Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 -- Saat dunia mulai berhenti bernafas
Hujan deras mengguyur kota malam itu.
Langit kelam, diselimuti petir yang sesekali memecah langit seolah ikut meraung bersama nasib seorang wanita yang tengah berlutut di lantai rumah megah yang dulu ia banggakan.
Tubuh Aruna bergetar hebat. Gaun putih yang ia kenakan sudah sobek di beberapa bagian, basah oleh da*rah yang merembes dari luka di perutnya. Setiap tarikan napas terasa seperti me*nyayat paru-parunya sendiri.
Dingin.
Sakit.
Tapi yang paling menghancurkan bukan luka itu, melainkan dua sosok yang berdiri di depannya—orang yang selama ini menjadi dunia bagi hidupnya.
Andrian.
Pria yang dulu ia cintai dengan seluruh hatinya.
Dan Naya, sahabat yang ia anggap saudara.
Keduanya kini berdiri berdampingan, menatapnya dengan mata yang kosong dan dingin, seolah tak pernah mengenalnya sama sekali.
“A… Andrian…”
Suara Aruna pecah di antara sesenggukan. “Kau… apa yang kau lakukan padaku?”
Andrian memiringkan kepalanya sedikit, menatapnya tanpa ekspresi. Di tangannya, pi*sau yang tadi baru saja menembus tubuh Aruna masih meneteskan da*rah segar.
Ia menghela napas, seolah menyesali sesuatu—tapi bukan karena rasa bersalah.Melainkan karena kebosanan.
“Aku sudah bilang, Aruna. Jangan berteriak. Ini mengganggu,” ucapnya datar.
Aruna terisak keras. Tangannya meraih perutnya, mencoba menahan da*rah yang terus mengalir. Ia menatap ke arah pintu dengan mata penuh harap.
“Tolong… ada orang… tolong aku…!”
Suara tangisnya menggema di ruangan besar itu.
Namun sebelum sempat ia berteriak lagi, plakkk!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
Andrian menatapnya tajam, wajahnya mendekat hingga Aruna bisa mencium aroma logam dari darah di tangannya.
“Diam.”
“A-Andrian, aku—”
“Diam, Aruna!!” serunya lebih keras.
“Kau selalu menyebalkan ketika mulai menangis.” lanjut andrian dengan nada rendah,terdengar sangat menakutkan.
Tamparan kedua menyusul, membuat kepala Aruna terhempas ke samping. Sudut bibirnya robek, da*rah bercampur air mata mengalir ke lantai marmer yang licin.
Ia tak lagi berani menatap pria itu, hanya gemetar sambil terisak.
Naya, yang sejak tadi bersandar di dinding dengan tangan terlipat, menatap pemandangan itu dengan tatapan dingin. Sudut bibirnya terangkat dalam senyum puas.
“Akhirnya juga,” gumamnya pelan. “Kau tidak tahu, Aruna, aku sudah menunggu momen ini begitu lama.”
Aruna menoleh lemah ke arahnya, suara seraknya nyaris tak bisa keluar.
“Naya… kenapa kau…” ucap nya tercekat,rasa nya ini seperti mimpi namun semua rasa sakit terasa begitu sangat nyata.
Sahabat yang dulu menemaninya menangis saat orang tuanya meninggal, yang berbagi tawa di setiap momen sulit, kini justru berdiri di sisi pria yang menghancurkan hidupnya.
Naya berjalan mendekat perlahan. Tumit sepatunya memantul di lantai, bunyinya terdengar begitu menusuk di antara suara hujan yang menggila di luar sana.
Ia berjongkok di depan Aruna, menatap wajah sahabatnya yang kini lusuh dan berlumuran darah.
“Kau tahu,” ucapnya lembut, “aku selalu iri padamu. Semua hal yang kuinginkan selalu ada padamu—keluarga hangat, cinta yang manis, bahkan perusahaan besar yang diwariskan padamu.”
“Tapi kau… terlalu bodoh untuk menjaganya.”
Aruna menggeleng pelan, masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Kau… sahabatku…” aruna masih menyimpan sedikit harapan kecil di hati nya,dan berharap naya memeluk diri nya.
Naya tersenyum. “Itulah masalahnya. Kau mengira semua orang sebaik dirimu.”
Andrian menatap jam di pergelangan tangannya, tampak tak sabar.
“Cukup dramanya. Kita tak punya banyak waktu, Naya.”
“Sabar,” balas Naya lembut sambil mengelus pipi Aruna yang lebam. “Aku hanya ingin memberinya sedikit hadiah sebelum dia pergi.”
Aruna menatapnya dengan ketakutan yang tulus.
“Kau… apa yang kalian lakukan dengan mobil Ayah dan Ibu ku?”
Kata-kata itu membuat Naya tertawa lirih. Ia menatap Andrian, lalu kembali pada Aruna.
“Jadi kau akhirnya sadar juga?” katanya pelan. “Benar. Mobil itu… kami yang mengotak-atiknya.” naya tertawa kecil setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Waktu seakan berhenti segala suara menghilang dari telinga Aruna. Yang tersisa hanya detak jantungnya sendiri—lambat, sakit, menolak percaya pada kenyataan yang baru saja diungkapkan.
“Kau bohong…” suaranya pecah. “Kau… bohong!”
Andrian berjongkok di sampingnya, menatapnya dari jarak yang begitu dekat.
“Sayang, kalau kami berbohong, apakah kau pikir mereka masih hidup sampai sekarang?” ucap andrian dengan tertawa seolah sedang mengejek aruna,
“Kecelakaan itu hanya cara agar kau mempercayai aku sepenuhnya. Dan kau melakukannya. Dengan senang hati kau menyerahkan semua saham perusahaan atas namaku. Bahkan setelah mereka mati, kau tetap membelaku.”
Aruna menjerit keras, mencakar lantai hingga kukunya patah.
“Tidak! Kalian iblis! Kalian pembunuh!”
Andrian berdiri dan menendang tubuhnya hingga terjatuh.
Suara benturan tulangnya dengan lantai terdengar begitu nyata.
Ia menggeliat kesakitan, tapi tak ada lagi tenaga untuk melawan.
“Kau membuat segalanya menjadi mudah, Aruna,” kata Andrian dengan nada malas. “Kau jatuh cinta, percaya, dan menyerahkan segalanya tanpa berpikir. Sekarang… waktumu sudah habis.”
Air mata Aruna menetes tanpa henti.
Ia mencoba merangkak ke arah pintu, namun tubuhnya terlalu lemah.
“Tolong…” suaranya nyaris tak terdengar. “Siapa pun… tolong aku…”
Naya menghela napas, lalu menatapnya iba—palsu.
“Tak ada yang akan datang, Aruna. Kau mengusir semua orang dari rumah ini. Kau terlalu sibuk mempercayai kami.”
Suara petir menggema di langit.
Andrian berjalan ke arah jendela besar dan menarik tirai, menatap hujan deras di luar sana.
“Kau tahu, aku nyaris kasihan,” katanya pelan tanpa menoleh. “Kau terlalu murni untuk dunia seperti ini. Tapi uang dan kekuasaan selalu butuh korban, kan?”
Aruna memejamkan mata.
Bayangan ayah dan ibunya menari di kepalanya—senyum lembut mereka, tangan hangat yang dulu sering mengelus rambutnya, dan suara tawa mereka yang kini hanya tinggal kenangan.
“Ayah… Ibu… maaf…” bisiknya lirih.
Andrian menoleh dan menatapnya untuk terakhir kalinya.
“Selamat tinggal, Aruna.”
Langkah kaki keduanya perlahan menjauh. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang lembut—terlalu lembut untuk menandai akhir hidup seseorang.
Hujan masih turun.
Udara mulai berbau besi dan debu.
Aruna tergeletak sendirian, tubuhnya dingin, matanya menatap kosong ke langit-langit.
Namun di detik-detik terakhirnya, sesuatu terjadi.
Suara samar terdengar di kepalanya—bukan dari luar, tapi dari dalam pikirannya sendiri.
“Kau tidak seharusnya mati di sini…”
Aruna terperanjat suara itu… lembut, dalam, seperti bisikan yang datang dari tempat jauh. Ia berusaha mencari sumbernya, tapi yang terlihat hanyalah kabut hitam yang mulai menelan pandangannya.
“Siapa… kamu…?” suaranya parau.
Tak ada jawaban.
Hanya keheningan dan gemuruh hujan di luar sana.
Perlahan, pandangannya kabur napasnya melemah dan dalam isak yang nyaris tak terdengar, Aruna memejamkan mata untuk terakhir kalinya—membiarkan kegelapan menelannya, dengan satu doa yang tersisa di hatinya:
Jika aku diberi kesempatan hidup sekali lagi… aku tak akan mempercayai cinta. Aku hanya ingin membalas segalanya.
---