Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Marvin sudah duduk di sofa yang selalu memberikan kehangatan baginya di dalam ruangan yang cukup bisa memberikan ketenangan itu, di hadapannya Bianca masih sabar menunggunya siap untuk mulai bercerita. Sudah lima belas menit berlalu sejak Marvin mengatakan bahwa ia sudah siap untuk bercerita tapi masih belum ada satu katapun yang keluar dari mulutnya, hanya sesekali terdengar hembusan nafas pria itu.
“Jangan dipaksakan, Pak.” Ucapan lembut terdengar memecahkan keheningan.
“tidak apa, saya tidak ingin memendam ini lebih lama.” Balas Marvin yang dapat diartikan Bianca bahwa pria ini berusaha keras untuk bercerita kepada dirinya meski pria dihadapannya masih berat untuk melakukannya.
“Apa anda pernah kehilangan seseorang?” pertanyaan Marvin terdengar sangat pelan tapi masih mampu ditangkap oleh pendengaran Bianca, wanita berparas teduh itu tersenyum meskipun di dalam hati ia meyakini bahwa pria ini mungkin akan mulai dengan peristiwa yang menimpa adiknya.
“Apa Bapa sedang atau pernah mengalami kehilangan?” Bianca membalikkan pertanyaan Marvin sebagai bentuk refleksi untuk pria tersebut.
Marvin mengangguk pelan.”adik saya.” Balas Marvin lirih.
“Apa yang terjadi?” tanya Bianca lembut dan hati-hati. Marvin terdiam , pria itu mengalihkan pandangannya dan seolah menerawang jauh mengingat kepingan yang membuat hatinya pedih.
“Ia hanyut di sungai, ketika tubuhnya ditemukan ia sudah tidak bernyawa.” Ucap Marvin pelan tapi setiap kata yang terucap seperti ada sesuatu yang berat menghimpit dadanya. Bianca tidak langsung merespon memberi waktu untuk kliennya melanjutkan.
“seharusnya saya bisa menjaganya, dengan begitu ia pasti masih hidup.” Marvin menghela nafas setelah mengucapkan hal tersebut.
“Jadi menurut anda adik anda mengalami kecelakaan karena anda tidak menjaganya?” Marvin mengangguk, tatapanya kosong tapi sorot matanya menyimpan gemuruh yang sulit ditebak.
“Sa.. Saya meninggalkannya untuk mencari bola yang hilang karena lemparannya. Saat itu kami sedang bermain di pinggir sungai.” Bianca tidak segera menanggapi ucapan Marvin, ia tahu ruang antara pengakuan dan penghakiman adalah tempat paling sunyi yang bisa membuat seseorang tenggelam. “liburan keluarga yang seharusnya memiliki kenangan bahagia, rusak karena kelalaian saya.” Lanjut Marvin lagi.
Bianca memberi jeda sebelum akhirnya berkata dengan nada yang tenang, “jika waktu bisa diulang apa yang akan anda lakukan berbeda, Pak Marvin?”
Marvin terdiam, jemarinya bertaut menggenggam erat seperti menahan sesuatu agar tidak pecah. “Aku tidak akan meninggalkannya atau mengajaknya untuk mencari bola bersama, atau setidaknya untuk memiliki kesempatan mengatakan aku menyayanginya.” Ada getar dalam suara Marvin ketika mengatakan hal itu, seperti seseorang yang baru saja menyadari sesuatu yang telah lama disimpan dalam ruang yang dikunci rapat.
“kehilangan seseorang yang sangat dekat memang hal yang sulit dan terkadang membawa luka yang dalam.” Ujar Bianca lirih dan sangat pelan nyaris seperti berbisik. Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Bianca tanpa rencana, ada perkataan Marvin yang memantik kenangan dalam dirinya, keinginan untuk melindungi Bianca kecil yang tidak berhasil ia lakukan bukan karena ia tidak mau tapi karena ia tidak memiliki keberanian untuk melawan. Bianca menarik nafas pelan berusaha menenangkan gemuruh dalam dirinya. Ini bukan tentang dirinya tapi ini tentang pria dihadapannya.
Dengan cepat Bianca kembali fokus kepada Marvin, “Jadi menurut anda jika anda melakukan hal itu kejadian yang menimpa adik anda tidak akan terjadi?” sekali lagi pertanyaan Bianca membuat Marvin terdiam dan berpikir.
Pertanyaan Bianca berhasil mengingatkan Marvin akan perkataan tante Intan bahwa semua yang terjadi adalah takdir dan memang sudah jalannya seperti itu. Tapi semenit kemudian Marvin mengangguk meski pelan tapi anggukkan itu lebih mantap daripada anggukkan-anggukkan pria itu sebelumnya.
“Setidaknya ia tidak berada di dekat sungai deras itu sendirian atau bahkan aku bisa menggantikan posisinya.” Ucapan Marvin terdengar tercekat, sangat menyesakkan. Kali ini gantian Bianca yang mengangguk pelan, wanita itu menyadari rasa dan luka pria ini sangat dalam.
“Menurut anda, apa ada yang menyalahkan anda akan kejadian ini?” Tanya Bianca lagi masih dengan suara yang lembut dan tenang, tidak ada nada menghakimi atau menuduh disana. Bianca berusaha mengulik darimana asal kedalaman rasa bersalah yang terus pria ini bawa.
“semuanya...” jawab Marvin, ucapannya terhenti, menggantung diudara. “Ibu... Bahkan ibu saya secara terang-terangan mengatakannya, menatap saya dengan dingin dan penuh kebencian, ayah saya diam tapi tidak pernah berdiri untuk saya.” Ada getaran dalam suara pria berwajah datar dihadapannya.
“Dan Anda sendiri?”
Marvin terdiam, ia sendiri butuh waktu sebelum menjawab. “Saya... tidak tahu bagaimana caranya berhenti merasa bersalah.”
Bianca mengangguk perlahan mendengar pernyataan kliennya, ia mencatat beberapa hal penting dari perbincangannya dengan Marvin. Kemudian Bianca menatap Marvin dengan tatapan lembut sebelum akhirnya mengatakan hal yang lagi-lagi tanpa sadar tertuju untuk dirinya sendiri.
“Kadang kita tidak butuh dimaafkan oleh orang lain untuk bisa memaafkan diri sendiri, Pak Marvin.” Mendengar perkataan Bianca untuk pertama kalinya sorot mata pria itu melembut seolah menunjukkan ada retakan kecil dalam tembok kokoh yang selama ini ia bangun.
Bianca seketika menunduk seolah berusaha meredam gemuruh dalam dadanya, kata-katanya sekali lagi seolah ia tujukan untuk dirinya sendiri, dengan cepat Bianca kembali menguasai dirinya dan kembali fokus memerhatikan Marvin.
“Mba Bianca..” panggil Marvin, Bianca tersenyum menanggapi panggilan kliennya itu, “saya merasa cukup untuk hari ini, boleh saya minta sesi hari ini dihentikan sampai disini saja?” tanya Marvin kemudian sebelum Bianca sempat menanggapi panggilan pria itu.
“tentu, Pak. Terima kasih sudah mau menceritakan kepada saya hari ini.” Balas Bianca. Marvin bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu, namun langkahnya terhenti, matanya terbelalak dan keterkejutan terlihat jelas dalam wajahnya. Matanya menangkap sebuah gantungan boneka dengan bandul huruf AMD yang menggantung di tas Bianca, ketika wanita itu mengangkat tasnya untuk mengambil sesuatu. Marvin mengenali gantungan itu, itu adalah gantungan miliknya yang pernah ia berikan kepada seseorang.
Sebelum Bianca menyadari keterkejutannya, Marvin segera menutup pintu dan melangkah meninggalkan gedung itu.*
Langkah Marvin terasa ringan setelah keluar dari ruangan Bianca, meski tidak semuanya ia utarakan tapi sedikit ada kelegaan disana. Melihat wajah teduh terapisnya membuatnya merasa hangat dan suara lembut Bianca berhasil menenangkan gemuruh besar dalam dirinya. Ia sendiri belum memahami maksud dari kata-kata Bianca tentang memaafkan diri sendiri, tapi sore ini suasana hatinya sedikit lebih baik daripada beberapa hari terakhir.
Sudah lebih dari dua puluh menit Marvin berada di parkiran komplek pemakaman umum tapi dirinya masih belum beranjak dari mobilnya. Terakhir kali Marvin mengunjungi makam adiknya adalah waktu dimana Marvin memutuskan untuk meninggalkan rumah orangtuanya, itu mungkin sudah sekitar 8 tahun lalu.
Waktu terus berjalan, akhirnya Marvin mengambil sebuah rangkaian bunga mawar berwarna merah muda yang tadi sempat dibelinya dan membawa dirinya untuk keluar dari mobil dan menyusuri komplek pemakaman itu.
Marvin sudah berdiri di dekat makam dengan batu nisan bertuliskan NAMA, TANGGAL LAHIR, DAN TANGGAL kematian adiknya. Marvin merapikan daun-daun kering yang berguguran di makam adiknya sebelum akhirnya meletakan bunga yang ia bawa kemudian berlutut di samping makam adiknya dan mulai memanjatkan doa bagi adik cantik yang sempat ia miliki selama 6 tahun.
“Kakak minta maaf, Tha.” Bisik Marvin sambil memegang dan meraba batu nisan yang menorehkan identitas adiknya itu. “Maaf gak bisa jagain kamu waktu itu, maaf karena membiarkan kamu terbawa arus sungai dan kedinginan seorang diri, maafin kakak.” Tanpa disadari pria berwajah datar dan dingin itu mulai meluruhkan air matanya. “kamu mau kan maafin kakak?” tanya Marvin dengan suara yang bergetar, tapi hanya keheningan dan hembusan angin yang ia dengar sebagai jawaban.
“kalau waktu bisa diulang, kakak gak akan marah karena kamu lempar bola kakak dan gak akan ninggalin kamu Cuma demi nyari bola itu.” Marvin kembali berucap, seolah adiknya mendengar semua penyesalan yang terlontar dari mulutnya. “satu hal yang harus kamu tahu, kakak menyayangimu.” Lanjut Marvin lagi masih dengan suara yang bergetar.
Meski matahari sudah mulai bersembunyi dan digantikan cahaya bulan, Marvin masih enggan meninggalkan makam adiknya. Ia masih terus berbicara seolah sedang mengobrol dengan Martha, adik perempuannya itu, setiap waktu yang Marvin habiskan disana seolah melepaskan rasa rindu karena selama ini tidak mengunjungi adiknya.