnya. Kalau bukan karena takut dimarahi Ibu atau pun Kakek karena membuatnya menangis, aku pasti sudah turun dari tadi.

Akhirnya setelah bergelut cukup lama, aku akhirnya berhasil mengambil layangan itu.

"Yeay!" Tiara melompat kegirangan. "Makasih, Bang Jaja. Bang Jaja memang paling hebat memanjat."

Aku berdecih mendengar pujiannya itu, tapi akhirnya tersenyum juga. Ada perasaan bangga pada diri sendiri karena merasa bisa diandalkan.

Kami kembali ke rumah setelahnya. Sesampainya di halaman rumah, aku langsung disuguhi pemandangan Kakek dan Ibuku yang sudah berpamitan pada Kek Mahmud. Kedua pria lansia yang berteman akrab itu saling berpelukan lama, seolah-olah mereka tidak akan bertemu lagi. Dan benar saja, hanya 2 minggu setelah hari itu, Kakek jatuh sakit. 3 Bulan kemudian beliau meninggalkanku berdua dengan ibu untuk selama-lamanya.

Mengenai rencana perjodohanku dengan Tiara, aku tidak tahu bagaimana keputusannya setelah kembali dari kediaman Kek Mahmud waktu itu. Yang jelas, Ibu dan Kakek tidak pernah lagi membahasnya, dan memang mereka lebih banyak diam setelah kembali dari sana. Aku juga merasa malu menanyakannya pada Ibu, sebab sebelumnya aku pernah membujuknya untuk berbicara dengan Kakek agar membatalkan rencana itu.

Beberapa bulan setelah Kakek meninggal, Ibu memutuskan untuk kami pindah ke ibukota. Status Ibu yang sudah bercerai dengan Ayah membuatnya harus bisa mengandalkan diri sendiri. Sebenarnya tanpa bekerja pun Ibu tak akan kekurangan karena warisan peninggalan Kakek lumayan banyak. Tapi Ibu ingin membuka lembaran baru di tempat lain, agar kami bisa melupakan segala kesedihan dan memulai hidup baru.

.

.

8 Tahun Kemudian...

Saat aku membuka jendela kamarku, aku selalu menatap bangunan kost 2 tingkat yang ada di seberang jalan. Seperti biasa, aku selalu membayangkan, kelak, aku ingin menyulap bangunan itu menjadi hunian yang lebih menyenangkan. Saat sedang asyik berkhayal, fokusku tiba-tiba diambil alih oleh sesosok gadis berkemeja putih yang baru keluar dari kamar kostnya. Sepertinya dia adalah penghuni baru di sana, sebab beberapa minggu ini kamar itu kosong.

Tapi... aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari gadis itu. Ada sesuatu yang familiar tentangnya. Deg. Jantungku seketika berdebar cepat. Bukannya... itu Tiara? Apa benar itu dia?

Aku merasa seperti tersambar petir. Aku tidak bisa bernapas. Aku tidak bisa bergerak, terpaku, merasa sangat terkejut karenanya. Aku hanya bisa menatap gadis itu, yang sekarang sudah berjalan ke arah jalan, rambutnya yang panjang lurus dan hitam berayun-ayun di angin, persis saat dulu dia menerbangkan layangannya. Kulitnya yang dulu terbakar matahari kini terlihat jauh lebih bersih, cerah dan terawat.

Tiara. Aku tidak percaya dia ada di sini. Aku tidak percaya dia tinggal sangat dekat denganku. Aku merasa seperti hidupku sedang diputar kembali. Aku merasa seperti 8 tahun yang lalu, saat aku masih menjadi remaja yang memanjat pohon mangga untuk mengambil layangan Tiara.

Aku mengrubrik mataku, mencoba memastikan bahwa ini bukan hanya ilusi. Tapi saat aku membuka mataku lagi, gadis itu masih ada di sana, berjalan dengan langkah yang santai, senyum yang manis menghiasi wajahnya kala menyapa salah satu penghuni kost.

"Apa itu benar dia, atau mungkin hanya seorang gadis yang mirip dengannya?" gumamku. "Sepertinya aku harus mencari tahu." Kemudian aku bergegas masuk ke dalam kamar.

1
Cikhy Cikitha
lanjuuut
Ita Yulfiana: siap kk
total 1 replies
wathy
aku kasi kopi deh biar tambah semangat 💪
Ita Yulfiana: Waaaah Kk baik banget😍😍 makasih banyak yah😘🥰🥰
total 1 replies
wathy
aku suka,, lanjut thor😍
Ita Yulfiana: Okey siaap😁😁
total 1 replies
Cikhy Cikitha
Next....
Ita Yulfiana: waiiit/Grin/
total 1 replies
Cikhy Cikitha
lanjuuut
Ita Yulfiana: Siaaap😄🙏
total 1 replies
Cikhy Cikitha
Semangat berkarya🤩🤩
Ita Yulfiana: Siap, makasih banyak😍😍
total 1 replies
wathy
aku beri kopi deh biar semangat update 💪
Ita Yulfiana: uwwaaah makasih banyak Kak😍😍🙏
total 1 replies
wathy
wahhh senja langsung nembak 😄
wathy
itu pasti senja
wathy: Aamiin.. sama2 😍
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!